Memahami Ilmu Jarh Wa Ta'dil
Pengertian Jarh Wat Ta’dil
Al-Jarh secara bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata yang berarti 'seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.
Secara Terminologi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya.
Kemudian, pengerttian al-adl secara etimologi berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus. Orang adil berarti orang yang diterima kesaksiannya.
Adapun secara terminologi, Al-adl berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya. Dengan demekian, Ilmu Al-jarh wa at-ta'dil berarti Ilmu yang membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa at-ta'dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadis yang membahas cacat atau adilnya seorang yang meriwayatkan hadis yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadisnya.[1]
Tingkatan –tingkatan Al- Jarh wa ta'dil
Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang 'adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama' yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama' menetapkan tingkatan Jarh dan Ta'dil.
1. Tingkatan-tingkatan Al-Jarh
a. Tingkatan Pertama
Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla'fun (padanya ada kelemahan).
b. Tingkatan kedua
Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : "Fulan tidak boleh dijadikan hujjah", atau "dla'if, atau "ia mempunyai hadits-hadits yang munkar", atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).
c. Tingkatan ketiga
Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : "Fulan dla'if jiddan (dla'if sekali)", atau "tidak ditulis haditsnya", atau "tidak halal periwayatan darinya", atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma'in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
d. Tingkatan ke empat
Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau "dituduh memalsukan hadits", atau "mencuri hadits", atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).
e. Tingkatan ke lima
Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla' (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla' (dia memalsikan hadits).
f. Tingkatan ke Enam
Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : "Fulan orang yang paling pembohong", atau "ia adalah puncak dalam kedustaan", atau "dia rukun kedustaan".
2. Tingkatan-tingkatan at-Ta'dil:
a. Tingkatan Pertama
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta'dil-an, atau dengan menggunakan wazan af'ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : "Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan" atau "Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya" atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya".
b. Tingkatan Kedua
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-'adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma'mun), atau tsiqah dan hafidh.
c. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidh.
d. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan adanya ke-'adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma'mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba'sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma'in kalimat laa ba'sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma'in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut).
e. Tingkatan Kelima
Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya 'anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
f. Tingkatan Keenam
Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya).[2]
[1] Drs. M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2009) hal. 157-158
[2] http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/tingkatan-tingkatan-al-jarh-wat-ta'dil/