Macam-Macam Ilmu Hadits dan Faedah Mempelajarinya." Ilmu hadits disebut juga dengan Ilmu Mushthalahul Hadits. Pengertian Ilmu Mushthalahul Hadits adalah ilmu untuk mengetahui tentang apa yang telah dimufakati oleh ahli hadits dan telah lazim dipergunakan dalam pembahasan diantara mereka atau ilmu untuk mengetahui ‘uruf para muhaditsin. Dari pengertian tersebut kemudian dikenal ada dua pembagian ilmu hadits atau ilmu mushthalahul hadits dalam arti luas. Pertama, pembagiannya pada ilmu hadits dan ilmu ushulul hadits. Kedua, pembagiannya pada Ilmu Riwayah dan Ilmu Dirayah hadits.
Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadits dirayah adalah bagian dari ilmu hadits yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain-lain. Definisi ini sesuai dengan makna kata dirayah yang secara bahasa berarti pengetahuan dan pengenalan. Kegunaan ilmu ini tidak lain untuk mengetahui dan menetapkan diterima (maqbul) dan ditolak (mardud)nya suatu hadits. Dalam hadits Riwayah terdapat dua cara, yakni :
1) Hadits Riwayah Bil-Lafdzi
Meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan mereka hafal benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan lafadz yang masih asli dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Riwayat hadits dengan lafadz ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Hadits yang menggunakan lafadz-lafadz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam meriwayatkan hadits. Oleh karenanya para ulama menetapkan hadits yang diterima dengan cara itu menjadi hujjah, dengan tidak ada khilaf.
2) Hadits Riwayah Bil-Ma’na
Meriwayatkan hadits dengan makna adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.
Hukum Meriwayatkan Hadits Ma’nawi
Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ma’nawi. Sebagian ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para perawi meriwayatkan hadits dengan lafadznya yang didengar, tidak boleh ia meriwayatkan hadits dengan maknanya sekali-kali.
Jumhur ulama lain berpendapat membolehkan seseorang mendatangkan atau meriwayatkan hadits dengan pengertiannya tidak dengan lafadz aslinya. Kalau ia seorang yang penuh ilmunya tentang Bahasa Arab dan mengetahui sistem penyampaiannya, berpandangan luas tentang fiqh dan kemungkinannya lafadz-lafadz yang mempunyai beberapa pengertian sehingga akan terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadits tersebut, kalau tidak demikian maka tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits hanya dengan maknanya saja dan wajib menyampaikan dengan lafadz yang ia dengar dari gurunya.
Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadits dengan maknanya itu sebagai berikut:
1. Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadits, ahli fiqh dan ushuliyyin.
2. Diperbolehkan, dengan syarat yang diriwayatkan itu bukan hadits marfu’.
3. Diperbolehkan, baik hadits itu marfu’ atau bukan asal diyakini bahwa hadits itu tidak menyalahi lafadz yang didengar, dalam arti pengertian dan maksud hadits itu dapat mencakup dan tidak menyalahi.
4. Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafadz asli yang ia dengar, kalau masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya.
5. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadits itu yang terpenting adalah isi, maksud kandungan dan pengertiannya, masalah lafadz tidak jadi persoalan. Jadi diperbolehkan mengganti lafadz dengan murodifnya.
6. Jika hadits itu tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati, umpamanya hadits mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan:
a. Hanya pada periode sahabat
b. Bukan hadits yang sudah didewankan atau di bukukan
c. Tidak pada lafadz yang diibadati, umpamanya tentang lafadz tasyahud dan qunut.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa perbedaan antara hadits lafdzi dengan hadits ma’na adalah sedikit sekali, terletak hanya pada periwayatan lain yang menjadi sumber sandarannya. Kalau diumpamakan hadits itu sebuah kelompok, maka kumpulan kelompok yang terdiri dari beberapa person (orang) adalah hadits ma’nawi, sedang orang perseorangnya dinamakan dengan hadits lafdzi.
Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara penerimaan dan penyampaian, sifat perawi dan lain sebagainya; ilmu untuk mengetahui hal ihwal sanad dan matan dari segi diterima atau ditolak dan yang berkaitan dengannya.
Ulama hadits berbeda dalam memberikan definisi ilmu hadsit dirayah, meskipun dari berbagai definisi itu ada kemiripan batasan-batasan definisi. Ilmu hadits dirayah adalah pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayahkan, apakah bisa diterima atau ditolak. Ibn Akfani berpendapat, ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang dapat mengetahui hakikat riwayah, syarat-syarat, macam-macam dan hukum-hukumnya, ilmu yang dapat mengetahui keadaan para rawi, syarat-syarat rawi dan yang diriwayahkannya serta semua yang berkaitan dengan periwayahannya.
Ulama lain berpendapat, ilmu hadits dirayah adalah ilmu undang-undang yang dapat mengetahui keadaan sanad dan matan. Definisi ini lebih pendek dari definisi di atas. Sedangkan definisi lain sebagaimana di sebutkan ibnu hajar, definisi paling baik dari berbagai definisi ilmu hadits dirayah adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat memperkenalkan keadaan-keadaan rawi dan yang diriwayahkan.
Berbagai definisi di atas banyak kemiripan, pada dasarnya semua definisi itu sama yakni pengetahuan tentang rawi dan yang diriwayahkan atau sanad dan matannya baik juga berkaitan dengan pengetahuan tentang syarat-syarat periwayahan, macam-macamnya atau hukum-hukumnya. Istilah lain yang dipakai oleh ulama ahli hadits terhadap ilmu hadits dirayah adalah ilmu ushul al-hadits. Pada mulanya pembahasan yang menyangkut ilmu hadits dirayah sangat beragam. Kemudian muncullah beberapa ilmu yang bertalian dengan kajian analisis dan semuanya terangkum dalam satu nama, yakni ilmu hadits. Munculnya berbagai ilmu tersebut diakibatkan banyaknya topik tentang hadits dirayah tersebut dengan tujuan dan metodenya berbeda-beda. Berikut di antara ilmu-ilmu yang bermunculan dari berbagai ragam topik ilmu dirayah;
1. Ilmu Rijal Al-Hadits
2. Ilmu Jarah Wa Al-Ta’dil
3. Ilmu Tarikh Ar-Ruwah (Tokoh-Tokoh Hadits)
4. Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits
5. Ilmu Ilal Al-Hadits
6. Ilmu Gharib Al-Hadits
7. Ilmu Nasakh Wa Al-Mansukh Al-Hadits
8. Ilmu Asbab Wurud Al-Hadia
9. Ilmu Tashif wat Tahrif.
Dalam prakteknya, ilmu hadits riwayah membahas tentang proses periwayatan hadits, yakni penerimaan, pemeliharaan dalam hafalan, pengalaman, dan tulisan-tulisan, serta penyampaiannya kepada orang lain baik secara lisan maupun tertulis. Ilmu hadits dirayah membicarakan kaidah tentang keadaan matan yang diriwayatkan, hal ihwal rawi, baik perawi penyampai maupun rawi penerima, yang tercatat pada sanda serta keadaan sanadnya dalam keadaan bersambung atau tidak. Pembahasan matan, rawi dan sanad dengan mempergunakan kaidah-kaidah tersebut dapat menetapkan nilai atau kualitas hadits tersebut, apakah diterima atau ditolak untuk dijadikan hujjah dan pedoman beramal dalam pelaksanaan syariat Islam.
Faedah Mempelajarinya
Dengan mempelajari Ilmu Hadits Dirayah ini, banyak sekali faedah yang diperoleh, antara lain;
a. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dari masa ke masa sejak masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sampai sekarang.
b. Dapat mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits.
c. Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para Ulama dalammengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
d. Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam beristimbat.
Dari beberapa faedah di atas, apabila diambil intisarinya, maka faedah mempelajari Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apabila ia maqbul (diterima) dan mardud (ditolak), baik dilihat dari sudut sanad maupun matannya.
Sumber:
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/ulumul-hadits/hadist/855/ilmu-hadits-dirayah.html
http://rinnanikshi.wordpress.com/2012/01/11/ilmu-hadits-riwayat-dirayah/
Drs. Munzier Suparta, M.A, Ilmu Hadis. . ., hal 28