Kebutuhan Umat Terhadap Negara Islam

Kebutuhan Umat Terhadap Negara Islam

Meninjau sejarah kehidupan manusia, kita menemukan bahwa pembentukan negara yang mampu mengekspresikan kepribadian mereka, menyatukan budaya, intelektual, mental, psikologis, edukasi, mencerminkan kepedulian, dan merealisasikan harapan dan aspirasi, merupakan persoalan yang sangat penting dan mendesak. Karena, negara yang dibentuk merupakan ekspresi kesatuan budaya di satu sisi, memeliharanya di sisi lain, dan merupakan upaya dalam membangun budaya.

Hal itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan beliau geluti dalam karier beliau sepanjang hayat. Setelah turun wahyu di gua Hira, beliau membangun dua hal:
Pertama, individu Muslim yang bertauhid. Hal ini dibentuk melalui bimbingan hati agar mereka menyembah Allah saja dalam wujud pengagungan, ketundukan, ketakutan, pengharapan, dan kecintaan kepada-Nya, dan melalui pembentukan pola pikir yang benar yang mampu berinteraksi dengan Zat yang mengetahui perkara gaib dan yang terlihat. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah melaksanakan firman Allah:

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Al-Jumu’ah: 2).

Kedua, Bangsa Muslim. Hal ini beliau lakukan melalui hubungan pribadi-pribadi yang bertauhid yang telah dibangun di bawah kepemimpinan beliau. Mereka mengikuti perintah beliau,  dakwah secara diam-diam ketika beliau berdakwah secara diam-diam, berdakwah terang-terangan ketika beliau berdakwah terang-terangan, dan hidup bersama beliau di satu tempat ketika mereka dikucilkan oleh masyarakat jahiliah.

Setelah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mampu merealisasikan dua misi tersebut,  beliau fokus pada sebuah Negara yang merupakan buah dan hasil dari dua misi tersebut di satu sisi dan menjadi sarana untuk menjaga, mengayomi, dan mengembangkan dua komponen tersebut di sisi lain. Untuk itu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mulai melihat suku-suku sekitar beliau sebagai inkubator bagi bangsa ini. Kunjungan ke Thaif adalah dalam arah ini, kemudian terjadilah kesepakatan dengan sekelompok orang Madinah yang dikenal dengan Baiat Aqabah Pertama, kemudian Baiat Aqabah Kedua. Dalam baiat ini kaum Anshar bersedia menerima hijrah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada mereka. Mereka berjanji akan melindungi, mendukung , dan membela beliau.

Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah berhijrah dan mendirikan daulah di Madinah, beliau terus mengonsolidasikan tiga hal yang menjadi tulang punggung bagi entitas Islam, yaitu individu, masyarakat, negara Muslim.

Kita dapat mengambil beberapa contoh di zaman modern tentang pentingnya sebuah Negara bagi kehidupan sebuah bangsa, yang ingin mempertahankan integritas di satu sisi, dan memiliki peran peradaban di sisi lain. Kita ambil contoh Amerika, Jerman dan Israel.

Amerika, setelah negara tersebut berdiri pada akhir abad kedelapan belas, telah menghadapi campuran ras yang datang dari Eropa, seperti Inggris, Prancis dan Italia, dari Asia, seperti Jepang dan Cina, dan orang berkulit hitam dari Afrika. Negara harus memperhatikan campuran ras ini dan mengembangkan rencana dan peraturan yang diperlukan untuk mencairkan semua ras tersebut dalam wadah bangsa Amerika, agar terhindar dari arah yang salah. Di antara peraturan yang dibuat adalah undang-undang  yang dikeluarkan pada tahun enam puluhan abad lalu untuk mengatasi masalah kulit hitam, yang menghapuskan segala bentuk diskriminasi rasial terhadap orang kulit hitam di ruang publik, dan buah itu adalah pembunuhan terhadap pemimpin kulit hitam, Martin Luther King.

Jerman pada abad ke-19 menghadapi perpecahan hingga menjadi puluhan entitas politik, yang kemudian pemimpin bangsa Jerman menganggap bahwa penyatuan bangsa Jerman menjadi satu negara merupakan orientasi utama dan pertama bagi negaranya.  Untuk itu, pemerintah menggunakan berbagai sarana ekonomi, budaya, politik dan militer dalam rangka mencapai kesatuan ini, hingga akhirnya bisa tercapai pada abad kesembilan belas. Nama-nama terkemuka yang memiliki peran dalam bidang budaya adalah penyair yang bernama Goethe, dan sosok yang menonjol dalam peran militer ialah Bismarck.

Adapun Israel, jelas bahwa abad kesembilan belas adalah abad yang memberikan hak bagi orang-orang Yahudi untuk pertama kalinya. Mereka disamakan dengan orang-orang di Eropa lainnya atas dasar kewarganegaraan, setelah Revolusi Prancis yang menyapu prinsip-prinsip umum benua Eropa. Yahudi mendapatkan keuntungan berkat iklim peradaban perkembangan baru dalam bidang ekonomi, keilmuan, dan sosial, yang belum pernah mereka nikmati dalam setiap periode sejarah mereka di Eropa. Meski demikian, Herzl menganggap kondisi ini belum bisa membuat pikiran orang-orang Yahudi tenang, dan itu tidak akan tercapai tanpa adanya Negara bagi mereka. Ia menganggap bahwa ada bangsa Yahudi, namun tidak ada negara bagi mereka. Untuk itu, Kongres Pertama Zionis di Basel Swiss pada tahun 1897 diadakan dalam rangka untuk mencapai tujuan ini. Kongres tersebut merumuskan “pembangunan negara di Palestina,” yang merupakan tujuan utama Zionis dunia.

Kemudian kepemimpinan Yahudi terus berlanjut hingga mendirikan Negara Israel pada tahun 1948, setelah mengusir rakyat Palestina, pemilik asli negara tersebut. Mereka menganggap negara untuk semua orang Yahudi di seluruh dunia, dan membela hak-hak mereka. Oleh karena itu, kita menemukan bahwa mereka selalu menuruti kemauan mereka sendiri, dan membuat perencanaan untuk memperbaiki posisi mereka. Peristiwa terakhir dari misi ini adalah perpindahan Yahudi Falasha dari Etiopia ke Israel pada tahun delapan puluhan abad yang lalu.

Sekarang, setelah jelas dari fakta-fakta yang telah kami sebutkan tentang pentingnya sebuah negara bagi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan bagi masyarakat modern, bagaimanakah gambaran kondisi umat Islam saat ini?

Sejarah umat Islam selama tiga abad tidak pernah lepas dari adanya negara yang membawa risalah Islam, menjaga entitas umat Islam, dan menjalankan semua urusan keagamaan dan keduniaan mereka.  Negara terakhir ialah Khilafah Utsmaniyah yang jatuh pada tahun 1924. Kaum muslim menganggap ini sebagai tragedi, hingga Ahmad Syauqi pernah menulis syair:

Wahai saudari Andalusia, selamat tinggal bagimu
Engkau dan Islam hilang seiring hilangnya khilafah

Kaum muslimin telah memperhatikan tentang pentingnya sebuah negara. Muhammad Rasyid Ridha dalam bukunya Al-Imamah Al-Uzma menjelaskan tentang perlunya mengembalikan negara. Berbagai gerakan di seluruh dunia Muslim berjuang dalam rangka mencapai tujuan ini. Sebut saja Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jamaah Islamiah di Pakistan, Jamaah An-Nur di Turki, dan Jamaah Umat Islam di Indonesia. Akan tetapi, belum ada satu pun kelompok yang bisa mencapai tujuan ini.

Apakah Dampak Tidak Adanya Negara?

Salah satu dampak yang sangat mengerikan adalah meluasnya kejahatan Israel terhadap negara-negara kawasan, penjarahan kekayaan umat Islam, dan pengabaian kesucian darah kaum muslimin.

Persoalannya tidak hanya berhenti pada bahaya yang tidak terhitung bila tidak ada negara yang mencerminkan umat ini, tetapi bisa menjurus pada ancaman terhadap entitas umat Islam. Ketika pembentukan negara terus tertunda, bahaya yang mengancam entitas umat ini semakin meningkat, di antaranya:

Pertama, pembentukan negara-negara baru berubah menjadi bangsa-bangsa baru. Ada pengelompokan yang bersifat politis  yang belum pernah dikenal dalam panggung sejarah kita masa lalu.  Bagaimana pun, bahayanya adalah umat Islam yang terkotak-kotak dalam batas-batas negara akan berubah menjadi perpecahan final. Muslim di Yordania akan berubah menjadi bangsa Yordania, Muslim di Mesir berubah menjadi bangsa Mesir, Muslim di Suriah berubah menjadi bangsa Suriah, Muslim di Yaman berubah menjadi bangsa  Yaman dan seterusnya. Dengan demikian negara Islam menjadi puluhan bangsa yang tidak saling menguatkan.

Kedua, umat ini akan terpecah-pecah menjadi negara-negara sektarian, faksional dan etnis. Ini merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh Israel dengan bantuan kaum neo konservatif di Washington, dan diwujudkan dalam sejumlah rencana yang disusun oleh persekongkolan tersebut. Pendudukan Irak adalah implementasi praktis dari rencana ini.

Ketiga, adanya beberapa penulis Islam yang meremehkan urgensi dan kebutuhan negara ini, seperti Dr Muhammad Ammarah. Ia mengatakan bahwa menegakkan hukum Islam itu persoalan cabang (furu’), bukan pokok (ushul). Ia memperkuat pernyataannya itu dengan mengutip pernyataan-pernyataan Ibnu Taimiyyah dan Al-Ghazali. Namun setelah diteliti ternyata ia memanfaatkan argumen para ulama masa lalu, bukan pada konteksnya dan berdalih dengan itu dalam persoalan yang berbeda dengan pendapat yang bersangkutan.

Keempat, di antara risiko yang mengancam dan akan menjadi rintangan terhadap pembentukan Daulah Islam adalah adanya beberapa kelompok, kepemimpinan, dan individu yang  masuk ke dalam praktek yang salah, sehingga memberikan kesempatan kepada musuh-musuh predator umat ini untuk mengambil keuntungan dari kesalahan ini dan memiliki alasan pembenaran. Selanjutnya, seluruh umat Islam harus membayar harganya.
Kelima, risiko lain yang mengancam pembentukan negara Islam adalah upaya memecah belah kesatuan budaya umat ini, untuk menghancurkan dan melemahkan efektivitasnya. Dua upaya yang telah dilakukan untuk memecah dan menghancurkan persatuan budaya pada abad kedua puluh adalah:

Pertama, ialah yang dilakukan oleh negara Suriah, Irak, Mesir, Aljazair, Sudan, yang mengembangkan pemikiran bahwa agama itu musuh kebangkitan, dan faktor kunci terhadap kemunduran dan keterbelakangan. Karena itu, mereka mencoba untuk mencabut agama dari eksistensi bangsa, apakah itu dalam fase liberalisme setelah Perang Dunia Pertama, ataukah dalam fase sosialisme setelah Perang Dunia II di tahun enam puluhan.

Dan kedua, dilakukan oleh Iran yang sekarang menyebarkan sekte Syiah di wilayah-wilayah yang dihuni oleh Muslim Sunni, seperti Mesir, Maroko dan lainnya; yang mengarah kepada percampuran sekte yang akan menghancurkan kesatuan umat yang berbudaya luhur ini. Sayangnya, Iran bekerja sama dengan AS dalam bidang ini. Dan contoh terbaik yang menunjukkan itu ialah arena Irak, di mana Iran telah bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam pendudukan Irak, dan mendorong para pemimpin Syiah di Irak untuk bekerja sama dengan Amerika. Hasilnya adalah kehancuran Irak, memicu konflik sektarian, dan pembagian Irak menjadi tiga entitas: Kurdi di utara, Sunni di tengah, dan Syiah di selatan.

Kesimpulan: Fakta bahwa umat Islam ini bila tanpa negara akan hidup dalam kerugian, kelelahan, dan ancaman tanpa henti. Umat ini bila tanpa daulah akan hidup bagaikan anak yatim di perjamuan penjahat. Dengan demikian, pembentukan Daulah Islam yang mencerminkan bangsa ini akan menyelamatkan eksistensi bangsa, kekayaan dan budaya, serta membuat umat ini bisa memainkan peran peradaban positif yang telah dilakukan pada masa lalu. (Disadur dari tulisan Dr. Ghazi At-Tawbah oleh Ibnu Yaman)

Referensi: an-najah

BAGIKAN KE ORANG TERDEKAT ANDA
ONE SHARE ONE CARE

Sekilas tentang penulis : Aksara Tanpa makna

Dakwah Islam, Kebenaran Islam, Islam Toleran