Pada Masa Kejayaan Islam setiap Masjid Memiliki Perpustakaan, Sekarang?
Dakwah Syariah | Memasuki tahun baru Islam 1435 Hijriyah, ada banyak hal kasus yang harus perlu dilakukan perbaikan untuk seluruh umat islam di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Salah satu hal yang dinilai masih kurang yaitu terkait kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang harus terus perlu ditingkatkan. Penurunan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan dalam dunia islam tidak terlepas dari minimnya kepedulian umat Islam mengenai sarana dan prasarana untuk menghasilkan banyak teknologi dan ilmu pengetahuan bernama perpustakaan.
Pada masa keemasan islam terdahulu, Pada Masa Kejayaan Islam, setiap Masjid Memiliki Perpustakaan, Sekarang?
Sejarah mencatat bagaimana peran perpustakaan menjadi sangat penting untuk melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar dunia seperti Ibnu Rusdy, Ibnu Syna, dan ilmuwan muslim kelas dunia lainya.
Tidak hanya perpustakaan saja, tapi dunia penulisan buku juga sudah berlangsung saat kemajuan islam waktu itu. Walau berbeda dengan penulisan buku sebagaimana penulisan buku dijaman sekarang ini, penulisan buku di era kekhalifahan dilakukan di masjid.
Dikutip dari republika.co.id (6/11/13), Proses penulisan buku di era kekhalifahan boleh dibilang sangat unik. Pada era itu, sarjana dan ulama menjadikan masjid sebagai tempat untuk menyusun buku. Sebelum sebuah buku diterbitkan, seorang penulis atau ilmuwan harus mempresentasikan isi bukunya kepada publik.
‘’Mereka melakukannya di masjid dengan cara dibaca atau didiktekan,” papar Ziauddin Sardar. Paparan penulis atau ilmuwan itu lalu didengarkan masyarakat umum dan dikopi oleh seorang warraqin, yang bekerja sebagai penulis yang menyalin berbagai manuskrip yang dipesan para pelanggannya.
Seiring semakin tingginya angka produksi buku, umat Islam pada masa itu mulai mendirikan perpustakaan. Lagi-lagi, masjid menjadi tempat untuk menampung buku. Menurut J Pedersen dalam Arabic Book, pada masa itu masyarakat Muslim menyerahkan koleksi bukunya ke masjid untuk disimpan di dar al-kutub (perpustakaan).
Masyarakat di hampir seluruh dunia Islam – mulai dari Atlantik hingga ke Teluk Persia – masjid dijadikan tempat yang aman untuk menyimpan buku. “Buku-buku itu dihadiahkan dan banyak ilmuwan yang mewariskan perpustkaan pribadinya kepada masjid untuk menjamin buku mereka tetap terpelihara,” ungkap R Mackensen dalam “Background of the History of Muslim Libraries”.
Tak heran, jika koleksi buku yang dimiliki perpustakaan masjid begitu melimpah. Di Allepo, Suriah, misalnya, perpustakaan masjid tertua bernama Sufiya mengoleksi buku hampir 10 ribu volume. Buku-buku itu merupakan pemberian dari penguasa kota Aleppo yang termasyhur, Pangeran Sayf al-Dawla. Gerakan wakaf buku ke perpustakaan masjid yang dipelopori pemimpin itu juga diikuti oleh para ilmuwan dan intelektual.
O Pinto dalam bukunya bertajuk “The Libraries of the Arabs during the time of the Abbasids,’ in Islamic Culture”. Menurutnya, hampir di setiap masjid dan lembaga pendidikan yang tersebar di dunia Islam, pada masa itu, dipastikan memiliki perpustakaan dengan jumlah buku yang melimpah.
Menurut Pinto, di Baghdad terdapat hampir 36 perpusatakaan umum – sebelum kota metropolis intelektual itu diluluh-lantakan pasukan tentara Mongol. Di pusat pemerintahan Abbasiyah itu juga terdapat ratusan pedagang buku dan penerbitan.
Dalam buku berjudul The Rabic Book karya Yaqut Mu’jam yang diterjemahkan G French disebutkan, di kota Merw – wilayah Persia Timur – pada tahun 1216 hingga 12 18 M terdapat 10 perpustakaan umum. Dua perpustakaan berada di masjid dan sisanya di madrasah.
“Bahkan di Spanyol Muslim terdapat 70 perpustakaan umum,” ungkap G Le Bon dalam bukunya berjudul La Civilisation des Arabes. Sejak abad ke-9 M, perpustakaan telah tersebar luas di kota-kota Islam. Di zaman itu, perpustakaan yang megah dan besar juga telah hadir di Kairo, Aleppo dan kota-kota besar lainnya di Iran, Asia Tengah dan Mesopotamia.