Al-Faraidh (Warisan)
PENGERTIAN FARAIDH
Faraidh adalah bentuk jama’ dari kata fariidhah. Kata fariidhah terambil dari kata fardh yang berarti taqdir, ketentuan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“(Maka bayarlah) separuh dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS al-Baqarah: 237).
Sedang menurut istilah syara’ kata fardh ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.
PERINGATAN KERAS AGAR TIDAK MELAMPAUI BATAS DALAM MASALAH WARISAN
Sungguh bangsa Arab pada masa Jahiliyah, sebelum Islam datang memberi hak warisan kepada kaum laki-laki, dan tidak diberikan kepada perempuan, dan kepada orang-orang dewasa, dan tidak diberikan anak-anak kecil.
Tatkala Islam datang, Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberi setiap yang punya hak akan haknya. Hak-hak ini disebut “Wasiat dari Allah” (QS an-Nisaa’: 12). dan disebut pula “Faridhah, ketetapan dari Allah” (QS an-Nisaa’: 11). Kemudian dua ayat tersebut dilanjutkan dengan masalah peringatan keras dan ancaman serius bagi orang-orang yang menyimpang dari syari’at Allah, khususnya dalam hal warisan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“(Hukum-hukum tersebut) adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkanya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya adzab yang menghinakan.” (QS an-Nisaa’: 13-14).
HARTA MAYYIT YANG SAH MENJADI WARISAN
Manakala seseorang meninggal dunia, maka yang mula-mula harus diurus dari harta peninggalannya adalah biaya persiapan jenazah dan penguburannya kemudian pelunasan hutangnya, lalu penyempurnaan wasiatnya, lantas kalau masih tersisa harta peninggalannya dibagi-bagikan kepada seluruh ahli warisnya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS an-Nisaa’: 11).
Dan pernyataan Ali ra:
“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah memutuskan pelunasan hutang sebelum melaksanakan (isi) wasiat.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 2195, Irwa-ul Ghalil no: 1667, Ibnu Majah II: 906 no: 2715 dan Tirmidzi III: 294 no: 2205).
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN MENDAPAT WARISAN
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mendapatkan warisan ada tiga:
Nasab
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah, satu sama lain lebih berhak (waris-mewaris).” (QS al-Ahzaab: 6)
Wala’ (Loyalitas budak yang telah dimerdekakan kepada orang yang memerdekakannya):
Dari Ibnu Umar dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, ia bersabda, “al-Walaa’ itu adalah kekerabatan seperti kekerabatan senasab.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7157, Mustadrak Hakim IV: 341, Baihaqi X: 292).
Nikah
Allah Subhanahu Wa Ta'ala menegaskan:
“Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS an-Nisaa’: 12)
SEBAB-SEBAB YANG MENGHALANGI MENDAPAT WARISAN
Pembunuhan
Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bahwa Beliau bersabda, “Orang yang membunuh tidak boleh menjadi ahli waris.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 4436, Irwa-ul Ghalil no: 1672, Tirmidzi II: 288 no: 2192 dan Ibnu Majah II: 883 no: 2645).
Berlainan agama:
Dari Usamah bin Zaid ra bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang muslim tidak boleh menjadi ahli waris orang kafir dan tidak (pula) orang kafir menjadi ahli waris seorang muslim.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 50 no: 6764, Muslim III: 1233 no: 1614, Tirmidzi III: 286 no: 2189, Ibnu Majah II: 911 no: 2729, ‘Aunul Ma’bud VIII: 120 no: 2892).
Perhambaan
Sebab seorang hamba dan harta bendanya adalah menjadi hak milik tuannya, sehingga kalau ada kerabatnya memberi warisan, maka ia menjadi milik tuannya juga, bukan menjadi miliknya.
PARA AHLI WARIS DARI PIHAK LELAKI
Yang berhak menjadi ahli waris dari kalangan lelaki ada sepuluh orang:
1 dan 2. Anak laki-laki dan puteranya dan seterusnya ke bawah.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." (QS An Nisaa’: 11).
3 dan 4. Ayah dan bapaknya dan seterusnya ke atas.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan." (QS An Nisaa’: 11).
Dan datuk termasuk ayah, oleh karena itu Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Saya adalah anak Abdul Muthallib." (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari VIII: 27 no: 4315, Muslim III: 1400 no: 1776, dan Tirmidzi III: 117 no: 1778).
5 dan 6. Saudara dan puteranya dan seterusnya ke bawah.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan saudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak." (QS An Nisaa’: 176).
7 dan 8. Paman dan anaknya serta seterusnya.
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Serahkanlah bagian-bagian itu kepada yang lebih berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki yang lebih utama (dekat kepada mayyit)." (Muttafaqun’alaih: Fatul Bari XII: 11 no: 6732, Muslim III: 1233 no: 1615, Tirmidzi III: 283 no: 2179 dan yang semakna dengannya diriwayatkan Abu Dawud, ‘Aunul Ma’bud VIII: 104 no: 2881, Sunan Ibnu Majah II: 915 no. 2740).
9. Suami.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu." (QS An Nisaa’: 12).
10. Laki-laki yang memerdekakan budak.
Sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
"Hak ketuanan itu milik orang yang telah memerdekakannya."
PEREMPUAN-PEREMPUAN YANG MENJADI AHLI WARIS
Perempuan-perempuan yang berhak menjadi ahli waris ada tujuh:
1 dan 2. Anak perempuan dan puteri dari anak laki-laki dan seterusnya.
Firman-Nya:
"Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu." (QS An Nisaa’: 11).
3 dan 4. Ibu dan nenek.
Firman-Nya:
"Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masing seperenam." (QS An Nisaa’: 11).
5. Saudara perempuan.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176).
6. Isteri.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Para isteri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).
7. Perempuan yang memerdekakan budak.
Sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
"Hak ketuanan itu menjadi hak milik orang yang memerdekakannya." (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari I: 550 no: 456, Muslim II: 1141 no: 1504, ’Aunul Ma’bud X: 438 no: 3910, Ibnu Majah II: 842 no: 2521).
ORANG-ORANG YANG BERHAK MENDAPATKAN WARISAN
Orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan ada tiga kelompok, yaitu: dzu fardh (kelompok yang sudah ditentukan bagiannya), kedua, ashabah dan ketiga rahim (atau disebut juga ulul arham).
Bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam Kitabullah Ta’ala ada enam: (pertama) separuh, (kedua) seperempat, (ketiga) seperdelapan, (keempat) dua pertiga, (kelima) sepertiga, dan (keenam) seperenam.
A. Yang dapat 1/2:
1. Suami yang dapat seperdua (dari harta peninggalan isteri), bila si mayyit tidak meninggalkan anak.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: "Dan kamu dapat separuh dari apa yang ditinggalkan isteri-isteri kamu, jika mereka tidak meninggalkan anak." (QS An Nisaa’: 12).
2. Seorang anak perempuan.
Firman-Nya: "Dan jika (anak perempuan itu hanya) seorang, maka ia dapat separuh." (QS An Nisaa’: 11).
3. Cucu perempuan, karena ia menempati kedudukan anak perempuan menurut ijma’ (kesepakatan) ulama’.
Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama’ sepakat bahwa cucu laki-laki dan cucu perempuan menempati kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Cucu laki-laki sama dengan anak laki-laki, dan cucu perempuan sama dengan anak perempuan, jika si mayyit tidak meninggalkan anak kandung laki-laki." (Al Ijma’ hal. 79)
4. dan 5. Saudara perempuan seibu dan sebapak dan saudara perempuan sebapak.
Firman-Nya: "Jika seorang meninggal dunia, padahal ia tidak mempunyai anak, tanpa mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan dapat separuh dari harta yang ia tinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176)
B. Yang dapat 1/4 ; dua orang.
1. Suami dapat seperempat, jika isteri yang wafat meninggalkan anak.
Firman-Nya: "Tetapi jika mereka meninggalkan anak, maka kamu dapat seperempat dari harta yang mereka tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).
2. Isteri, jika suami tidak meninggalkan anak.
Firman-Nya: "Dan isteri-isteri kamu mendapatkan seperempat dari apa yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak meninggalkan anak." (QS An Nisaa’: 12).
C. Yang dapat 1/8; hanya satu (yaitu):
Istri dapat seperdelapan, jika suami meninggalkan anak.
Firman-Nya: "Tetapi jika kamu tinggalkan anak, maka isteri-isteri kamu dapat seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).
D. Yang dapat 2/3; empat orang
1 dan 2. Dua anak perempuan dan cucu perempuan (dari anak laki-laki).
Firman-Nya: "Tetapi jika anak-anak (yang jadi ahli waris) itu perempuan (dua orang) atau lebih dari dua orang, maka mereka daat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan (oleh bapaknya)." (QS An Nisaa’: 11).
3 dan 4. Dua saudara perempuan seibu sebapak dan dua saudara perempuan sebapak.
Firman-Nya: "Tetapi jika adalah (saudara perempuan) itu dua orang, maka mereka dapat dua pertiga dari harta yang ia tinggalkan." (QS An Nisaa’: 176).
E. Yang dapat 1/3; dua orang:
1. Ibu, jika ia tidak mahjub (terhalang).
Firman-Nya: "Tetapi jika si mayyit tidak mempunyai anak, dan yang jadi ahli warisnya (hanya) ibu dan baoak, maka bagi ibunya sepertiga." (QS An Nisaa’: 11).
2. Dua saudara seibu (saudara tiri) dan seterusnya.
Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan tak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu, dapat seperenam, tetapi jika saudara-saudara itu lebih dari itu maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu." (QS An Nisaa’: 12).
F. Yang dapat 1/6; ada tujuh orang:
1. Ibu dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak atau saudara lebih dari seorang.
Firman-Nya: "Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya dapat sepertiga; jika yang wafat itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 11).
2. Nenek, bila si mayyit tidak meningalkan ibu. Ibnul Mundzir menegaskan, "Para ulama’ sepakat bahwa nenek dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan ibu." (Al Ijma’ hal. 84).
3. Seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan.
Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan itu tidak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 12).
4. Cucu perempuan, jika si mayyit meninggalkan seorang anak perempuan:
Dari Abu Qais, ia bertutur: Saya pernah mendengar Huzail bin Syarahbil berkata, "Abu Musa pernah ditanya perihal (bagian) seorang anak perempuan dan cucu perempuan serta saudara perempuan." Maka ia menjawab, "Anak perempuan dapat separuh dan saudara perempuan separuh (juga), dan temuilah Ibnu Mas’ud (dan tanyakan hal ini kepadanya) maka dia akan sependapat denganku!" Setelah ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan pernyataan Abu Musa disampaikan kepadanya, maka Ibnu Mas’ud menjawab, "Sungguh kalau begitu (yaitu kalau sependapat dengan pendapat Abu Musa) saya benar-benar sesat dan tidak termasuk orang-orang yang mendapat hidayah. Saya akan memutuskan dalam masalah tersebut dengan apa yang pernah diputuskan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: yaitu anak perempuan dapat separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki dapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), dan sisanya untuk saudara perempuan.’ Kemudian kami datang menemui Abu Musa, lantas menyampaikan pernyataan Ibnu Mas’ud kepadanya, maka Abu Musa kemudian berkomentar, ”Janganlah kamu bertanya kepadaku selama orang yang berilmu ini berada di tengah-tengah kalian.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1863, Fathul Bari XII: 17 no: 6736, ’Aunul Ma’bud VIII: 97 no: 2873, Tirmidzi III: 285 no: 2173, namun dalam riwayat Abu Daud dan Tirmidzi tidak termaktub kalimat terakhir).
5. Saudara perempuan sebapak, jika si mayat meninggalkan seorang saudara perempuan seibu sebapak sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), karena dikiaskan kepada cucu perempuan, bila si mayyit meninggalkan anak perempuan.
6. Bapak dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak.
Firman-Nya: "Dan bagi dua ibu bapaknya; buat tiap-tiap seorang dari mereka seperenam dari harta yang ditinggalkan (oleh anaknya), jika (anak itu) mempunyai anak." (QS An Nisaa’: 11).
7. Datuk (kakek) dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan bapak. Dalam hal ini Ibnul Mundzir menyatakan, "Para ulama’ sepakat bahwa kedudukan datuk sama dengan kedudukan ayah." (Al Ijma’ hal. 84).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 797 – 808.