Al-Hudud
1. PENGERTIAN HUDUD
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan) (Fiqhus Sunnah II: 302).
Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama (Manarus Sabil II: 360).
2. DELIK HUKUMAN KEJAHATAN
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya sudah menetapkan hukuman-hukuman tertentu bagi sejumlah tindak kejahatan tertentu yang disebut jaraimul hudud (delik hukuman kejahatan). Yaitu meliputi kasus; perzinahan, tuduhan berzina tanpa bukti yang akurat, pencurian, mabuk-mabukan, muharabah
(pemberontakan dalam negara Islam dan pengacau keamanan), murtad, dan perbuatan melampui batas lainnya (Fiqhus Sunnah II: 302).
3. KEUTMANAAN MELAKSANAKAN HUKUM HAD
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Satu hukuman kejahatan yang ditegakkan di muka bumi lebih penduduknya daripada mereka diguyurhujan selama empat puluh hari.” (Hasan ; Shahih Ibnu Majah no; 2057, Ibnu Majah II ; 848 no : 2538, Nasa’I VIII ; 76).
4. KEWAJIBAN MENEGAKKAN HUKUMAN ATAS KELUARGA DEKAT ATAPUN SELAIN MEREKA DAN ATAS ORANG TERPANDANG MAUPUN RAKYAT JELATA
Dari ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Tegakkanlah hukuman-hukuman (dari) Allah pada kerabat dan lainnya, dan janganlah kecamanan orang yang suka mencela mempengaruhi kamu dalam (menegakkan hukum-hukum) Allah.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah No. 2058 dan Ibnu Majah 849 No. 2540)
Dari Aisyah bahwa Usamah pernah berbincang-bincang dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam perihal seorang perempuan, lalu Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa hanyalah disebabkan mereka biasa menegakkan hukuman kejahatan atas nama orang yang dipandang hina dan mereka tidak menegakkannya atas orang yang terpandang. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalaulah sekiranya Fatimah (binti Mumahammad) melakukan (pencurian) itu, niscaya aku potong tangannya.” (Shahih ; Irwa-ul Ghalil no. 2319 dan Fathul Bari XII 86 no. 6887).
5. TIDAK DIBENARKAN MINTA PEMBEBASAN HUKUMAN, BILA SUDAH DIMEJAHIJAUKAN
Dari Aisyah r.a bahwa kaum Quraisy sangat memusingkan mereka ihwal seorang perempuan suku Makhzum yang telah melakukan kasus pencurian. Mereka mengatakan, “Siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (yaitu mengemukakan permintaan supaya perempuan itu dibebaskan)?” Tidak ada yang berbicara hal itu, kecuali Usamah kesayangan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan Beliau menjawab, “Adakah engkau hendak menolong supaya orang bebas dari hukuman Allah?” Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berdiri lalu berkhutbah, “Hai sekalian manusia, orang-orang sebelum kamu menjadi sesat hanyalah disebabkan apabila seorang bangsawan mencuri, mereka biarkan (tidak melaksanakan hukuman kepadanya. Demi Allah, kalaulah seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad memotong tangannya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 87 No. 6788, Muslim II: 1315 no 1688, ‘Aunul Ma’bud XII: 31 No: 4351, Nasa’i VII: 74, Tirmidzi II: 442 no: 1455 dan Ibnu Majah II: 851 no: 2547)
6. DIANJURKAN MENUTUP AIB SESAMA MUKMIN
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa menutup aib orang muslim, niscaya Allah menutup aibnya (juga) di dunia dan di akhirat.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no. 1888, Muslim IV: 2074 no 2699, Tirmidzi II: 539 no 1449, Ibnu Majah I: 82 No. 225, ‘Aunul Ma’bud XIII: 289 no. 4925).
Dianjurkan juga bagi seorang hamba untuk menutup aibnya sendiri, sebagaimana yang ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, “Seluruh ummatku akan dima’afkan (kesalahannya), kecuali orang-orang yang membeberkan aibnya sendiri; dan termasuk membeberkan aib sendiri seseorang di malam hari melakukan kesalahan, kemudian esok harinya Allah menutupinya, lantas ia berkata (kepada orang lain): Hai fulan, tadi malam saya sudah berbuat begini dan begini. Padahal semalam aibnya ditutupi oleh Rabbnya, maka pada pagi harinya dia membuka tabir Allah itu atasnya.” (Muttafaqun ’alaih: X: 486 no: 6069, dan Muslim IV: 2291 no: 2990)
7. HUDUD SEBAGAI KAFARAH
Dari Ubadah bin Shamit r.a, ia bertutur: Kami pernah berada di dekat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam salah satu majelis, Beliau bersabda, “Berjanji setialah kamu kepadaku, bahwa kamu tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak akan mencuri dan tidak (pula) akan berzina.” Kemudian Beliau membaca seluruh ayat ini. Lanjut Beliau, “Maka barangsiapa di antara kamu yang menepati janjinya, niscaya Allah akan memberikannya pahala. Tetapi siapa saja yang melanggar sesuatu darinya, lalu diberi hukuman maka hukuman itu adalah sebagai kafarah (penghapus dosanya), dan barangsiapa yang melanggar sesuatu darinya lalu ditutupi olah Allah kesalahannya (tidak dihukum), maka terserah kepada Allah; Kalau Dia menghendaki diampuni-Nya kesalahan orang itu dan kalau Dia menghendaki disiksa-Nya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I: 64 no: 18, Muslim III: 1333 no: 1709 dan Nasa’i VII: 148).
8. PIHAK YANG BERWENANG MELAKSANAKAN HUDUD
Tak ada yang berwenang menegakkan hudud, kecuali imam, kepala negara, atau wakilnya (aparat pemerintah yang mendapat tugas darinya). Sebab, di masa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Beliaulah yang melaksanakannya, demikian pula para Khalifahnya sepeninggal Beliau. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah juga mengutus Unais r.a untuk melaksanakan hukum rajam, sebagaimana dalam sabdanya Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
“Wahai Unais, berangkatlah menemui isteri orang itu, jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah!” (Hadis ini akan dimuat kembali dalam kisah yang akan segera dikemukakan)
Seorang tuan boleh melaksanakan hukuman atas hamba sahayanya. Hal ini mengacu pada sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
“Apabila seorang budak perempuan berzina, lalu terbukti ia berzina, maka hendaklah dia (tuannya) mencambuknya dengan sunguh-sungguh dan janganlah mencelanya. Kemudian jika ia berzina untuk kedua kalinya, maka juallah ia meki sekedar dengan harga sehelai rambut.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 165 No. 6839 dan Muslim III: 1328 No. 1703).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm 815 – 820.