‘Ashabah
PENGERTIAN 'ASHABAH
Menurut bahasa, kata ’ashabah adalah bentuk jama’ dari kata ’aashib, seperti kata thalabah adalah bentuk jama’ dari kata thaalib, (kata ’ashabah) yang berarti anak-anak laki-laki seorang dan kerabatnya dari ayahnya.
Sedang yang dimaksud dalam kajian faraidh di sini ialah orang-orang yang mendapat alokasi sisa dari harta warisan setelah ashabul furudh (orang-orang yang berhak mendapat bagian) mengambil bagiannya masing-masing. Jika ternyata harta warisan itu tidak tersisa sedikitpun, maka orang-orang yang terkategori ’ashabah itu tidak mendapat bagian sedikitpun, kecuali yang menjadi ’ashabah itu adalah anak laki-laki, maka sama sekali ia tidak pernah terhalang. (Pengertian ini dikutip dari Fiqhus Sunnah III: 437).
Segenap orang yang termasuk ’ashabah berhak juga mendapatkan harta warisan seluruhnya, bila tidak didapati seorangpun dari ashabul furudh:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ”Serahkanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki yang lebih utama (lebih dekat kepada si mayyit).” (Teks hadits dan takhrijnya sudah termaktub pada halaman sebelumnya).
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan saudara laki-laki itu menjadi ahli waris pusaka saudara perempuannya, jika saudara perempuan tersebut tidak mempunyai anak (laki-laki)." (QS An Nisaa’: 176).
Jadi, seluruh harta warisan harus diserahkan kepada saudara laki-laki, ketika ia sendirian, dan kiaskanlah seluruh ’ashabah yang lain kepadanya.
KLASIFIKASI 'ASHABAH
’Ashabah terbagi dua, yaitu ’ashabah sababiyah dan ’ashabah nisbiyah.
A. ’Ashabah sababiyah ialah ’ashabah yang terjadi karena telah memerdekakan budak.
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
”Hak ketuanan itu milik bagi orang memerdekakannya.” (Teks hadits dan takhrijnya sudah termuat pada halaman sebelumnya).
Sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam :
”Hak ketuanan itu adalah daging seperti daging senasab.” (Teks hadits dan takhrijnya sudah dimuat pada halaman sebelumnya).
Orang laki-laki atau perempuan yang memerdekakan budak tidak boleh menjadi ahli waris, kecuali apabila yang bekas budak itu tidak meninggalkan orang yang termasuk ’ashabah nasabiyah:
Dari Abdullah bin Syaddad dari puteri Hamzah, ia berkata, ”Bekas budakku telah meninggal dunia dan ia meninggalkan seorang puteri, maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam membagi harta peninggalannya kepada kami dan kepada puterinya, yaitu Beliau menetapkan separuh untukku dan separuhnya (lagi) untuk dia.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 2210, Ibnu Majah II: 913 no: 2734 dan Mustadrak Hakim IV: 66).
B. Adapun ‘ashabah nasabiyah ada tiga kelompok:
1. 'Ashabah binafsih, yaitu orang-orang yang menjadi ‘ashabah dengan sendirinya: Mereka adalah orang-orang laki-laki yang menjadi ahli waris selain suami dan anak dari pihak ibu.
2. ‘Ashabah bighairih, ya’ni orang-orang yang jadi ‘ashabah disebabkan ada orang lain: Mereka adalah anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan seibu sebapak, dan saudara perempuan sebapak. Jadi, masing-masing dari mereka itu kalau ada saudara laki-lakinya menjadi ’ashabah mendapat separuh dari harta warisan.
Firman-Nya:
"Dan jika mereka (yang jadi ahli waris) itu saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagi saudara laki-laki itu bagian dua saudara perempuan." (QS An Nisaa’: 176).
3. 'Ashabah ma’aghairih, yaitu orang-orang yang jadi ‘ashabah bersama orang lain: Mereka adalah saudara-saudara perempuan bersama anak-anak perempuan; berdasarkan hadits:
Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata, “Dan sisanya untuk saudara perempuan.” (Teks hadits dan takhrijnya sudah dimuat pada halaman sebelumnya).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 808 – 810.