Kitab Al- Jinayat (Pidana)
1. DEFINISI JINAYAT
Secara bahasa kata jinaayaat adalah bentuk jama’ dari kata jinaayah yang berasal dari janaa dzanba yajniihi jinaayatan yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashbar (kata dasar), kata jinaayah dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak. (Subulus Salam III: 231).
Menurut istilah syar’i, kata jinaayah berarti menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash atau membayar diat. (Manarus Sabil II: 315)
2. ISLAM MENGHORMATI KEHORMATAN–KEHORAMATAN KAUM MUSLIMIN
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“…dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS An-Nisaa’: 29-30)
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS An-Nisaa’: 93)
“Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS Al-Maaidah: 32)
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Hendaklah kalian menjauhi tujuh perkara yang membinasakan.” Ada yang bertanya, “Ya Rasulullah, apa saja itu?” Jawab Beliau, “(Pertama) menyekutukan Allah, (kedua) perbuatan sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah Allah haramkan (membunuhnya) kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan harta benda anak yatim, (kelima) makan riba, (keenam) berpaling pada waktu menyerang musuh (desersi), dan (ketujuh) menuduh (berzina) perempuan-perempuan mukmin yang tidak tahu menahu (tentang itu).” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ’Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).
Dari Abdullah bin Umar bin Khatthab ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Bagi Allah lenyapnya dunia jauh lebih ringan daripada membunuh seorang muslim.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5077, Tirmidzi II: 426 no: 1414 dan Nasa’i VII: 82).
Dari Abu Sa’id al-Khudri dan Abu Huraitah ra, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda, “Andaikata segenap penghuni langit dan penghuni bumi bersekongkol menumpahkan darah seorang mukmin, maka niscaya Allah akan menjebloskan mereka ke dalam api neraka.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5247 dan Tirmidzi II: 427 no: 1419).
Dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Perkara yang pertama kali diputuskan di antara manusia (oleh Allah kelak) ialah kasus pembunuhan.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 187 no: 8664, Muslim III: 1304 no: 1418 dan Nasa’i VII: 83)
Darinya (Abdullah bin Mas’ud) ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada seorang laki-laki datang dengan memegang tangan laki-laki lain, lalu berkata, ‘Wahai Rabbku, orang ini telah berusaha membunuhku.’ Kemudian Allah bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau berusaha membunuhnya?’ Maka orang yang telah berusaha membunuhnya itu menjawab, ‘Aku membunuhnya supaya kemuliaan menjadi milik-Mu semata.’ Kemudian Allah menjawab, ‘Maka (kalau begitu), itu untuk-Ku semata.’ Kemudian datang (lagi) seorang laki-laki (lain) sambil memegang tangan laki-laki juga, lalu ia berkata, ‘(Wahai Rabbku), orang ini telah membunuhku.’ Lalu tanya Allah kepadanya, ‘Mengapa engkau membunuhnya?’ Jawabnya, ‘Supaya kemuliaan ini menjadi milik si fulan.’ Maka firman Allah, ‘Sesungguhnya kemuliaan bukanlah milik si fulan.’ Maka laki-laki yang berusaha itu pulang dengan membawa dosanya.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 3732 dan Nasa’i VII: 84).
3. HARAM BUNUH DIRI
Dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda, “Barang siapa menjatuhkan diri dari atas gunung, yaitu ia bunuh diri, maka pasti ia masuk neraka jahanam; ia dijebloskan ke dalamnya dan kekal abadi selama-lamanya di dalamnya. Barangsiapa meneguk racun, yaitu bunuh diri, maka racunnya berada di tangannya, ia meminumnya di dalam neraka Jahanam kekal abadi selama-lamanya di dalamnya. Barangsiapa bunuh diri dengan pisau tajam, maka pisau tajam tersebut berada di tangannya, yang dengannya ia menusuk perutnya di dalam neraka Jahannam, kekal abadi selama-lamanya di dalamnya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari X: 247 no: 5778, Muslim I: 103 no 109, Tirmidzi III: 260 no: 2116, ‘Aunul Ma’bud X: 3855 hanya memuat kalimat yang ada masalah racunnya saja, dan Nasa’i IV: 67).
Dari Jundab bin Abdullah ra, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Adalah di antara orang-orang sebelum kamu ada seorang laki-laki yang terluka. Ia putus asa, lantas mengambil sebilah pisau, lantas memotong tangannya. Ternyata kemudian darahnya mengucur terus hingga tewas. Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, ‘Ia terburu-buru bunuh diri, saya haramkan ia masuk surga.’” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari VI: 496 no: 3463 dan Muslim I: 107 no: 113).
Dari Jabir ra bahwa Thufail bin Amr ad-Dausi pernah datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu berkata, “Ya Rasullah, apakah engkau mempunyai benteng yang kokoh dan tangguh?” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda. “Itu adalah sebuah benteng milik (bani) Aus dalam masa jahiliyah.” Rasullah enggan menjelaskan ihwal barang yang Allah Subhanahu Wa Ta'ala simpan untuk kaum Anshar itu. Tatkala Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berhijrah ke Madinah, Thufail bin Amr pun hijrah ke sana dan ia ditemani salah seorang dari kaumnya. Ternyata di Madinah mereka tidak kerasan, lantas sakit lalu ia (anak buahnya Thufail itu) putus asa. Kemudian mengambil anak panah bermata lebar miliknya, lalu denganya ia memotong ruas jarinya, kemudian mengalirlah darah dari kedua tangannya hingga ia tewas. Kemudian Thufail bin Amr bermimpi melihatnya dalam penampilan yang menarik, dan dia (Thufail) melihat ia menutup kedua tangannya. Kemudian dia bertanya kepadanya, “Apa yang dilakukan Rabbmu terhadapmu?” Jawabnya, “Dia telah mengampuniku karena aku berhijrah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.” Thufail bertanya, “Mengapa aku melihatmu (dalam mimpi) menutup kedua tanganmu?” Dia menjawab: “Dikatakan kepadaku, ‘Kami tidak akan sekali-kali memperbaiki apa yang telah kamu rusak.’” Kemudian Thufail menyampaikan mimpi tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, lantas Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa pada kedua tangannya.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 97 dan Muslim I: 108 no: 116).
4. HAL-HAL YANG MEMBOLEHKAN MELAKUKAN PEMBUNUHAN
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang telah Allah haramkan (membunuhnya), kecuali dengan cara yang haq.” (QS Al-Israa’: 33)
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku diperintah (oleh Allah) memerangi orang-orang hingga mereka (mau) bersaksi bahwa tiada Ilah (yang layak diibadahi) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya, dan (mau) menegakkan sholat serta menunaikan zakat. Jika mereka melaksanakan itu (semua), maka darah dan harta benda mereka terpelihara dari kami kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka sepenuhnya di tangan Allah.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari I: 75 no: 25 dan Muslim I: 53 no: 22)
“Cara yang haq” yang kita dibenarkan melalui pembunuhan dalam ayat diatas dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan sabdanya:
“Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang patut diibadahi) kecuali Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan bahwa aku adalah Rasul-Nya, melainkan dengan salah satu dari tiga hal: (pertama) jiwa (dibalas) dengan jiwa, (kedua) orang yang pernah menikah kemudian berzina, dan (ketiga) orang yang keluar dari agamanya dan meninggalkan jama’ah (kaum muslimin),”(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 201 no: 201 no: 6878, Muslim III: 1302 no: 1676, ‘Aunul Ma’bud XII: 5 no: 4330, Tirmidzi II: 429 no: 1423, Nasa’i VII: 90 dan Ibnu Majah II: 847 no: 2534).
5. KLASIFIKASI PEMBUNUHAN
Pembunuhan terbagi tiga: pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang mirip dengan sengaja, dan ketiga pembunuhan karena keliru.
Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja ialah seorang mukalaf secara sengaja (dan terencana) membunuh orang yang terlindungi darahnya (tak bersalah), dengan dasar dugaan kuat bahwa dia harus dibunuh olehnya.
Adapun yang dimakasud syibhul ’amdi (pembunuhan yang mirip dengan sengaja) ialah seorang mukallaf bermaksud tidak memukulnya, yang secara kebiasaan tidak dimaksudkan hendak membunuhnya, namun ternyata oknum yang jadi korban meninggal dunia.
Sedangkan yang dimaksud pembunuh karena kelliru ialah seorang mukallaf melakukan perbuatan yang mubah baginya, seperti memanah binatang buruan atau semisalnya, ternyata anak panahnya nyasar mengenai orang hingga meninggal dunia.
6. AKIBAT HUKUM YANG MESTI DIEMBAN PELAKU PEMBUNUHAN
Untuk jenis pembunuhan yang kedua dan ketiga, maka pelakunya dikenakan hukuman harus membayar kafarah dan harus membayar diat bagi keluarga si pembunuh. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman;
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (iidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[336]. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya[337], Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nisaa’: 92)
Adapun untuk pembunuhan yang disengaja dan terencana, maka pihak wali dari terbunuh diberi dua alternatif, yaitu menuntut hukum qishash, atau memaafkan dengan mendapat imbalan diat. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS Al-Baqarah: 178).
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda, “Barang siapa yang dibunuh dan ia mempunyai keluarga, maka (pihak keluarganya) memilliki dua alternatif: boleh menuntut diat, boleh menuntut qhisash.” (Muttafaqun’alai: Fathul Bri XII; 205 dan Muslim II: 988 no: 1355).
Diat wajib ini sebagai ganti dari qishash. Oleh sebab itu, pihak keluarga terbunuh boleh berdamai dengan si pembunuh dengan jalan meenuntut selain diat, walaupun nilainya lebih besar daripada diat. Hal ini didasrkan pada sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
“Barangsiapa yang membunuh (orang tak bersalah) secara sengaja (dan terencana), maka urusannya kepada pihak keluarga si terbunuh. Jika mereka mau, menuntut hukum balas membunuh; dan jika mau, mereka menuntut diat, yaitu (membayar) tiga puluh hiqqah (onta betina berusia tiga tahun yang masuk tahun keempat) dan tiga puluh jadza’ah (onta yang masuk tahun kelima) serta empat puluh khalifah (onta yang sedang bunting) dan, apa saja yang mereka tuntut kepadasi pembunuh sebagai imbalan perdamaian, maka ia (imbalan itu) untuk mereka, dan yang demikian itu untuk penekanan pada diat.” (Hasan: Shahih Tirmidzi no: 1121 dan Tirmidzi II: 423 no: 1406 dan Ibnu Majah II: 887 no: 2626).
Namun mema’afkan secara cuma-cuma, tanpa menuntut apa-apa kepada si pembunuh adalah sikap yang amat sangat utama lagi mulia. Firman-Nya:
“Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa.” (QS Al-Baqarah: 237)
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Dan, Allah tidak menambah pada seorang karena pemaafannya, melainkan kemuliaan.” (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 1894, Muslim IV: 2001 no: 2588 dan Tirmidzi III: 254: 2098)
7. SYARAT-SYARAT WAJIBNYA HUKUM QISHASH
Hukum qishash tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1. Si pembunuh haruslah orang mukallaf (aqil baligh), sehingga anak kecil, orang gila, dan orang yang tidur tidak terkena hukum qishash. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Diangkat pena dari tiga golongan: (Pertama) dari anak kecil hingga baligh, (kedua) dari orang tidak waras pikirannya hingga sadar (sehat), dan (ketiga) dari orang yang tidur hingga jaga.” (Shahih: Shahihul ‘Jami’us Shaghir no: 3512).
2. Orang yang terbunuh adalah orang yang terlindungi darahnya, yaitu bukan orang yang darahnya terancam dengan salah satu sebab yang disebutkan dalam hadist Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
“Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan satu di antara tiga … dst.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7641).
3. Hendaknya si terbunuh bukanlah anak si pembunuh, karena ada hadist Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
“Seorang ayah tidak boleh dibunuh karena telah membunuh anaknya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2214, Tirmidzi II: 428 no: 1422 dan Ibnu Majah II: 888 no: 2661).
4. Hendaknya si korban bukanlah orang kafir, sedangkan si pembunuh orang muslim. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Orang muslim tidak boleh dibunuh karena telah (membunuh) orang kafir.” (Hasan Shahih: Shahih Tirmidzi no: 1141, Fathul Bari XII: 260 no: 6915, Tirmidzi II: 432 no: 1433 dan Nasa’i VIII: 23).
5. Hendaknya yang terbunuh bukan seorang hamba sahaya, sedang si pembunuh orang merdeka. Al-Hasan berkata:
“Orang merdeka tidak boleh dibunuh karena (telah membunuh) seorang budak.” (Shahih Maqthu’: Shahih Abu Daud no: 3787, ‘Aunul Ma’bud XII: 238 no: 4494).
Ini adalah madzhab jumhur ulama’, mereka dengan banyak dalil yang kesemuanya tidak lepas dari pembicaraan. Syaikh Asy-Syinqithi rhm, dalam kitab Adhwa-ul Bayan menyebutkan dalil-dalil tersebut, kemudian beliau berkata:
“Riwayat-riwayat ini banyak, meskipun masing-masing darinya tidak lepas dari pembicaraan, namun sebagiannya memperkokoh sebagian yang lain dan saling menguatkan sehingga kesemuanya pantas dan boleh dijadikan hujjah. Dalil-dalil ini menetapkan bahwa orang merdeka tidak boleh dibunuh karena telah membunuh hamba sahaya. Mereka sepakat tidak ada hak menuntut qishash bagi hamba sahaya yang dianiaya oleh orang merdeka.
Jika tidak ada tuntutan qishash pada sebagian anggota badan, maka sudah barang tentu tidak ada qishash dalam kasus pembunuhan dan tidak ada yang menentang ketetapan ini, kecuali Daud (Az-Zhain) dan Ibnu Ali Laila. Dalil-dalil itu juga menjadi hujjah atas para ulama’ yang berpendapat dalam kasus pembunuhan (oleh orang merdeka terhadap budak) karena tersalah, tidak disengaja, hanya ada kewajiban membayar qimah (sesuatu yang senilai), bukan diat. Namun sekelompok ulama’ membatasi manakala qimahnya tidak sampai melebihi diat orang merdeka.
Dalil-dalil itu juga memutuskan bahwa kalu seorang merdeka menuduh hamba sahaya berbuat zina, maka ia (orang merdeka itu) tidak wajib dijatuhi hukum had menurut mayoritas ulama’, kecuali riwayat dari Ibnu Umar al-Hasan dan kelompok Zhahiriyah yang mewajibkan hukum had atas orang yang menuduh ummul berzina (secara khusus) tuduhan itu kepada ummul walad.”
8. SEKELOMPOK DIQSISHASH KARENA TELAH MEMBUNUH SEORANG
Apabila ada sekelompok orang sepakat membunuh satu orang, maka mereka semua dibunuh juga. Ini berpijak pada riwayat Imam Malik:
Dari Sa’id bin Musayyab bahwa Umar bin Khathab ra pernah membunuh sekelompok orang, yaitu lima atau tujuh orang karena telah membunuh seorang laki-laki dengan pembunuhan secara tipu daya (yaitu membujuk korban hingga mau keluar ke tempat yang sepi lalu dibunuh), dan dia berkata, ‘Andaikata penduduk negeri Shan’a bersekongkol membunuhnya, niscaya kubunuh mereka semuanya.’” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2201, Muwaththa’ Malik hal. 628 no: 1584, asy-Syafi’i dalam al-Umm VI: 22 dan Baihaqi VIII: 41).
9. JELASNYA PELAKSANAN HUKUM QISHASH
Hukum qishash bisa menjadi jelas dilaksanakan dengan salah satu dari dua hal berikut:
1. Pengakuan dari pelaku
Dari Anas ra, bahwa ada seorang Yahudi menumbuk kepala seorang budak perempuan di antara dua batu. Lalu ia (budak itu) ditanya, “Siapa yang berbuat begini kepadamu? si A atau si B?” Hingga disebutlah nama orang Yahudi itu, lalu dia menganggukkan kepalanya. Kemudian didatangkanlah orang Yahudi itu, lalu (setelah ditanya) dia mengaku. Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyuruh agar kepala Yahudi itu ditumbuk dengan batu (juga). (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 198 no: 6876, Muslim III: 1413, Nasa’i VIII: 22 dan Ibnu Majjah II: 889 no: 2666).
2. Kesaksian dua orang laki-laki yang adil
Dari Rafi’ bin Khadif ra berkata: “Pada suatu pagi ada seorang laki-laki dari kaum Anshar terbunuh di daerah Khaibar, lalu berangkatlah keluarganya menemui Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lantas mereka menyampaikan kasus pembunuhan tersebut kepada Beliau. Kemudian Beliau bersabda, “Apakah kelian memiliki dua laki-laki yang menyaksikan proses pembunuhan saudaramu itu?” Jawab mereka, “Ya Rasulullah, di sana tak ada seorang pun dari kaum muslimin. Mereka hanyalah kaum Yahudi dan tidak jarang mereka ini melakukan penganiayaan lebih kejam daripada ini.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, pilihlah lima puluh di antara mereka, kemudian ambillah sumpah mereka.” Namun mereka menolak. Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam membayar diat kepada ahli kurban dari kantongnya sendiri.” (Shahih Lighairihi: Shahih Abu Daud no: 3793 dan ‘Aunul Ma’bud XII: 250 no: 4501)
10. SYARAT-SYARAT PENYEMPURNAAN PELAKSANAAN QISHASH
Demi kesempurnaan qishash ada tiga syarat yang mesti dipenuhi:
1. Ahli waris si kurban harus mukallaf. Jika ahli warisnya masih belum dewasa atau gila, maka si pembunuh harus dipenjara hingga ahli warisnya itu mukallaf.
2. Pihak keluarga korban sepakat menuntut hukum qishash, karena itu manakala ada sebagian di antara mereka yang mema’afkan secara gratis, maka gugurlah hukum qishash dari si pembunuh.
Dari Zaid bin Wahab, bahwa Umar ra pernah diajukan kepadanya seorang laki-laki yang telah membunuh laki-laki lain. Kemudian keluarga si terbunuh menghendaki qishash, maka ada saudara perempuan si terbunuh –dan ia adalah isteri si pembunuh berkata–, “Sungguh bagianku saya maafkan kepada suamiku.” Kemudian Umar berkata, “Hendaklah laki-laki yang membunuh itu memerdekakan budak sebagai sanksi dari pembunuhannya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2222 dan X: 18188)
Darinya (Zaid bin Wahab), ia berkata, “Ada seorang suami mendapati laki-laki lain berduaan dengan isterinya, kemudian dia bunuh isterinya. Kemudian kasus tersebut diajukan kepada Umar bin Khatab ra lalu dia mendapati sebagian saudara isterinya berada di sana, kemudian ia (saudara isterinya itu) menshadaqahkan bagiannya kepadanya (si pembunuh). Kemudian Umar ra menyuruh (si pembunuh) membayar diat kepada mereka semua.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2225 dan Baihaqi VIII: 59)
3. Pelaksanaan hukuman tidak boleh merembet kepada pihak yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hukum qishash yang wajib dijatuhkan kepada seorang perempuan yang hamil, maka ia tidak boleh dibunuh sebelum melahirkan kandungannya, dan sebelum menyusuinya pada awal penyusuannya.
Yaitu penyusuan pertama kali, penyusuan ini amat sangat penting bagi kesehatan sang bayi, sedangkan melaksanakan hukum qishash pada seorang ibu sebelum menyusuinya (penyusuan pertama), sangat membahayakan si bayi. Kemudian manakala setelah penyusuan pertama itu ada orang yang bersedia menyusuinya, maka serahkanlah kepadanya, lantas sang ibu harus diqishash. Ini sesuai dengan hadist Imam Muslim. Jika ternyata tidak didapati ibu yang siap menyusuinya, maka ibu itu dibiarkan supaya menyusui anaknya dua tahun. Ini sesuai dengan hadist berikut:
Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya ra bahwa ada seorang perempuan al-Ghamidiyah berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, “(Ya Rasulullah), sesungguhnya saya telah berbuat sebuah kejahatan.” Sabda Beliau, “Kembalilah!” Lalu ia kembali (pulang). Kemudian pada esok harinya, ia datang (lagi) lalu berkata, “(Ya Rasulullah), barangkali engkau menolakku sebagaimana halnya engkau pernah menolak Ma’iz bin Malik? Demi Allah, sesungguhnya saya benar-benar telah hamil.” Sabda Beliau kepadanya, “Kembalilah!” Kemudian ia kembali pulang, kemudian pada esok harinya, ia datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau bersabda kepadanya, “Kembalilah kau hingga kamu melahirkan!” Maka kembalilah sang perempuan, kemudian tatkala ia sudah melahirkan, ia datang lagi menemui Beliau dengan membawa bayinya, lantas berkata, “(Ya Rasulullah), ini bayi yang saya lahirkan.” Kemudian Beliau bersabda kepadanya, “Pulanglah dan susuilah bayimu itu hingga engkau menyapihnya.” Kemudian ia datang (lagi) dengan anak kecilnya yang sudah disapih, sementara di tangannya ada makanan yang dimakannya. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyuruh agar anak kecil itu diserahkan kepada seorang sahabat yang hadir kala itu, lantas Beliau menyuruh shahabat menggali lubang untuk sang perempuan itu, lalu dirajam. Dan, adalah Khalid salah seorang yang merajamnya dengan batu, lalu dia (Khalid) mendapatkan percikan darahnya mengenai pipinya, lalu ia pun mengumpat dan mencacinya. Maka Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, “Ya Khalid, tenanglah! (jangan emosi), demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh ia benar-benar telah bertaubat, yang andaikata taubat tersebut dilakukan oleh seorang yang banyak memungut pajak-pajak liar niscaya diampuni dosa-dosanya.” Dan Rasulullah menyuruh (para sahabat mengurus jenazahnya), lalu jenazah wanita disholatkan, kemudian dikubur. (Shahih: Shahih Abu Daud no: 3733, Muslim III: 1321 no: 1695, Aunul Ma’bud XII: 123 no: 14419 dan redaksi hadist bagi Imam Abu Daud).
11. TEKNIS PELAKSANAAN HUKUM QISHASH
Prinsip pelaksanaan hukum qishash, si pembunuh harus dibunuh sebagaimana cara ia membunuh, karena hal ini merupakan hukuman yang setimpal dan sepadan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala menegaskan:
“Oleh sebab itu, barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (QS Al-Baqarah: 194)
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (QS An-Nahl: 126)
Di samping itu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah melempar dengan batu kepala orang Yahudi sebagaimana orang termaksud melempar dengan batu kepala seorang perempuan.
12. PELAKSANAAN HUKUM QISHASH MENJADI WEWENANG HAKIM
Musafir (pakar tafsir) kenamaan, al-Qurthubi mengatakan, “Tiada khilaf di kalangan ulama’ bahwa yang berwenang melaksanakan hukum qishash, khususnya balas bunuh, adalah pihak penguasa. Mereka inilah yang berwenang melaksanakan hukum qishash dan hukum had dan yang semisalnya, karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala menuntut segenap kaum Mukminin untuk melaksanakan qishash, kemudian ternyata mereka semua tidak sanggup untuk berkumpul melaskanakan hukum qishash maka mereka mengangkat penguasa (hakim) sebagai wali dari mereka dalam melaksanakan hukum qishash dan lain-lainnya yang termasuk hukum had.” (Al-Jami’ Li-ahkamil Qur-an II: 245 – 246).
Sebab yang demikian itu disebutkan oleh ash-Shawi dalam Hasyiyahnya atas tafsir al-Jalalain. Dia menulis sebagai berikut, “Manakala telah tetap bahwasanya pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja sebagai sebuah permusuhan, maka wajib atas hakim syar’i untuk memberi wewenang untuk wali si terbunuh terhadap si pembunuh. Lalu pihak hakim melaksanakan kebijakan yang dituntut oleh wali (keluarga) si terbunuh terhadap si pembunuh, yaitu balas bunuh, atau memaafkan, atau menuntut diat. Dan wali (keluarga) si terbunuh tidak boleh bertindak terhadap si pembunuh sebelum mendapat izin resmi dari hakim. Karena dalam hal ini terdapat kerusakan dan pengrusakan terhadap wewenang hakim. Oleh sebab itu, manakala pihak wali (keluarga) si terbunuh membunuh si pembunuh sebelum mendapat izin dari penguasa, maka pelakunya harus dijatuhi hukuman ta’zir (hukuman yang berdasar kebijakan hakim’.” (Fiqhus Sunnah II: 453).
13. HUKUM QISHASH SELAIN BALAS BUNUH
Sebagaimana telah berlaku secara sah hukum qishash berupa balas bunuh, maka begitu juga berlaku secara sah hukum yang tidak sampai pada pembunuhan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada qishashnya.” (QS Al-Maaidah: 45)
Meskipun hukum ini telah diwajibkan pada ummat sebelum kita, sehingga ia menjadi syar’un man-qablana (syariat yang pernah dibelakukan pada umat sebelum kita), namun ia merupakan syariat bagi kita pula karena diakui atau ditetapkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebagai berikut:
Dari Anas bin Malik ra bahwa Rubayyi’ binti an-Nadhr bin Anas ra telah memcahkan gigi seri seorang budak perempuan, kemudian mereka (keluarga Rubayyi’) bersikeras untuk membayar diat kepada mereka (keluarga si budak), lalu mereka (keluarga si budak), lalu mereka (keluarga si budak) tidak mau menerima melainkan qishash. Maka datanglah saudara Rubayyi’, Anas bin Nadhr, lalu bekata, “Ya rasulullah, engkau akan memecahkan gigi seri Rubayyi’! Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang haq, janganlah engkau memecahkannya”. Kemudian Beliau bersabda, “Wahai Anas, menurut ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala (harus) qishash.” Kemudian mereka pada ridha dan memaafkan (Rubayyi’). Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah Subhanahu Wa Ta'ala ada yang kalau bersumpah atas nama Allah Subhanahu Wa Ta'ala pasti melaksanakannya.” (Shahih: Shahihhul Jami’us Shaghir no: 2228, Fathul Bari V: 306 no: 2703, ‘Aunul Ma’bud XII: 333 no: 4566, Nasa’i VIII no: 27 dan Ibnu Majah II: 884 no: 2649).
14. SYARAT-SYARAT QISHASH SELAIN BALASAN AKAN PEMBUNUHAN
Untuk Qishash yang selain balas bunuh ditetapkan syarat-syarat berikut:
Yang melaksanakan penganiayaan harus sudah mukallaf
Sengaja melakukan jinayat, tindak penganiayaan. Karena pembunuhan yang bersifat keliru, tidak disengaja, pada asalnya tidak memastikan si pembunuh harus dituntut balas bunuh. Demikian pula halnya tindak pidana yang lebih ringan daripadanya.
Hendaknya status si penganiaya dengan yang teraniaya sama. Oleh karena itu, seorang muslim yang melukai kafir dzimmi tidak boleh diqishash, demikian pula dengan orang merdeka yang melukai hamba sahaya, dan seorang ayah yang melukai anaknya.
15. HUKUM QISHASH YANG MENIMPA ANGGOTA TUBUH
Untuk melaksanakan hukum qishash yang menimpa bagian anggota tubuh ada tiga syarat yang harus dipenuhi:
Memungkinkan pelaksanaan qishash ini berjalan secara adil dan tidak melahirkan penganiayaan baru. Misalnya memotong persendian siku, pergelangan tangan, atau kedua sisi hidung yang lentur, bukan tulangnya. Maka tidak ada qishash pada tubuh bagian dalam, tidak pula pada tengah lengan dan tidak pula pada tulang yang terletak di bawah gigi (tulang rahang).
Nama dan letak anggota tubuhnya sama. Karenanya, bagian anggota yang kanan tidak boleh dibalas dengan bagian anggota badan yang kiri, bagian anggota tubuh yang kiri tidak boleh dengan yang kanan, jari kelingking tidak boleh dengan jari manis, dan tidak pula sebaliknya karena tidak sama dalam hal nama, dan tidak pula bagian anggota tubuh yang asli dibalas dengan yang tambahan (melalui proses operasi) karena tidak sama dalam letak dan daya manfaatnya.
Kondisi bagian anggota tubuh si penganiaya harus sama dengan yang teraniaya dalam hal kesehatan dan kesempurnaan. Oleh sebab itu, tidak boleh anggota tubuh yang sehat dibalas dengan yang berpenyakit dan tidak pula tangan yang sehat lagi sempurna dibalas dengan tangan yang kurang jari-jarinya: namun boleh sebaliknya.
16. DIQISHASH KARENA SENGAJA MELUKAI ORANG LAIN
Adapun kasus melukai orang lain secara sengaja, maka dalam kasus tersebut tidak wajib diqishash, kecuali pelaksanaannya sangat memungkinkan, yaitu sekiranya bisa melukai si penganiaya sama dengan luka yang diderita si korban, tanpa ada kelebihan dan pengurangan. Karenanya, apabila pelaksanan qishash ini tidak mungkin menghasilkan luka yang sama dan sepadan, melainkan mesti kadar ukurannya lebih, atau dapat membahayakan si penganiaya, atau justru membahayakan orang yang dijatuhi qishash ini, maka dalam hal ini tidak wajib diqishash, akan tetapi wajib membayar diat kepada si teraniaya.
Sumber: Diadaptasi dari ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 853 – 873.