Shafiyyah binti Abdul Muththalib Bibi Rasulullah
Begitu banyak kemuliaan dan keutamaan yang disandangnya. Barangkali kemuliaan tertinggi yang sedang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya –setelah nikmat Iman dan Islam– adalah kedudukannya sebagai bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masuk Islam—menurut pendapat yang kuat. Di samping itu. Dia adalah ibunda Hawari (penolong) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk Surga. Cukuplah semua itu sebagai kemuliaan bagi Shafiyyah.
Namun ternyata tidak hanya sampai di situ. Namanya dalam sejarah makin berkilau laksana permata yang ditimpa cahaya matahari setelah para sejarawan menggelarinya sebagai wanita pertama yang berhasil membunuh orang musyrik.
Ia terlahir dari keluarga terpandang dan disegani. Ayahnya adalah Abdul Muththalib, seorang pembesar Quraisy dan ibunya adalah Halah binti Wahab, bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur ibu yang notabene juga dikenal sebagai keluarga terpandang. Pernikahannya yang pertama adalah dengan Al-Harits bin Harb bin Umaiyah, saudara Abu Sufyan pemimpin Bani Umaiyah. Setelah Al-Harits meninggal, saudara Ummul Mukminin Khadijah. Dan darinya terlahir Zubair dan Sa’ib.
Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seabgai rasul, banyak kaum Quraisy yang menentang dan sedikit sekali yang menerima dakwahnya, baik dari kerabat maupun yang lainnya. Dan ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat,
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’aro: 214)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kepada semua kerabatnya yang tua, muda, laki-laki, dan wanita. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke bukit Shofa dan berseru, “Wahai Fathmah binti Muhammad! Wahai Shafiyyah binti Abdul Muththalib! Wahai Bani Abdul Muththalib! Aku tidak mampu menolong kalian dari adzab Allah sedikitpun, (Jika kalian menghendaki sesuatu dariku maka, red.) mintalah hartaku sesuka kalian.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Kemudian bergabunglah Shafiyyah radhiallahu’anha dalam bahtera Islam bersama putranya Zubair bin Awwam radhiallahu’anhu dan orang-orang pertama memeluk Islam, berlayar menghadang ombak dan gelombang dengan keimanan dan keyakinan menuju keridhaan Allah dan Rasul-Nya, berjuang menghadapi penentangan kaum Quraisy. Kemudian dia hijrah bersama putranya ke Madinah, meninggalkan kampung halaman dan segala kemungkinan yang hakiki.
Dalam kehidupan Shafiyyah radhiallahu’anha ada dua peristiwa besar yang tak luput dari goresan tinta emas sejarah. Yang pertama tentang ketegaran dan kesabarannya pada Perang Uhud, dan yang kedua adalah keberanian dan kepahlawanannya pada Perang Khandaq. Marilah kita ikuti kisahnya satu persatu.
Peristiwa Pertama
Yaitu pada saat Perang Uhud. Walaupun telah berusia lebih kurang 56 tahun, Shafiyyah tetap bersemangat untuk bergabung bersama para wanita kaum muslimin untuk membantu merawat para mujahid yang terluka dan mengambilkan air minum, dan memperbaiki panah. Perang terus bergejolak, kemenangan awalnya berada di pihak kaum muslimin berbalik menjadi kekalahan disebabkan tidak taatnya sekelompok kaum muslimin kepada perintah Rasulullah.
Melihat kekalahan di barisan kaum muslimin, serta diserangnya Rasulullah oleh kaum musyrikin, akhirnya Shafiyyah pun ikut terjun ke medan perang dengan bersenjatakan tombak. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Shafiyyah mendekati jasad saudara kandungnya –Singa Allah-, Hamzah bin Abdul Muththalib, yang dibunuh oleh kaum musyrikin secara sadis, beliau memerintahkan kepada Zubair untuk menjauhkan ibunya dari tempat itu. Akan tetapi, dengarlah jawaban wanita mukminah yang sabar ini, “Mengapa (aku tidak boleh melihatnya), aku telah mendengar saudaraku telah dibunuh secara sadis, dan itu di jalan Allah…”
Subhanallah! Seakan ia ingin berkata, “Semua musibah yang terjadi, bila itu di jalan-MU ya Allah, aku rela dan ikhlas. Tak mengapa bagiku melihat jasad saudaraku yang dibelah perutnya, diambil jantungnya, hidung dan telinganya dipotong demi membela agama-Mu ya Allah, aku rela dan sabar, karena aku tahu bahwa Engkau akan menempatkannya pada sebaik-baik tempat di sisi-Mu.”
Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan Shafiyyah melihat jasad Hamzah dan menyolatinya.
Peristiwa Kedua
Yaitu ketika terjadinya Perang Khandaq. Setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi berperang selalu meninggalkan para wanita, orang tua, dan anak-anak di tempat yang aman. Dan pada saat Perang Khandaq, mereka dititipkan di benteng Hasan bin Tsabit yang bangunannya terletak di tempat yang tinggi dan berpagar kuat. Di sanalah Shafiyyah dan para wanita yang lain dititipkan bersama Hasan sang pemilik benteng yang ditugaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga mereka.
Di saat kaum muslimin sibuk di Khandaq, kaum Yahudi dari bani Quroizhah yang telah melanggar perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang dari mereka untuk memata-matai para wanita. Apabila tidak ada laki-laki yang melindungi mereka, maka mereka akan dijadikan tawanan, dan bila hal itu terlaksana maka akan menjadi pukulan hebat terhadap kaum muslimin.
Melihat ada orang yang mengendap-endap mendekati benteng, Shafiyyah berkata kepada Hasan bin tsabit, “Pergilah dan bunuh orang itu!” Hasan menjawab, “Wahai binti Abdul Muththalib, engkau tahu bahwa aku tidak berani melakukannya.”
Mendengar jawaban Hasan, Shaifyyah berpaling dan pergi mengambil sebuah tiang lalu keluar dari benten. Diam-diam ia memukul kepala orang Yahudi itu dengan tiang tersebut sampai mati. Kemudian ia kembali ke benteng dan menemui Hasan bin Tsabit sambil berkata, “Penggallah kepala Yahudi itu dan buanglah ke bawah!” Namun jawaban Hasan tetap sama seperti semula, “Aku tidak berani.”
Keluarlah Shafiyyah dan memenggal sendiri kepala Yahudi itu dan melemparnya ke bawah bukit. Melihat kepala temannya menggelinding turun dari atas benteng, nyali orang-orang Yahudi menjadi ciut dan berkata, “Sekarang kami tahu bahwa orang ini (maksudnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak akan meninggalkan keluarganya tanpa ada yang menjaga mereka.” Pada masa kekholifahan Umar bin Khaththab, yaitu tahun ke-20 H, Shafiyyah radhiallahu’anhu wafat dan dimakamkan di Baqi’ Ghargqad.
Semoga Allah meridhainya dan menempatkannya di Surga Firdaus.
Sumber: Majalah Al-Mawaddah, Edisi 11 Tahun ke-1 Jumadal Tsaniyah 1429/Juni 2008