Berburu
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: “Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka bolehlah berburu.” (QS al-Ma’idah: 2)
Dan firman-Nya juga:
“Mereka menanyakan kepadamu: ”Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah ’Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).” (QS al-Maidah: 4).
Buruan laut dibolehkan dalam segala kondisi demikian pula buruan darat terkecuali ketika berada dalam keadaan berihram. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam ihram.” (QS al-Maidah: 96).
1. BINATANG BURUAN YANG HALAL UNTUK DISEMBELIH
Binatang buruan yang halal disembelih adalah binatang buruan yang halal.
2. ALAT BERBURU
Pekerjaan memburu terkadang dengan menggunakan senjata yang dapat melukai (binatang buruan) seperti pedang, pisau dan anak panah dan terkadang menggunakan binatang buas.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombak-tombakmu.” (QS al-Maidah: 94).
“Dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarkannya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang telah ditangkapnya untuk kamu.” (QS al-Maidah: 4).
Disyaratkan dalam perburuan dengan menggunakan senjata yang dapat mengoyak tubuh (binatang) buruan dan menembusnya.
Dan disyaratkan dalam perburuan dengan perantara binatang, haruslah menggunakan binatang pemburu yang sudah terlatih dan tidak memakan binatang buruannya serta tidak ada binatang lain bersamanya.
Menyebut nama Allah adalah termasuk syarat halalnya binatang buruan, ketika menjelang melepaskan anak panah atau binatang pemburu.
Dari Adi bin Hatim ra, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang gagang anak panah”, maka jawab Beliau, “Jika engkau dapati tertancap dengan mata anak panah, maka makanlah; tetapi jika terpukul oleh gagangnya, lalu mati, maka sesungguhnya (binatang buruan itu) mati terpukul, karena itu janganlah engkau makan.” Kemudian aku bertanya lagi, “(Bagaimana kalau) aku melepas anjing pemburuku?” Jawab Beliau, “Jika engkau melepas anjingmu dan (sebelumnya) engkau telah mengucapkan basmalah, maka makanlah.” Saya bertanya (lagi), “(Bagaimana kalau) ia makan (binatang buruan itu)?” Jawab Beliau, “Kalau begitu, janganlah engkau makan; karena ia tidak menangkap (nya) untukmu, namun ia menangkap hanya untuk dirinya sendiri.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau aku melepas anjing pemburuku, lalu kudapati bersamanya anjing lain?” Sabda Beliau, “Janganlah engkau makan; karena sesungguhnya engkau menyebut nama Allah hanya untuk anjingmu, bukan untuk anjing yang lain.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 603 no: 5476, Muslim III: 1529 no: 3/1929 dan Nasa’I VII: 183).
3. BERBURU DENGAN ANJING YANG TAK TERLATIH
Tidak halal apa yang ditangkap oleh anjing yang tidak dilatih berburu, melainkan didapati dalam keadaan masih hidup, lalu disembelih:
Dari Abu Tsa’labah al-Khasyanni ra, ia bertutur, “Ya Nabiyullah, sesungguhnya kami tinggal di negeri kaum Ahli Kitab, bolehkan kami makan menggunakan bejana mereka? Dan di negeri perburuan, di mana aku berburu dengan panahku dan dengan anjingku yang belum terlatih serta dengan anjingku yang sudah terlatih? Lalu apa yang baik kulakukan?” Jawab Beliau, “Adapun apa yang kau ceritakan itu, yaitu tentang (bejana) Ahli Kitab, maka jika engkau mendapatkan bejana yang lain, janganlah kamu makan dengan bejana mereka; jika tidak ada lagi, maka cucilah dan kemudian boleh kamu makan dengannya. Dan apa yang kau buru dengan anak panahmu dan engkau telah menyebut nama Allah (sebelumnya), maka makanlah; dan apa yang kau buru dengan anjingmu yang sudah terlatih dan engkau telah menyebut nama Allah (sebelumnya), maka makanlah; dan apa yang kau buru dengan anjingmu yang belum terlatih, lalu engkau masih sempat menyembelihnya, maka makanlah.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 604 no: 4578, Muslim III: 1532 no: 1930, Ibnu Majah II: 1069 no: 3207, Nasa’i VII: 81 tanpa menyebut Ahli Kitab).
4. BINATANG BURUAN YANG TERJATUH KE AIR
Manakala binatang buruan didapati terjatuh ke air, maka haram dimakan. Ini mengacu pada sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada Adi bin Hatim ra:
“Apabila engkau akan melepaskan anak panahmu, maka sebutlah nama Allah; jika engkau dapatinya terbunuh, maka makanlah, kecuali jika engkau dapatinya terjatuh di air; karena sesungguhnya engkau tidak tahu, apakah air yang telah membunuhnya ataukah anak panahmu?” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2556, Muslim III: 1531 no: 7 dan 1929).
5. BINATANG BURUAN YANG BELUM KETEMU SELAMA DUA HARI ATAU TIGA HARI, LALU DIKETEMUKAN
Barangsiapa melepaskan anak panahnya, lalu tepat mengenai binatang yang diburu, kemudian binatang tersebut menghilang selama dua hari atau tiga hari, lalu kemudian diketemukan, maka ia boleh dimakan bila belum membusuk.
Dari Adi bin Hatim ra bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepadanya, “Jika engkau melepaskan anak panahmu (tepat mengenai) binatang buruanmu, kemudian engkau dapatinya setelah sehari atau dua hari yang padanya hanya ada bekas tusukan anak panahmu, maka makanlah.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 1239 dan Fathul Bari IX: 610 no: 5484).
Dari Abu Tsa’labah dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda, “Apabila engkau melepas anak panahmu, lalu binatang yang kau buru itu menghilang darimu, kemudian engkau dapatinya, maka makanlah ia selama belum membusuk.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1242 dan Muslim III: 1532 no: 10 dan 1931).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 772 – 777.