Ummu Aiman, Menangis karena Melemahnya Kekuatan Islam
Dalam perjalanan pulang dari mengunjungi saudara-saudara suaminya dari Bani Najjar di Yatsrib (Madinah), ajal menjemput Aminah binti Wahab. Ia meninggalkan putranya yang telah yatim dan baru berumur empat tahun bersama seorang hamba sahaya. Budak (hamba sahaya) inilah yang merawat dan menemaninya dalam kesedihan ditinggal sang ibunda dan melintasi perjalanan menuju ke Mekah dalam terik matahari serta panasnya batu dan pasir gurun. Anak itu adalah Muhammad bin Abdullah (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam) dan budak itu adalah Ummu Aiman Al-Habasyiyyah radhiallahu’anha.
Inilah kisah tentang seorang budak wanita yang paling beruntung di dunia, seorang budak yang menjadi warisan bagi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari ayahnya, Abdullah Abdul Muthalib, dan setelah menikah dengan Khodijah radhiallahu’anha, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakannya. Dialah yang merawat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sewaktu kecil, sehingga beliau menganggapnya seperti ibu sendiri. Apalagi, ia adalah istri putra angkat beliau Zaid bin Haritsah, yang karena kasih sayang beliau kepadanya, Nabi pernah menisbatkan nama beliau kepadanya dengan sebutan “Zaid bin Muhammad” hingga Allah mengharamkan penisbatan nama kepada selain ayah kandung sendiri. Dan bertambah pula keutamaan Ummu Aiman dengan adanya Usamah bin Zaid, putra mereka yang menjadi kesayangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam kasus pencurian oleh Al-Makhzumiyyah. Aisyah radhiallahu’anha berkata, “Siapa yang berani berbicara (meminta keringanan hukum) kecuali Usamah, kesayangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kalau saja ada anggota keluarganya yang lain pasti akan menjadi kesayangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pula, sebagaimana perkataan Ibnu Umar, yang diceritakan oleh Harmalah maula Usamah bin Zaid, “Tatkala ia duduk bersama Ibnu Umar, ketika itu masuklah Hajjaj bin Aiman, lalu ia melaksanakan shalat, dan shalatnya tidak sempurna rukuk dan sujudnya, maka Ibnu Umar memanggilnya dan berkata, ‘Apakah engkau mengira bahwa shalatmu sudah sah? Sesungguhnya shalatmu belum sah, maka ulangilah!’ Ketika ia telah pergi, Ibnu Umar bertanya, ‘Siapakah dia?’ Saya jawab, ‘Dia adalah Hajjaj bin Aiman Ibnu Ummu Aiman.’ Maka Ibnu Umar menjelaskan, ‘Kalau saja Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya pasti beliau pun kan menyayanginya’.”
Itulah kemuliaan yang diperoleh oleh Ummu Aiman dan anak keturunannya, yang tidak didapatkan oleh orang selain mereka.
NAMA DAN KUN-YAH (PANGGILAN)-NYA
Namanya adalah Barokah binti Tsa’labah bin Amr an-Nu’man Al-Habasyiyyah, lebih dikenal dengan gelarnya, “Ummu Aiman”. Ia digelari dengan nama itu karena putra pertamanya bernama Aiman bin Ubaid radhiallahu’anhu.
KEIKUTSERTAANNYA DALAM DUA HIJRAH (HABASYAH DAN MADINAH)
Karena tiada hentinya siksaan kaum musyrikin terhadap orang-orang yang masuk Islam, terutama orang-orang yang lemah dan keturunan tak terpandang, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta para sahabatnya untuk hijrah ke negeri Habasyah demi menyelamatkan agama mereka, dengan meminta perlindungan kepada Raja Najasy yang ternyata bersedia memberi jaminan keamanan kepada mereka. Terutama keamanan sebagian besar kaum muslimin yang mengkhawatirkan diri dan keluarga mereka dari kaum Quraisy. Peristiwa ini terjadi pada tahun kelima dari masa kenabian. Bersama rombongan kaum muslimin yang berjumlah kurang lebih 70 orang itulah Ummu Aiman bergabung untuk menyelamatkan diri dan agamanya dari orang-orang kafir, sampai datang pertolongan dari Allah.
Hijrahnya yang kedua adalah ke Madinah Nabawiyyah, kota yang menjadi pusat perkembangan Islam dan tanah haram yang kedua, negeri yang dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam doa beliau: “Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Mekah, atau lebih.” Di sanalah Ummu Aiman menetap hingga akhir hayatnya.
ARTI TANGISAN UMMU AIMAN
Sekitar dua setengah bulan sekembalinya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari menunaikan ibadah haji, beliau menderita sakit. Hari demi hari sakitnya makin bertambah parah. Setelah merasa tidak mampu menjadi imam shalat, beliau meminta Abu Bakr untuk menggantikan beliau. Akhirnya, tepat pada hari Senin tanggal 12 Robi’ul Awwal, beliau kembali menghadap Allah Ta’ala.
Berita kematian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepada para sahabat. Hampir saja mereka tak sadar dan tidak mempercayai berita tersebut, hingga akhirnya Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu’anhu, bangkit untuk menenangkan mereka, dan menjelaskan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam hanya manusia biasa yang juga mati seperti manusia lain. Mereka akhirnya pun sadar.
Sebagaimana sahabat yang lain Ummu Aiman juga menangisi kematian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, menangis karena ditinggal orang yang paling dicintainya setelah Allah, dan dahulu pernah ia rawat dan asuh dengan penuh kasih sayang, dan yang menyayanginya dan keturunannya.
Setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar berkata kepada Umar: “Mari kita mengunjungi Ummu Aiman seperti yang biasa dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup.” Ketika mereka datang ia pun menangis, mereka berdua bertanya, “Apa yang membuatmu menangis? Apa yang ada di sisi Allah, lebih baik bagi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” Ia menjawab sembari terus menangis, “Saya menangis bukan karena tidak tahu bahwa apa yang disediakan Allah untuk Rasul-Nya jauh lebih baik tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Sehingga Abu Bakar dan Umar pun ikut menangis.
Itulah sebuah makna dari tangisan Ummu Aiman, tetasan air mata yang sangat berharga, meleleh jatuh membasahi pipinya karena terputusnya wahyu seiring kematian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak akan ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika Khalifah Umar bin Khaththab terbunuh di tangan Abu Lu’lu’ah, Ummu Aiman juga menangisi kematiannya sembari berkata, “Hari ini Islam melemah (dengan terpecahnya pintu fitnah).”
Wanita agung lagi mulia ini menangis karena kekuatan kaum muslimin mulai terpecah-belah seiring syahidnya Khalifah Umar bin Khaththab. Sungguh tangisanmu sangat berarti, wahai Ummu Aiman. Sungguh tetesan air matamu sangat mulia, wahai ibunda Usamah bin Zaid pemimpin perang termuda pilihan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana dengan tangisan kita, wahai wanita muslimah?!
WAFATNYA UMMU AIMAN
Pada akhir khilafah Utsman bin Affan, Ummu Aiman menghadap Allah Ta’ala wafat menyusul junjungan dan putra asuhnya, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, setelah ikut dalam perjuangan membela Islam, menggembleng putra-putranya menjadi mujahid-mujahid sejati, dan tak ketinggalan untuk ikut terjun langsung dalam membantu merawat dan memberi minum para mujahid pada perang Uhud dan Khaibar.
Semoga Allah meridhai dan menempatkannya di tempat yang paling tinggi bersama orang-orang yang dicintainya.
Sumber: Majalah Al-Mawaddah, Edisi 9 Tahun ke-1 Robi’ul Akhir 1429/April 2008