Tokoh Tabi’in: Muhammad bin Waasi’ al-Azdi, Guru Orang-Orang Zuhud di Zamannya
Sekarang kita berada di masa khilafah Sulaiman bin Abdul Malik. Saat dimana Yazid bin Muhalab bin Abi Sufrah, salah satu pedang Islam yang terhunus dan wali daerah Khurasan yang kuat, bergerak cepat bersama pasukannya yang berjumlah seratus ribu orang, ditambah para sukarelawan dari mereka yang ingin mencari syahadah dan mencari pahala.
Target serangan tersebut adalah merebut daerah Jurjan dan Thabaristan. Di barisan terdepan tampak seorang tabi’in utama bernama Muhammad bin Waasi’ dari Basrah yang dikenal dengan sebutan Zainul Fuqaha (hiasan para ahli fikih), sering dipanggil Abid Basrah dan merupakan murid sahabat utama Anas bin Malik al-Anshari, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Panglima perang Ibnu Muhallab beserta pasukannya bermarkas di Dihistan yang didiami oleh orang-orang Turki yang kuat dan perkasa. Benteng-benteng mereka kokoh dan setiap hari menyerang kaum muslimin. Bila kepayahan atau merasa terdesak dalam pertempuran, mereka mundur ke lembah-lembah di daerah bergunung-gunung, lalu berlindung di balik bentengnya yang kokoh.
Meski kurus tubuhnya dan lanjut usianya, Muhammad bin Waasi’ memegang posisi yang cukup penting dalam pasukan Islam. Pasukan merasa terhibur oleh cahaya iman yang terpancar dari wajahnya yang cerah dan makin bersemangat bila mendengar nasihat-nasihat yang keluar dari lidahnya yang lembut serta menjadi tenang karena doa-doanya yang mustajab dalam kesulitan. Bila panglima memerintahkan untuk menyerbu, dia berseru: “Wahai pasukan Allah, majulah!” sebanyak tiga kali. Begitu mendengar suaranya, segenap prajurit siap menghadapi musuh bagaikan macan kumbang yang ganas. Mereka bergerak maju dengan semangat tinggi layaknya orang kehausan yang menyongsong air dingin di bawah terik matahari yang menyengat.
Suatu ketika di saat terjadi pertempuran yang dahsyat, majulah seorang jagoan dari barisan musuh untuk perang tanding satu lawan satu. Belum pernah orang-orang melihat badan tinggi kekar seperti dia. Belum lagi ketangkasan, kekuatan dan keberaniannya. Dia bertempur dalam barisan hingga berhasil mendesak barisan pasukan muslimin dan menimbulkan rasa gentar di hati mereka. Kemudian dia menantang duel satu lawan satu dengan congkak dan sombongnya. Hingga Muhammad bin Waasi’ tak tahan lagi dengan menghadapinya. Saat itulah semangat pasukan muslimin kembali bangkit. Seorang pemuda mencegah syaikh tua itu melayani tantangan musuh dan meminta agar dirinya diijinkan untuk menghadapi tantangan musuh itu. Syaikh itu menuruti permintaannya lalu mendoakan kemenangan baginya.
Dua orang prajurit berdiri berhadapan, masing-masing ingin membunuh lawannya dengan segala cara. Kemudian mereka berduel seperti dua ekor singa yang kalap. Mata dan hati kedua belah pihak pasukan terpusat pada keduanya.
Kedua bilah pedang berkelabat, masing-masing mengayunkan ke arah kepala lawannya secara berbarengan, ternyata pedang prajurit Turki mengenai topi baja tentara muslim, sedang pedang prajurit muslim mendarat tepat di jidat prajurit Turki hingga terbelah menjadi dua.
Prajurit muslim itu kembali ke barisan kaum muslimin dengan membawa kemenangan. Sebuah pemandangan yang belum pernah dilihat oleh mereka, sedang pedangnya berlumuran darah dan sebilah pedang kecil yang masih tersarung. Pasukan muslimin sangat terharu melihat peristiwa yang tiada bandingnya itu. Lalu menyambutnya dengan penuh kegembiraan dengan takbir, tahlil dan tahmid.
Yazid bin Muhallab takjub melihat kilatan pedang dan senjata di tangan orang itu lalu bertanya, “Alangkah hebatnya, siapakah dia?” Orang-orang menjawab, “Dia adalah orang yang mendapat berkat doa dari Muhammad bin Waasi’.”
Perbandingan kekuatan mulai berbalik setelah tewasnya prajurit Turki yang tinggi besar tersebut. Rasa gentar menjalar dalam hati kaum musyrikin bagaikan api menjalar di atas rumput kering. Sebaliknya, semangat juang pasukan muslimin menyala seketika, lalu mereka menggempur musuh-musuh Allah laksana aliran air, mengepung dengan ketat seperti lingkaran kalung yang melilit di leher. Mereka mampu memblokir jalur air dan logistik musuh.
Maka, tak ada pilihan lain bagi raja musyrikin itu melainkan berdamai. Oleh karena itu, mereka menawarkan perdamaian kepada kaum muslimin dan akan menyerahkan seluruh kekayaan negerinya asalkan keluarga dan hartanya aman.
Tawaran itu disetujui oleh Yazid. Mereka diharuskan membayar sebesar 700.000 dirham secara bertahap. Pertama kali harus membayar 400.000 dirham, kemudian menyerahkan 400 ekor onta bermuatan za’faran (kunyit) dan 400 orang yang setiap orang membawa satu gelas perak, memakai topi dari sutera dan beludru dan mengenakan mantel seperti yang dikenakan oleh istri-istri prajurit mereka.
Perang pun usai, Yazid bin Muhallab berkata kepada bendaharanya: “Sisihkan sebagian ghanimah itu untuk kita. Berikan sebagai imbalan jasa kepada yang berhak.” Bendahara orang yang bersamanya berusaha mencoba menghitung namun tak mampu, lalu ghanimah tersebut dibagi-bagi atas dasar kerelaan…
Di antara ghanimah tersebut, ditemukan pula oleh kaum muslimin sebuah mahkota terbuat dari emas murni bertatahkan intan permata beraneka warna dalam ukiran yang indah dipandang mata. Yazid mengacungkan tinggi-tinggi agar semua bisa melihat, lalu berkata, “Adakah kalian melihat orang yang tak menginginkan benda ini?” Mereka berkata, “Semoga Allah memperbagus keadaan Amir, siapa pula yang akan menolak barang itu?”
Yazid berkata, “Kalian akan melihat bahwa di antara umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa ada yang tidak menginginkan harta ini ataupun yang semacam ini yang ada di atas bumi.” Kemudian beliau memanggil pembantunya dan berkata, “Carilah Muhammad bin Waasi’!”
Utusan itu mendapatkan syaikh tua itu di suatu tempat yang sunyi, sedang beristighfar, bersyukur dan berdoa. Utusan itu berkata, “Amir Yazid memanggil Anda sekarang juga.” Beliau berdiri dan mengikuti utusan tersebut menghadap amir Yazid, beliau memberi salam lalu duduk di dekatnya. Amir menjawab salam dengan yang lebih baik, lalu mengambil mahkota tadi dan berkata,
Yazid: “Wahai Abu Abdillah, pasukan muslimin telah menemukan mahkota yang sangat berharga ini. Aku melihat Anda-lah yang layak untuknya, sehingga kujadikan ia sebagai bagianmu dan orang-orang telah setuju.”
Muhammad: “Anda menjadikan ini sebagai bagianku wahai Amir?”
Yazid: “Benar, ini bagianmu.”
Muhammad: “Aku tidak memerlukannya. Semoga Allah membalas kebaikan Anda dan mereka.”
Yazid: “Aku telah bersumpah bahwa engkaulah yang harus mengambil ini.”
Dengan terpaksa Muhammad bin Waasi’ menerimanya dikarenakan sumpah amirnya. Setelah itu beliau mohon diri sambil membawa mahkota tersebut. Orang-orang yang tak mengenalnya berkata sinis: “Nyatanya dia bawa juga harta itu.”
Sementara itu Yazid memerintahkan seseorang menguntit syaikh itu dengan diam-diam untuk melihat apa yang hendak dilakukannya terhadap benda itu, lalu memberitahukan kabar tentangnya. Maka pergilah seseorang mengikuti beliau tanpa sepengetahuannya.
Muhammad bin Waasi’ berjalan dengan menentang harta tersebut di tangannya. Di tengah jalan beliau berjumpa dengan seorang asing yang kusut masai dan compang-camping meminta-minta kalau-kalau ada bantuan dari harta Allah Subhanahu wa Ta’ala. Syaikh itu segera menoleh ke kanan ke kiri dan ke belakang… dan setelah yakin tidak ada yang melihat, diberikannya mahkota itu kepada orang tersebut. Orang itu pergi dengan suka cita, seakan beban yang dipikulnya telah diangkat dari punggungnya.
Utusan Yazid bin Muhallab memegang tangannya dan mengajaknya menghadap amir untuk menceritakan kejadian itu. Mahkota itu kemudian diambil lagi oleh amir dan diganti dengan harta sebanyak yang dimintanya.
Yazid berkata kepada pasukannya: “Bukankah telah aku katakan kepada kalian bahwa di antara umat Muhammad senantiasa ada orang-orang yang tidak membutuhkan mahkota ini atau yang semisalnya?”
Dengan tekun, Muhammad bin Waasi’ berjihad melawan kaum musyrikin di bawah panji Yazid bin Muhallab sampai tiba musim haji. Setelah dekat waktunya, beliau minta ijin kepada amir untuk melakukan ibadah rutin itu.
Yazid berkata, “Izinku ada di tanganmu wahai Abu Abdillah, kapan saja Anda kehendaki. Dan aku sudah menyiapkan kebutuhan untukmu selama dalam perjalanan.” Muhammad bin Waasi’ bertanya: “Apakah perbekalan itu Anda berikan juga kepada setiap prajurit yang hendak bepergian seperti kepergianku ini wahai amir?” Beliau berkata: “Tidak,” Muhammad berkata, “Kalau demikian, tak usahlah mengistimewakan untukku bila itu tidak diberikan kepada anggota pasukan yang lain.” Setelah itu beliau mohon diri dan berangkat.
Meski telah diijinkan, keberangkatan Muhammad bin Waasi’ menyedihkan hati Yazid bin Muhallab dan para prajurit yang pernah berjuang bersamanya. Mereka menyesal tak minta didoakan dan berharap beliau cepat kembali setelah menunaikan ibadahnya.
Bukanlah hal yang aneh bila semua prajurit muslimin yang ada di manapun merindukan agar Abid Bashrah ini berada di tengah mereka. Rasa optimis muncul dengan adanya beliau di tengah mereka karena banyak kebaikan yang menyertainya. Mereka juga mengharapkan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui doanya yang baik dan besarnya barakah Allah untuknya. Betapa mulia jiwanya meski dia sendiri memandang dirinya kerdil, padahal agung di sisi Allah dan umat Islam.
Alangkah indahnya suatu umat yang memiliki sejarah orang-orang yang berjiwa luhur seperti beliau. Kita akan bertemu kembali dengan Abid Bashrah Muhammad bin Waasi’ al-Azdi pada bab yang berikutnya.
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009