Muhammad bin Sirin Tokoh Tabi’in yang Sabar
Sirin berhasrat menyempurnakan separuh dari agamanya dengan menikah setelah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu membebaskannya dari belenggu perbudakan dan setelah pekerjaannya mendatangkan banyak keuntungan, karena dia memang seorang yang ahli membuat periuk.
Jatuhlah pilihannya pada budak wanita Abu Bakar ash-Shiddiq yang bernama Shafiyah untuk dijadikan pendamping hiudpnya. Shafiyah adalah seorang gadis muda yang cerah wajahnya, baik hatinya, pandai dan sangat disayangi penduduk Madinah yang mengenalnya. Gadis-gadis remaja dan orang-orang tua yang melihatnya memiliki pandangan yang sama bahwa dia adalah seorang wanita yang berpikiran cemerlang dan berbudi luhur. Yang paling menyayangi beliau adalah istri-istri Rasulullah, terutama Ummul Mukminin Aisyah.
Pada hari yang telah direncakan, Sirin menghadap Khalifah Rasulullah, Abu Bakar ash-Shidiq untuk meminang Shafiyah. Abu Bakar segera menyelidiki hal ihwal agama si peminang seperti layaknya seorang ayah manakala putrinya hendak dipinang orang.
Tidak aneh, karena kedudukan Shafiyah bagi Abu Bakar laksana putri bagi ayahnya, di samping ia adalah amanat yang dititipkan Allah kepadanya. Oleh karena itu, beliau meneliti keadaan Sirin dengan cermat dan mempelajari kehidupannya dengan hati-hati. Di antara yang dimintai keterangan tentangnya adalah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Ketika ditanya, Anas menjawab, “Nikahkanlah ia dengan budakmu wahai amirul mukminin, dan janganlah Anda mengkhawatirkan keadaannya, saya tidak mengenalnya melainkan bahwa dia adalah seorang yang bagus agamanya, bagus akhlaknya, dan menjaga kehormatannya. Aku telah menjalin hubungan dengannya semenjak ia menjadi tawanan Khalid bin Walid bersama empat puluh budak lain yang masih kecil-kecil. Setelah dibawa ke Madinah, Sirin menjadi bagianku dan aku sangat brutung mendapatkan dia.”
Akhirnya Abu Bakar ash-Shidiq merestui pernikahan antara Shafiyah dengan Sirin. Maka diselenggarakanlah walimah pernikahan seperti halnya walimah untuk putrinya sendiri. Suatu hal yang sangat jarang dinikmati oleh budak atau pembantu wanita lainnya di Madinah.
Pernikahan itu disaksikan oleh banyak sahabat utama, di antaranya terdapat 18 sahabat yang ikut perang Badar. Ubai bin Ka’ab penulis wahyu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diminta untuk mendoakannya sementara hadirin mengamininya.
Pengantin wanita dirias oleh tiga dari ummahatul mukminin untuk suaminya. Di antara buah dari pernikahan itu lahir seorang bayi yang dua puluh tahun kemudian menjadi satu di antara ulama yang tersohor. Dialah Muhammad bin Sirin. Marilah kita ikuti lembaran hidup tabi’in utama ini dari awal.
Muhammad bin Sirin lahir dua tahun sebelum berakhirnya khilafah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dan tumbuh besar di suatu rumah yang dipenuhi semerbak wewangian takwa dan wara di setiap sudutnya.
Memasuki usia remaja, anak itu mendapati masjid Rasulullah penuh dengan para sahabat dan tokoh tabi’in seperti Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Imron bin Hushain, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan Abu Hurairah.
Betapa antusias beliau menyambut mereka seperti layaknya orang kehausan yang menemukan air yang jernih. Diserapnya dari mereka ilmu-ilmu dari Kitabullah, didalaminya masalah fiqih dan riwayat-riwayat hadis Rasulullah. Otaknya makin subur dan penuh dengan hikmah dan ilmu, jiwanya makin kaya akan kebaikan dan hidayah.
Kemudian berpindahlah keluarga beserta remaja yang brilian ini ke Basrah dan menjadikannya sebagai tempat untuk menetap.
Ketika itu, Basrah termasuk kota baru yang dibangun kaum muslimin pada akhir masa khalifah al-Faruq Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Kota tersebut merupakan kota yang istimewa bagi umat Islam pada masa itu, yaitu sebagai basis bagi pasukan muslimin untuk berperang di jalan Allah, sebagai pusat pengajaran dan pembinaan bagi penduduk Irak dan Persia yang baru memeluk Islam dan merupakan cermin masyarakat Islam yang giat berusaha untuk dunia seakan hidup selamanya dan beramal untuk akhirat seakan hendak mati keesokan harinya.
Muhammad bin Sirin menjalani lembaran hidup yang baru di Basrah dengan proporsional. Sebagian dari harinya digunakan untuk mencari ilmu dan ibadah, sebagian lagi untuk mata pencaharian dan berdagang.
Telah menjadi kebiasaan beliau, ketika matahari terbit, beliau berangkat ke masjid Basrah untuk mengajar sambil belajar. Bila matahari mulai tinggi, beliau keluar menuju pasar untuk berdagang. Bila malam menjelang, beliau tekun di mihrab rumahnya, menghayati Alquran dengan sepenuh jwia sampai menangis karena takutnya kepada Allah. Sampai-sampai keluarga, tetangga, dan sahabat-sahabat karibnya merasa iba mendengar tangisannya yang menyayat hati.
Setiap kali beliau ke pasar di siang hari, tak bosan-bosannya beliau mengingatkan orang-orang akan kehidupan akhirat dan menjelaskan tentang hakikat dunia. Beliau memberikan bimbingan kepada mereka tentang cara mendekatkan diri kepada Allah. Beliaulah yang selalu menjadi penengah bila terjadi sengketa atau keributan di antara mereka. Terkadang beliau menghibur dengan cerita-cerita yang menghibur hati yang gundah dan lelah tanpa menjatuhkan wibawanya di hadapan para sahabatnya.
Allah telah menganugerahkan kemuliaan kepada beliau, sehingga mudah mengambil hati orang dan diterima oleh semua kalangan. Bahkan bila seseorang sedang lupa diri segera sadar begitu melihat Ibnu Sirin di pasar, mereka ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian bertahlil serta bertakbir.
Perjalanan hidup beliau adalah panduan hidup yang sangat bagus bagi manusia. Setiap kali mendapatkan persoalan dalam dagangannya, beliau memilih yang lebih selamat bagi tinjauan agama walau terkadang beliau harus rugi secara materi untuk itu.
Beliau memiliki pemahaman yang detail tentang agama, wawasan yang tajam untuk memebedakan mana yang halal dan mana yang tidak. Ada kalanya sikap beliau mengundang keheranan bagi sebagian orang.
Pernah ada orang yang berdusta dengan mengatakan bahwa Ibnu Sirin berutang dua dirham kepadanya. Beliau bersikeras tidak mau membayarnya, lalu orang itu menantang, “Engkau berani bersumpah?” Orang itu mengira beliau tak akan bersumpah untuk itu, namun ternyata Ibnu Sirin menyanggupi dan ia bersumpah. Orang-orang berkata, “Wahai Abu Bakr, mengapa Anda rela bersumpah hanya karena uang dua dirham saja, padahal tempo hari Anda abaikan harta sebesar 40.000 dirham karena engkau meragukannya sedangkan tidak ada orang yang meragukan kejujuranmu.” Beliau menjawab, “Aku bersumpah karena tidak ingin dia makan harta yang haram, sedangkan aku tahu bahwa uang itu benar-benar haram baginya.”
Majlis Ibnu Sirin adalah majlis kebaikan, kebaktian, dan nasihat. Jika seseorang menyebutkan keburukan orang lain di depannya, beliau bersegera mengingatkan kebaikan orang itu sepanjang pengetahuannya.
Bahkan pernah beliau mendengar seseorang memaki Hajjaj bin Yusuf setelah matinya, beliau mendekati orang itu dan berkata, “Tahanlah wahai putra saudaraku, Hajjaj sudah kembali ke sisi Rabbnya. Saat engkau datang kepada Rabb-mu, akan kau dapati bahwa dosa terkecil yang kau lakukan di dunia lebih kau sesali daripada dosa yang dilakukan Hajjaj. Masing-masing dari kalian akan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.”
Ketahuilah, wahai putra saudaraku, Allah menuntut Hajjaj atas kezalimannya terhadap orang-orang, namun Allah juga akan menuntut orang-orang yang menzalimi Hajjaj. Maka janganlah engkau sibukkan dirimu untuk memaki dan mencela orang sesudah ini.”
Sudah menjadi kebiasaan jika ada orang yang berpamitan kepada beliau untuk pergi berdagang beliau berpesan, “Wahai putra saudaraku, bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan carilah apa yang ditakdirkan untukmu dari jalan yang halal. Ketahuilah, kalaupun engkau mencari jalan yang tidak halal, toh engkau tidak akan memperoleh kecuali apa yang telah ditakdirkan untukmu.”
Kalimat yang benar senantiasa ditegakkan Muhammad bin Sirin di hadapan para penguasa Bani Umayah. Beliau secara tulus mewujudkan nasihat bagi Allah, Rasul, dan imam-imam kaum muslimin.
Sebagai bukti dari kesimpulan di atas adalah, ketika Umar bin Hubairah al-Farazi yang diangkat menjadi gubernur Irak, pernah meminta Ibnu Sirin menemuinya, lalu beliau datang bersama saudaranya. Sang wali menyambutnya dengan penuh hormat kemudian bertanya banyak tentang agama dan dunia. Dia berkat, “Dalam kondisi seperti Anda akan tinggalkan kota di mana kezaliman telah merajalela sedangkan Anda tak menghiraukannya.” Saudaranya mencubit kaki Ibnu Sirin demi mendengar jawaban seperti itu tapi beliau menoleh kepadanya, “Bukan engkau yang ditanya, melainkan aku. Ini adalah kesaksian: “Dan barangsiapa yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.” (QS Al-Baqarah: 283)
Usai pertemuannya, beliau dilepas kepergiannya seperti sambutan ketika datangnya, dengan penuh santun dan rasa hormat. Lalu dihadiahkanlah sekantong uang berisi 3000 dirham dari kas Negara, tapi sama sekali tak disentuhnya. Bertanyalah anak saudaranya, “Apa yang menghalangimu untuk menerima hadiah dari amir itu?” Beliau berkata, “Dia memberi karena mengira aku orang baik. Bila benar aku baik, tidak pantas aku mengambil uang itu. Namun jika aku tidak seperti yang ia duga, tentu lebih layak lagi untuk tidak mengambilnya…”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak menguji ketulusan dan kesabaran Muhammad bin Sirin berupa cobaan seperti yang telah menimpa orang-orang mukmin lain.
Satu contoh dari ujian tersebut adalah peristiwa di mana beliau membeli minyak seharga 40.000 dirham sebanyak satu bejana penuh dibayar belakangan. Ketika diperiksa ternyata ada bangkai tikus yang sudah membusuk di dalamnya. Dia berpikir, “Minyak ini ditampung dalam satu wadah dan najisnya tidak hanya di sekitar bangkai itu. Jika aku kembalikan kepada penjualnya, pasti akan dijualnya kepada orang lain.” Maka dibuangnya semua minyak di bejana tersebut. Ini terjadi di saat perniagaannya rugi cukup besar. Akhirnya beliau terbelit utang, pemilik minyak menagih utangnya sedangkan beliau tak mampu membayarnya, lalu orang itu mengadukan persoalan tersebut kepada yang berwenang. Akhirnya diperintahkan agar beliau dipenjara sampai bisa mengembalikan utangnya.
Cukup lama beliau dipenjara, hingga penjaga merasa kasihan karena mengetahui keteguhan agama dan ketakwaannya dalam ibadah. Dia berkata, “Wahai Syaikh, pulanglah kepada keluarga bila malam tiba dan kembalilah kemari pada pagi harinya. Anda bisa melakukan itu sampai bebas nanti.” Beliau menolak, “Tidak, Demi Allah aku tidak akan melakukan itu.” Penjaga berkata, “Mengapa?” Beliau menjawab, “Agar aku tidak membantumu mengkhianati pemerintah.”
Ketika Anas bin Malik sakit keras, beliau berwasiat agar yang memandikan jenazahnya kelak adalah Muhammad bin Sirin, sekaligus menyalatkannya. Tapi Ibnu Sirin masih berada di dalam tahanan.
Hari di mana Anas wafat, orang-orang mendatangi wali dan menceritakan tentang wasiat sahbat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memohonkan izin untuk Muhammad bin Sirin agar bisa melaksanakan wasiatnya. Namun beliau berkata, “Aku tidak akan keluar kecuali jika kalian menginginkan aku kepada orang yang aku utangi, bukankah aku ditahan karena belum mampu membayar utangnya?”
Orang yang diutangi pun memberikan izin sehingga dia bisa keluar dari tahanannya. Setelah selesai memandikan, mengafani, dan menyalatkan jenazah Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau langsung kembali lagi ke penjara tanpa sedikit pun mengambil kesempatan untuk mampir menengok keluarganya.
Usia Muhammad bin Sirin mencapai 77 tahun. Dalam wafatnya didapati bahwa beliau ringan dari beban dunia dan penuh perbekalan untuk hidup setelah mati. Hafshah binti Rasyid yang dikenal sebagai ahli ibadah bercerita: “Marwan al-Mahmalai adalah tetangga kami yang rajin beribadah dan tekun melaksanakan ketaatan-ketaatan. Tatkala dia meninggal kami turut bersedih, lalu aku melihatnya di dalam mimpi dan aku bertanya kepadanya: “Wahai Abu Abdillah, apa yang dilakukan Rabb-mu terhadapmu?” Dia menjawab, “Allah memasukkan aku ke dalam surga.” Aku katakan, “Kemudian apa?” Dia menjawab, “Lalu aku diangkat ke derajat meqarrabin.” Aku bertanya, “Siapa yang kamu lihat di sana?” Ia menjawab, “Aku melihat al-Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin.”
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009