Penetapan penamaan shalat ini pada waktu shalat Dhuha sebagai shalat Isyraq diperoleh dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu.
Dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, bahwa Ibnu Abbas tidak shalat Dhuha. Dia bercerita, lalu aku membawanya menemui Ummu Hani’ dan kukatakan : “Beritahukan kepadanya apa yang telah engkau beritahukan kepdaku”. Lalu Ummu Hani berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumahku untuk menemuiku pada hari pembebasan kota Mekkah, lalu beliau minta dibawakan air, lalu beliau menuangkan ke dalam mangkuk besar, lalu minta dibawakan selembar kain, kemudian beliau memasangnya sebagai tabir antara diriku dan beliau. Selanjutnya, beliau mandi dan setelah itu beliau menyiramkan ke sudut rumah. Baru kemudian beliau mengerjakan shalat delapan rakaat, yang saat itu adalah waktu Dhuha, berdiri, ruku, sujud, dan duduknya adalah sama, yang saling berdekatan sebagian dengan sebagian yang lainnya”. Kemudian Ibnu Abbas keluar seraya berkata : “Aku pernah membaca di antara dua papan, aku tidak pernah mengenal shalat Dhuha kecuali sekarang.
“Artinya : Untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Shaad : 18]
Dan aku pernah bertanya : “Mana shalat Isyraq ?” Dan setelah itu dia berkata : “Itulah shalat Isyraq” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabari di dalam Tafsirnya dan Al-Hakim [1]
Mengenai keutamaan shalat Dhuha di awal waktunya yang ia adalah shalat Isyraq, telah diriwayatkan beberapa hadits berikut ini.
Dari Abu Umamah, dia bercerita, Rasulullah Shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa mengerjakan shalat Shubuh di masjid dengan berjama’ah, lalu dia tetap diam di sana sampai dia mengerjakan shalat Dhuha, maka baginya seperti pahala orang yang menunaikan ibadah haji atau umrah, (yang sempurna haji dan umrhanya)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani]
Dan di dalam sebuah riwayat disebutkan.
“Artinya : Barangsiapa mengerjakan shalat Shubuh berjama’ah, lalu dia duduk sambil berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit …” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani] [2]
[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_________
Foote Note
[1]. Atsar hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam Tafsirnya XXIII/138 –al-Fikr dari dua jalan.
Pertama :
Dari Mus’ar bin Abdul Karim, dari Musa bin Abi Katsir, dari Ibnu Abbas .. yang senada dengannya. Di dalam sanadnya ini terdapat inqitha : Musa bin Abi Katsir tidak pernah mendengar dari Ibnu Abbas. Lihat kitab At-Taqriib hal. 553, dimana dia menempatkannya di tingkatan ke enam, dan mereka itu adalah orang-orang yang tidak ditetapkan pertemuan mereka dengan salah seorang sahabat, sebagaimana yang ditegaskan di dalam mukadimah.
Kedua.
Dari Sa’id bin Abi Arubah, dari Abul Mutawakkil, dari Ayyub bin Shafwan, dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal bahwa Ibnu Abbas … dan seterusnya.
Di dalam sanadnya terdapat Sa’id, seorang muadllis lagi telah mengalami pencampuran (ikhtilath). Abul Mutawakkil adalah Al-Mutawakkil. Biografinya ada di dalam Al-Jarh wat Ta’diil (VIII/372, di mana padanya tidak disebutkan jarh dan ta’dil. Dan biografinya ada di dalam kitab, Ta’jiilul Manfa’ah hal. 391, dan telah ditetapkan tentang kemuliaannya. Dan ketetapan tersebut dinukil dari Abu Hatim. Tetapi tidak demikian di dalam kitabnya. Bisa jadi terjadi kekeliruan pandangan ada biografi berikut di dalam kitabnya, Al-Jarh wat Ta’diil. Wallahu a’lam.
Ayyub memiliki biografi di dalam kitab, Al-Jarh wa Ta’diil II/250, dan tidak disebutkan jarh dan ta’dil pada dirinya.
Juga diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak (tha/53), melalui jalan Sa’id bin Abi Arubah,dari Ayyub bin Shafwan, dari Abdullah bin Al-Harits bahwa Ibnu Abbas … dan seterusnya.
Dapat saya katakan, di dalam sanadnya terdapat Sa’id dan Ayyub, dan tidak disebutkan nama Al-Mutawakkil. Dan ini merupakan bentuk takhlith (percampur adukan) yang dilakukan oleh Sa’id.
Dengan kedua sanad di atas, atsar ini naik ke tingkat hasan lighairihi.
Ketetapan tersebut semakin kuat oleh beberapa syahd berikut ini.
[a]. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq di dalam kitab Al-Mushannaf III/79, dari Ma’mar, dari Atha Al-Khurasani, dia bercerita, Ibnu Abbas pernah berkata : “Di dalam diriku masih terus dihinggapi sedikit keraguan sehingga aku membaca.
“Artinya : Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Shaad : 18]
Dapat saya katakan, ini adalah sanda hasan kepada Atha, hanya saja riwayat Atha dari para sahabat itu bersifat mursal munqathi [Tahdziibut Tahdziib VII/212]
[b]. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Mu’jamul Kabiir XXIV/406. Juga di dalam kitab Al-Ausath VI/63-64-Majma’ul Bahrain melalui jalan Abu Bakar Al-Hadzali dari Atha bin Abi Rabah, dari Ibnu Abbas dia bercerita : “Aku pernah diperintahkan melalui ayat ini, tetapi aku tidak mengerti apa itu Al-Asyiyyi wal Al-Isyraaq, sehingga Ummu Hani binti Abi Thalib memberitahuku bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemuinya, lalu minta dibawakan air di dalam mengkuk besar, seakan-akan aku melihat bekas adonan di dalamnya, lalu beliau berwudhu’, untuk selanjutnya beliau berdiri dan mengerjakan shalat Dhuha. Kemudian beliau berkata : “Wahai Ummu Hani, ini adalah shalat Isyraq”
Dapat saya katakana, Abu baker Al-Hadzali adalah seorang yang haditsnya matruk, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab At-Taqriib, hal. 625. Dan perafa’annya adalah munkar. Dan yang benar adalah mauquf.
[c]. Dan disana terdapat beberapa syahid lainnya yang disebutkan oleh As-Suyuthi di dalam kitab, Ad-Durrul Mantsuur, VII/150-151. Dan lihat juga, Al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah II/407-408
[2]. Hadits hasan. Yang takhrijnya akan diberikan pada pembahasan selanjutnya tentang shalat Dhuha
Oleh : Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul