"Berbakti Kepada Orangtua Merupakan Sebab Dikabulkannya Doa"
Keempat: Berbakti kepada orangtua merupakan sebab dikabulkannya doa
عن أسير بن جابر قال كان عمر بن الخطاب إذا أتى عليه أمداد أهل اليمن سألهم أفيكم أويس بن عامر حتى أتى على أويس فقال أنت أويس بن عامر قال نعم قال من مراد ثم من قَرَن قال نعم قال فكان بك برص فبرأت منه إلا موضع درهم قال نعم قال لك والدة قال نعم قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ((يأتي عليكم أويس بن عامر مع أمداد أهل اليمن من مراد ثم من قَرَن كان به برص فبرأ منه إلا موضع درهم له والدة هو بها بر لو أقسم على الله لأبره فإن استطعت أن يستغفر لك فافعل)) فاستغفر لي فاستغفر له فقال له عمر أين تريد قال الكوفة قال ألا أكتب لك إلى عاملها قال أكون في غَبْرَاءِ[1] الناس أحب إلي قال فلما كان من العام المقبل حج رجل من أشرافهم فوافق عمر فسأله عن أويس قال تركته رث البيت قليل المتاع قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول يأتي عليكم أويس بن عامر مع أمداد أهل اليمن من مراد ثم من قرن كان به برص فبرأ منه إلا موضع درهم له والدة هو بها بر لو أقسم على الله لأبره فإن استطعت أن يستغفر لك فافعل فأتى أويسا فقال استغفر لي قال أنت أَحْدَثُ عهدا بسفر صالح فاستغفر لي قال استغفر لي قال أنت أحدث عهدا بسفر صالح فاستغفر لي قال لقيت عمر قال نعم فاستغفر له ففطن له الناس فانطلق على وجهه قال أسير وكسوته بردة فكان كلما رآه إنسان قال من أين لأويس هذه البردة
Dari Usair bin Jabir berkata, “Umar bin Al-Khotthob jika datang kepadanya amdad[2] dari negeri Yaman maka Umar bertanya kepada mereka, “Apakah ada diantara kalian Uwais bin ‘Amir[3] ?”, hingga akhirnya ia bertemu dengan Uwais dan berkata kepadanya, “Apakah engkau adalah Uwais bin ‘Amir?”, ia berkata, “Iya”. Umar berkata, “Apakah engkau berasal dari Murod[4], kemudian dari Qoron[5]?”, ia berkata, “Benar”. Umar berkata, “Engkau dahulu terkena penyakit albino[6] kemudian engkau sembuh kecuali seukuran dirham?” ia berkata, “Benar”. Umar berkata, “Engkau memiliki ibu?”, ia menjawab, “Iya”, Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham[7], ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia memohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), oleh karenanya mohonlah kepada Allah ampunan untukku!”[8], lalu Uwaispun memohon kepada Allah ampunan untuk Umar. Lalu Umar bertanya kepadanya, “Kemanakah engkau hendak pergi?”, ia berkata, “Ke Kufah (Irak)”, Umar berkata, “Maukah aku tuliskan sesuatu kepada pegawaiku di Kufah untuk kepentinganmu?”, ia berkata, “Aku berada diantara orang-orang yang lemah lebih aku sukai”[9]. Pada tahun depannya datang seseorang dari pemuka mereka (pemuka penduduk Yaman) dan ia bertemu dengan Umar, lalu Umar bertanya kepadanya tentang kabar Uwais, orang itu berkata, “Aku meninggalkannya dalam keadaan miskin dan sedikit harta”[10]. Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia meohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), maka orang itupun mendatangi Uwais dan berkata kepadanya, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, orang itu berkata, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, Orang itu berkata, “Engkau bertemu dengan Umar?”, Uwais menjawab, “Iya”, orang itu berkata, “Mohon ampunlah kepada Allah untuk Umar”[11]. Lalu orang-orangpun mengerti apa yang terjadi lalu iapun pergi[12]. Usair berkata, “Dan baju Uwais adalah burdah (kain yang bagus yang merupakan pemberian si Usair) setiap ada orang yang melihatnya ia berkata, “Darimanakah Uwais memperoleh burdah itu?”[13]
Umar bin Al-Khotthob jelas lebih mulia daripada Uwais karena manaqib beliau yang begitu banyak, ia telah dijamin masuk surga, jika ia melewati sebuah jalan maka syaitanpun lari mengambil jalan lain, dan ia adalah sahabat yang terbaik setelah Abu Bakar. Adapun Uwais, beliau adalah seorang penduduk negeri Yaman yang hampir tidak ada yang mengenalnya, baliau adalah orang yang miskin, bahkan saking miskinnya beliau tidak bisa menemui para sahabatnya karena tidak memiki kain untuk menutupi jasadnya bagian atas, bahkan merupakan bahan ejekan di kaumnya, bahkan ada yang menuduhnya tukang menipu untuk mengambil milik orang lain, kaumnya mengingkarinya jika ia memakai burdah (kain yang bagus) dan menuduhnya mendapatkannya dari jalan yang tidak benar karena saking terlalu miskinnya beliau, dan inilah penilaian manusia yang mengukur dengan penilaian materi. Namun Uwais di sisi Allah memiliki kedudukan yang tinggi dan hal yang menyebabkan ini sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya tersebut. Sikapnya yang berbakti kepada ibunya menjadikannya seorang yang dikabulkan doanya.[14] Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan akan keutamaan berbakti kepada kedua orangtua”[15]
Bersambung...
Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Catatan Kaki:
[1] Berkata An-Nawawi, “Dengan memfathahkan huruf ghoin dan mensukunkan huruf ba’ disertai dengan mad, maknanya yaitu orang-orang yang lemah dan miskin dan bercampur dengan mereka yang tidak diperdulikan” (Al-Minhaj 16/96)
[2] Amdad adalah jamak dari mad (مد) yaitu pasukan perang penolong yang datang untuk membantu pasukan kaum muslilimin dalam peperangan (Al-Minhaj 16/95)
[3] Ia seorang tabi’in, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang keutamaannya namun ia tidak bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan bahwasanya ia meninggal bersama Ali bin Abi Tholib dalam perang siffin (Al-Minhaj 16/94, Faidhul Qodir 3/451), sebagaimana perkataan Yahya bin Ma’in, “Uwais terbunuh dihadapan mirul mukminin Ali bin Abi Tholib tatkala perang Siffin” (Al-Mustadrok 3/455 no 5716).
Uwais adalah tabiin terbaik sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/1968 no 2542) dari Umar bin Al-Khotthob ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda إن خير التابعين رجل يقال له أويس وله والدة ((Sebaik-baik tabi’in adalah seorang yang disebut dengan Uwais dan ia memiliki seorang ibu… )). Berkata An-Nawawi, “Ini jelas menunjukan bahwa Uwais adalah tabi’in terbaik, mungkin saja dikatakan “Imam Ahmad dan para imam yang lainnya mengatakan bahwa Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik”, maka jawabannya, maksud mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik dalam sisi ilmu syari’at seperti tafsir , hadits, fiqih, dan yang semisalnya dan bukan pada keafdolan di sisi Allah” (Al-Minhaj 16/95)
[4] Yaitu nama suatu kabilah di Yaman (Faidhul Qodir 3/451)
[5] Al-Qoron yaitu dengan memfathah huruf Qof dan huruf Ro’ (Al-Minhaj 16/94, Faidhul Qodir 3/451) nisbah kepada kabilah dari murod di Yaman.
[6] Penyakit yang menyebabkan kulit menjadi putih karena kehilangan pigmen warna kulit. Dalam sebuah riwayat Umar berkata هل بك من البياض (Apakah engkau dulu terkena penyakit putih?” (Al-Mustadrok 3/456 no 5720)
[7] Dalam riwayat Abu Ya’la (1/188)
قال وما أدراك يا أمير المؤمنين فوالله ما أطلع على هذا بشر قال أخبرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه سيكون في التابعين رجل من قرن يقال له أويس بن عامر يخرج به وضح فيدعو الله أن يذهبه عنه فيذهبه فيقول اللهم دع لي في جسدي ما أذكر به نعمتك علي
Uwais berkata, “Dari mana engkau tahu wahai Amirul mukminin?”, Umar berkatam “Aku tidaklah mengetahui hal ini dengan cara yang tidak benar akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kami bahwasanya akan ada diantara tabi’in seorang pria yang disebut Uwais bin ‘Amir yang terkena penyakit putih (albino) lalu ia berdoa kepada Allah agar menghilangkan penyakit putih tersebut darinya, ia berkata (dalam doanya), “Ya Allah sisakanlah (penyakit putihku) di tubuhku sehingga aku bisa (selalu) mengingat nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku”…”
Dalam riwayat Al-Hakim Uwais berkata, فأذهبه عني إلا موضع الدرهم من سرتي لأذكر به ربي (Maka Allahpun menghilangkan penyakitku kecuali seukuran dirham di pusarku agar aku bisa mengingat Robku” (Al-Mustadrok 3/456 no 5720)
[8] Dalam riwayat Al-Hakim, Uwais berkata, أنت أحق أن تستغفر لي أنت صاحب رسول الله “Engkau yang lebih berhak untuk memohon ampunan kepada Allah untukku karena engkau adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Al-Mustadrok 3/456 no 5720)
[9] Dalam riwayat Al-Hakim (Al-Mustadrok 3/456 no 5720)
ثم قدم الكوفة فكنا نجتمع في حلقة فنذكر الله وكان يجلس معنا فكان إذ ذكرهم وقع حديثه من قلوبنا موقعا لا يقع حديث غيره ففقدته يوما فقلت لجليس لنا ما فعل الرجل الذي كان يقعد إلينا لعله اشتكى فقال رجل من هو فقلت من هو قال ذاك أويس القرني فدللت على منزله فأتيته فقلت يرحمك الله أين كنت ولم تركتنا فقال لم يكن لي رداء فهو الذي منعني من إتيانكم قال فألقيت إليه ردائي فقذفه إلي قال فتخاليته ساعة ثم قال لو أني أخذت رداءك هذا فلبسته فرآه علي قومي قالوا انظروا إلى هذا المرائي لم يزل في الرجل حتى خدعه وأخذ رداءه فلم أزل به حتى أخذه فقلت انطلق حتى أسمع ما يقولون فلبسه فخرجنا فمر بمجلس قومه فقالوا انظروا إلى هذا المرائي لم يزل بالرجل حتى خدعه وأخذ رداءه فقبلت عليهم فقلت ألا تستحيون لم تؤذونه والله لقد عرضته عليه فأبى أن يقبله
Kemudian Uwaispun mendatangi Kufah, kami berkumpul dalam halaqoh lalu kami mengingat Allah, dan Uwais ikut duduk bersama kami, jika ia mengingatkan para hadirin (yang duduk dalam halaqoh tentang akhirat) maka nasehatnya sangat mengena hati kami tidak sebagaimana nasehat orang lain. Suatu hari aku (yaitu Usair bin Jabir) tidak melihatnya maka aku bertanya kepada teman-teman duduk (halaqoh) kami, “Apakah yang sedang dikerjakan oleh orang yang (biasa) duduk dengan kita, mungkin saja ia sakit?”, salah seorang berkata, “Orang yang mana?”, aku berkata, “Orang itu adalah Uwais Al-Qorni”, lalu aku ditunjukan dimana tepat tinggalnya, maka akupun mendatanginya dan berkata, “Semoga Allah merahmatimu, dimanakah engkau?, kenapa engkau meninggalkan kami?”, ia berkata, “Aku tidak memiliki rida’ (selendang untuk menutup tubuh bagian atas), itulah yang menyebabkan aku tidak menemui kalian.”, maka akupun melemparkan rida’ku kepadanya (untuk kuberikan kepadanya), namun ia melemparkan kembali rida’ tersebut kepadaku, lalu akupun mendiamkannya beberapa saat lalu ia berkata, “Jika aku mengambil rida’mu ini kemudian aku memakainya dan kaumku melihatku maka mereka akan berkata, “Lihatlah orang yang cari muka ini (riya’) tidaklah ia bersama orang ini hingga ia menipu orang tersebut atau ia mengambil rida’ orang itu”. Aku terus bersamanya hingga iapun mengambil rida’ku, lalu aku berkata kepadanya, “Keluarlah hingga aku mendengar apa yang akan mereka katakan!”. Maka iapun memakai rida’ pemberianku lalu kami keluar bersama. Lalu kami melewati kaumnya yang sedang bermasjlis (sedang berkumpul dan duduk-duduk) maka merekapun berkata, “Lihatlah kepada orang yang tukang cari muka ini, tidaklah ia bersama orang itu hingga ia menipu orang itu atau mengambil rida’ orang itu”. Akupun menemui mereka dan aku berkata, “Tidak malukah kalian, kenapa kalian menggangunya (menyakitinya)?, demi Allah aku telah menawarkannya untuk mengambil rida’ku namun ia menolaknya!”
[10] Dalam riwayat Ahmad ia berkata, ذلك الرجل عندنا نسخر به يقال له أويس “Ia adalah orang yang jadi bahan ejekan di kalangan kami, ia dipanggil Uwais” (Musnad Ibnul Mubarok 1/19)
[11] Dalam riwayat Al-Hakim (Al-Mustadrok 3/456 no 5720)
قال ما أنا بمستغفر لك حتى تجعل لي ثلاثا قال وما هن قال لا تؤذيني فيما بقي ولا تخبر بما قال لك عمر أحدا من الناس ونسي الثالثة
Uwais berkata, “Aku tidak akan memohonkan ampunan kepada Allah untukmu hingga engkau melakukan untukku tiga perkara”, ia berkata, “Apa itu?”, Uwais berkata, “Janganlah kau ganggu aku lagi setelah ini (“jangan engkau mengejekku lagi” sebagaimana dalam musnad Ibnul Mubarok 1/19 لا تسخر بي), janganlah engkau memberitahu seorangpun apa yang telah dikabarkan Umar kepadamu” dan Usair (perowi) lupa yang ketiga.
[12] Dalam Musnad Ibnul Mubarok, فلما فشي الحديث هرب فذهب “Tatkala tersebar berita (perkataan Umar tentang Uwais) maka iapun lari dan pergi”, yaitu karena orang-orang pada berdatangan memintanya untuk beristigfar kepada Allah bagi mereka sebagaimana dalam musnad Abu Ya’la Al-Maushili (1/188)
[13] HR Muslim 4/1969 no 2542.
[14] Faedah lain dari hadits ini:
1. Keadaan Uwais yang menjadi bahan olokan kaumnya menunjukan bahwasanya beliau menyembunyikan ibadahnya (hubungan antara ia dan Robnya), dan ia sama sekali tidak menampakkannya walau sedikitpun. Ini merupakan jalan orang-orang yang mengenal Robb mereka dan para wali Allah (Al-Minhaj 16/94)
2. Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan mustahabnya meminta doa dan istigfar kepada orang yang sholeh meskipun yang meminta lebih tinggi kedudukannya dibanding dengan yang dimintai doanya” (Al-Minhaj 16/95)
Syaikh Sholeh Alu Syaikh pernah ditanya, “Apakah jika seseorang meminta orang lain mendoakannya dengan niat karena orang yang dimintai doa adalah orang yang dikabulkan doanya berbeda dengan orang yang meminta untuk didoakan, apakah ini merupakan kesyirikan?”
Beliau menjawab, ((Meminta doa dari makhluk pada asalnya hukumnya adalah boleh jika makhluk yang dimintai doa tersebut dalam keadaan hidup dan mampu untuk berdoa. Ada sebuah hadits dalam kitab sunan yang dijadijadikan pegangan oleh para ulama meskipun sanadnya lemah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Umar لا تنسنا يا أخي من دعائك ((Janganlah lupa mendoakan kami wahai saudaraku)) (HR Abu Dawud 2/80 dan didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani). Dan ada hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang Uwais Al-Qoroni ((Barangsiapa yang mampu didoakan oleh Uwais maka lakukanlah)), hal ini menunjukan bahwa meminta didoakan dari orang yang hidup hukumnya adalah boleh, dan para sahabat meminta doa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun di sana ada perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa meninggalkan meminta doa dari orang yang hidup adalah lebih utama kecuali jika dalam keadaan dimana orang yang meminta untuk didoakan berharap untuk mendapatkan manfaat dan juga agar yang diminta untuk berdoa juga mendapatkan manfaat. Ia berkata, “Jika orang yang meminta untuk didoakan berharapkan manfaat bagi yang berdoa dan bagi yang didoakan berbarengan maka hukumnya adalah boleh. Adapun jika yang meminta doa berharap kemanfaatan untuk dirinya sendiri maka meninggalkan meminta doa kepada orang lain adalah lebih utama”
Adapun perkataan penanya “Si fulan termasuk orang yang terkabul doanya”, maksudnya adalah seringnya (dikabulkan doanya) bukan berarti bahwasanya setiap ia berdoa pasti dikabulkan, namun maksudnya di sini adalah orang yang sering doanya terkabul, artinya jika ia berdoa maka kebanyakan doanya dikabulkan. Namun hakekatnya sebagaimana yang telah aku jelaskan pada kalian bahwasanya para nabi mereka termasuk orang-orang yang terkabul doanya bahkan mereka lebih afdhol dari orang-orang yang dikabulkan doanya dari kaum mereka, merekapun (yaitu para nabi) sebagian doa mereka tertolak, maka pengabulan doa tergantung dengan sebab-sebab syar’i dan qodari dan Allah memiliki hikmah yang tinggi.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan dalam kitabnya tahdzibul Atsar dan yang lainnya bahwasanya Hudzaifah tatkala sebagian orang memintanya untuk berdoa kepada mereka maka iapun berdoa, kemudian ia diminta pada kali lainnya lagi maka iapun menolak dengan menggerakkan kedua tangannya seraya berkata, “Apakah kami adalah para nabi?”. Ini merupakan pengingkaran dari orang yang lebih rendah dari para nabi. Ini adalah meminta doa kepada oang yang dibawah para nabi, dan ini jelas.
Memiliki keyakinan terhadap seseorang bahwa ia terkabul doanya lalu dimintai doa “Wahai fulan doakanlah kami”, yang seperti ini bisa jadi merupakan sebab timbulnya keyakinan-keyakinan (yang syirik) pada dirinya setelah kematiannya. Jika ia diminta (untuk mendoakan) sekali atau dua kali (maka tidak mengapa), adapun selalu dimintai “Doakanlah kami wahai fulan”, maka ini bukanlah jalan para ulama)) (dari syarah kasyfus sybhat)
Lihat Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyah 1/329, 27/69
[15] Al-Minhaj 16/96