Ajarkan Mereka Berburu Ilmu, Bukan Angka!." Hampir bisa dipastikan, sistem pendidikan modern yang menjadikan angka-angka (nilai-nilai ujian) sebagai standar kesuksesan dalam evaluasi akhir proses pembelajaran bagi para siswa-siswi, sedikit-banyak telah menggeser motivasi para peserta didik dalam menuntut ilmu. Mereka tidak lagi memahami akan urgensi ilmu bagi kehidupan mereka di masa mendatang, namun, lebih disibukkan untuk berburu angka sebesar-besarnya. Karenanya, nilai-nilai norma pun mereka langgar, dengan target tujuan tercacai (mencontek).
Setali tiga uang, para wali murid pun mengalami hal serupa. Tidak sedikit, di antara mereka mendorong buah hatinya untuk giat sekolah namun dengan motivasi yang keliru. Banyak kita temukan orangtua mengatakan, “Belajar yang rajin, biar nanti hasil ulangannya bagus, dan nanti juara satu.”
Tentu bisa dimaklumi jika banyak kasus dikemudian hari adanya melakukan kecurangan-kecurangan demi menggapai target yang telah dibebankan olehnya, baik itu oleh pemerintah sendiri, guru, ataupun orangtuanya.
Peristiwa yang menghebohkan dunia pendidikkan di Jawa Timur, khususnya Surabaya, beberapa waktu lalu, terkait dengan terbongkarnya kasus sontek-menyontek satu sekolahan pada pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di salah satu SD di kota Pahlawan tersebut, adalah sedikit bukti betapa motivasi (niat) yang keliru dalam menuntut ilmu sangat mempengaruhi perilaku setiap oknum yang terlibat dalam proses pendidikkan.
Sebagaimana diberitakan oleh media massa, seorang wali kelas, tega meminta muridnya untuk berbuat culas, demi ‘kesuksesan’ peserta didiknya yang lain dalam UN. Sungguh memprihatinkan, seorang pendidik yang seharusnya mengajarkan kejujuran demi kebaikkan diri murid, bangsa, dan Negara, justru mendoktrinnya dengan nilai-nilai negatif (curang), demi tercapainya target angka yang menjadi standar kelulusan. Di sisi lain, ini bisa dimaklumi,karena apa yang dilakukan para guru, akibat dari turunan dari atasnya (sistem yang ada).
Kalau sudah begini, lalu siapa yang harus disalahkan? Tidak mudah untuk menentukan kambing hitamnya. Bagaimana pun juga, semua ini berawal dari orientasi yang keliru, yang menjadikan angka-angka sebagai perburuan utama peserta didik.
Ilmu itu Penuntun
Suatu hari, Imam Syafi’I mengadu kepada salah satu gurunya, Waqi’, bahwa dia tengah mengalami kesukaran dalam menghafal. Mendengar pengakuan muridnya, sang-guru menasehati agar imam syafi’i menjauhi kemaksyiatan, karena sesungguhnya ilmu adalah cahaya (petunjuk Allah) yang tidak akan pernah diberikan kepada mereka yang bermaksiat.
Beliau (Waqi’) berujar, “fainni ‘ilma nuurun wa nuruullahi laa yuhdaa li al-‘asyi” (Sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada mereka yang bermaksiat).
Jadi, hakikat ilmu adalah penuntun yang akan mengarahkan pemiliknya kepada kebaikkan. Senada dengan ini, Ali bin Abi Tholib pun telah berujar, bahwa perbedaan antara ilmu dan harta itu ada beberapa macam, dan salah satunya, ilmu itu menjaga si pemiliknya –dari keburukkan-, sedangkan harta itu harus dijaga –agar tidak dicuri orang-.
Lebih tinggi lagi, ilmu itu seharusnya mampu mengenalkan si-pemiliknya kepada Allah, Sang-Pemberi ilmu lebih dalam lagi. Sehingga, dengan ilmunya tersebut dia semakin taat kepada Allah, dan takut untuk melanggar perintah-perintah-Nya.
Firman Allah, وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama…”. (QS: Fathir: 28).
Dan inilah sejatinya tujuan utama dari proses belajar-mengajar seorang mukmin. Yaitu mampu menghantarkan dirinya kepada ma’rifatullah. Selain bertujuan demikian, berarti dia telah keliru dalam melangkah.
Turunnya ayat pertama surat al-‘Alaq yang berisi perintah membaca (menuntut ilmu) ‘iqra’ (bacalah), itu bergandengan langsung dengan kalimat setelahnya ‘bismi rabbika alladzi khalaq’ (dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan), tanpa ada pemisah sedikit pun. Dan ini, menurut Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, dalam suatu diskusi, bahwa dalam mengkaji suatu ilmu itu harus lurus niatnya, lillahi ta’ala, yang bertujuan untuk ma’rifat kepada-Nya. Dan keduanya, tidak bisa dipisahkan. Setiap kali kita ber-iqra’, maka itu harus ber-bismi rabbika.
Jadi jelas, seorang mukmin, ketika menuntut ilmu, bukan sekedar berburu angka-angka atau pun materi. Dan barangsiapa yang melakukan demikian, maka sungguh dia merupakan pribadi yang lebih buas dari pada singa yang kelaparan.
Kenapa bisa demikian? Karena dengan ilmu yang dia peroleh dia akan membuat kerusakkan, kedzoliman, kesemena-menaan di muka bumi ini. Dia akan mengancam keselamatan siapa saja yang dia anggap sebagai penghalang dalam meraih missinya.
Kalau dia memiliki jabatan, maka jabatannya akan disalahgunakan. Kalau dia memiliki kekuasaan, maka kekuasaannya akan dijadikan media pelicin jalan menggapai impiannya.
Boleh jadi, potret pemimpin negeri ini yang menjadikaan kekuasaan sebagai alat pengeruk uang rakyat, niat mereka menjabat atau mencalonkan diri sebagai pejabat, bukan bismirabbik (atas nama Allah Subhanhu Wa Ta'ala), tapi bismilmaali (atas nama harta/pekerjaan).
Dengan Cara Mulia
Karena ilmu itu adalah sesuatu yang suci, maka cara menggapainya pun harus dengan cara-cara yang mulia pula. Setidaknya terdapat enam perkara yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu, yang menghendaki kemudahan dan kebarokahan. Enam perkara tersebut ialah; kecerdasan, ambisius, uang, menghormati guru, dan waktu yang tidak singkat.
Kesimpulannya, membenahi niat (motivasi) dalam menuntut ilmu, itu sangat penting bagi seorang pelajar, guru, dan wali murid. Ketika terjadi disorientasi, maka, alih-alih anak tersebut akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, tapi bisa jadi, dia justru terjerumus dalam keburukkan karena tekanan-tekanan eksternal yang harus ia penuhi. Tahun ajaran baru telah di depan mata. Mari kita perbaharui niat menyekolahkan anak-anak kita untuk menuntut ilmu, bukan memburu angka-angka. Dengan demikian, ilmu yang bermanfaat akan mereka peroleh, dan angka-angka pun akan mereka dapatkan.
“Sesungguhnya semua amalan itu bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya akan memperoleh (balasan pahala) sesuai dengan yang ia niatkan. Oleh karena itu, barang siapa yang hijrahnya menuju kepada Allah dan rosul-Nya, maka berarti hijrahnya menuju Allah dan rosul-Nya, dan barang siapa yang hijrohnya karena dunia yang akan diperolehnya atau perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrohnya itu menuju kepada apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Wallah ‘alam bis-Shawab.*/Robinsah
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar
Rating: 5