Amanah Yang Mulia Bagi Seorang Ibu

Percaya Diri Menjadi Ibu Rumah Tangga.“Dik, sebenarnya kalau saya tidak keluar dari tempat kerja, saya sudah jadi kepala personalia,” kata Lisa“Memangnya kenapa Mbak?” tanya Ratih. Mereka berdua kakak dan adik kelas di SMU yang  secara tak sengaja bertemu diacara untuk balita.

“Ini, semenjak Mas Bayu jadi pimpinan cabang, saya di suruh di rumah saja ngurus anak-anak. Katanya sih bagi-bagi tugas.”

“Kan enak Mbak, hanya ngurus anak! Pekerjaan rumah lainnya sudah ada pembantu yang mengerjakan. Kalau saya wah…, mulai bangun tidur sudah harus ngurus anak. Setelah mereka berangkat, pekerjaan rumah tangga lainnya sudah menunggu.

Pokoknya saya harus pandai-pandai mengatur waktu, bahkan kalau ada orang yang pesan kue saya buatkan. Maklumlah Mbak, penghasilan suami pas-pasan.”

“Kamu tahan di rumah terus, Ratih? Kalau Saya bosan!

Rasanya potensi kita berhenti sampai di sini saja. Coba bayangkan, kita kuliah selama ini untuk apa? Sudah memakan waktu lama dan keluar biaya banyak, hanya untuk di rumah saja. Pokoknya saya harus kerja walau Mas Bayu melarang,” seru Lisa dengan wajah serius.

“Ah, ya jangan begitu! Ini Mbak Lisa, bosan atau malu jadi ibu rumah tangga biasa?”
Mendapat tanggapan begitu Lisa menjadi tergagap karena ketahuan, kalau memang ia selama ini merasa malu dan minder. Apalagi bila bertemu dengan teman-teman  sekolah seangkatannya dulu.

Malu?

Rasa malu, minder yang menghinggapi Lisa bahkan oleh sebagian wanita, apalagi yang pernah mengenyam pendidikan tinggi, tidak lepas dari pandangan masyarakat. Selama ini masyarakat  menganggap wanita yang berkarier dan punya kedudukan, lebih terhormat daripada wanita yang hanya di rumah mengabdikan dirinya untuk keluarga. Bahkan orang akan menganggap aneh, bila ada wanita bercita-cita tetap tinggal di rumah. Mereka menganggap mubazir pendidikan yang ditempuhnya selama ini.

Bergesernya pandangan sebagian wanita dan masyarakat, tidak lepas dari propaganda para feminis atau musuh-musuh Islam yang berkeinginan mencabut fitrah wanita dari posisi semula.

Bukan berarti kita anti terhadap wanita karier, bahkan pada bidang-bidang tertentu wanita lebih tepat untuk menanganinya. Misalnya tenaga medis, dan pendidik. Bahkan pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kita kenal tokoh wanita bernama Nasibah, Rafidah, Khaulah, Ummu  Sulaim yang ikut dalam medan perang.

Yang menjadi permasalahan, bagaimana wanita bisa memposisikan diri. Tidak asal berkarier, apalagi kalau hanya menuruti kemauan dan trend yang ada pada masyarakat, tanpa mempertimbangan sisi syar’i. Misalnya harus ada ijin dari suami, tidak bercampur antara pria dan wanita, aman bagi keselamatan dan kehormatan wanita, menutup aurat, terjaminnya wanita untuk melaksanakan kewajiban agama.

Ironis lagi, apabila wanita bekarier ke luar karena tidak betah di rumah. Apalagi sebabnya sepele,  kejenuhan dan ketidak sabarannya mengurus rumah dan tidak tahan menghadapi tingkah polah sang buah hati.

Kalau mau jujur, sebenarnya tugas- tugas domestik wanita tidak bisa digantikan oleh siapapun. Kalaupun ada pembantu, sifatnya hanya masalah teknis saja. Banyak hal-hal prinsip yang hanya bisa ditangani oleh sang ibu.

Kalau mau diukur dengan materi, berapa rupiah yang dikeluarkan sebuah hotel hanya untuk mengatur tata ruang, mencuci sprei, dan memasak? Apalagi ibu yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga,  semestinya mendapat gaji yang besar. Sebagai informasi, menginap semalam saja disalah satu hotel di Bali, ada yang mematok harga Rp 10 hingga Rp 50 juta.

Kalau diibaratkan rumah kita seperti hotel seperti dijelaskan di atas, maka ibu rumah tangga yang mengurusnya juga bisa dikatakan sebagai seorang profesional. Tinggal di sini kita harus mengasah diri dengan ilmu dan ketrampilan sehingga kita mampu membuat rumah kita bagai sebuah surga buat suami dan anak anak kita.

Bukankah wanita perlu juga mengaktualisasikan dirinya?

Secara fitrah semua manusia butuh aktualisasi diri baik pria ataupun wanita, anak-anak ataupun dewasa. Tentunya sesuai dengan taraf perkembangannya. Anak-anak dengan bermain, dan  orang dewasa dengan bekerja. Tapi bagi wanita haruskah keluar rumah untuk mengaktualisasikan dirinya?

Apabila Kondisi tidak memungkinkan sebagaimana Ratih di atas, tidaklah salah mencoba berkarier dan mengembangkan potensi diri di rumah. Misalnya, yang cenderung pada dunia pendidikan bisa mendirikan TPA/TK di rumah, membuka praktek  di rumah bagi dokter, membuka konveksi bagi penjahit, membuat catering bagi yang hobi memasak atau totalitas mengurus rumah.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu. Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang orang jahiliah yang dahulu.....,” (QS:Al-Ahzab:33).

“Wanita pemimpin atas rumah suaminya dan atas anak anaknya,” (Muttafaq’alaih).

Ayat dan hadits ini jelas sekali bahwa rumah adalah tempat yang terhormat bagi wanita. Karena dari rumahlah generasi-generasi Islam akan dibangun. Kokohnya suatu bangsa tergantung kokohnya keluarga. Maka tak sepantasnya rasa malu dan minder menghinggapi para ibu rumah tangga karena Allah telah menjamin pahala yang besar untuk mengganti kelelahannya.

Do’a Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata pada anandanya untuk menghiburnya ketika melihat Fatimah bersedih dan hendak meminta pembantu untuk meringankan pekerjaan rumah tangganya.
”Jika Allah Subhanhu Wa Ta'ala menghendaki wahai Fatimah, niscaya penggilingan  itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah Subhanhu Wa Ta'ala menghendaki di tuliskannya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh-Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat.”

“Ya Fathimah, perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah menuliskannya satu derajat.”

“Ya Fathimah, perempuan mana yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya, maka Allah menjadikan dirinya dan neraka tujuh buah parit.”

“Ya Fathimah, perempuan mana yang meminyaki rambut  anaknya-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci pakian mereka, maka Allah akan mencatatkan baginya pahala orang yang memberi makan pada seribu orang lapar dan memberi pakaian  kepada seribu orang telanjang.”

“Ya Fathimah, perempuan mana yang menghalangi hajat tetangga-tetangganya, maka Allah akan menghalanginya dari meminum air telaga Kautsar pada hari kiamat.”

“Ya Fathimah, yang lebih utama dari itu semua adalah keridlaan suami terhadap istrinya. Jikalau suamimu tidak ridla denganmu tidaklah akan aku do’akan kamu. Tidaklah engkau ketahui wahai Fathimah, bahwa ridla suami itu dari Allah Subhanhu Wa Ta'ala dan kemarahannya itu dari kemarahan Allah Subhanhu Wa Ta'ala?”

“Ya Fathimah, apabila seorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya dan Allah mencatat baginya tiap hari seribu kebaikan dan menghapuskan darinya seribu kejahatan.

Apabila ia mulai sakit melahirkan, maka Allah mencatatkan untuknya pahala orang -orang yang berjihad pada jalan Allah yakni perang sabil. Apabila ia melahirkan, maka keluarlah dari dirinya dosa-dosanya seperti ketika ia di lahirkan. Dan apabila ia meninggal, tiadalah ia meninggal dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan akan di dapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman surga. Dan Allah akan mengkaruniakan pahala seribu haji dan seribu umrah serta beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat…….”

Dari penggalan hadits di atas, Allah sangat menghargai tugas-tugas domestik para ibu rumah tangga dengan pahala yang sangat besar, yang tidak dapat di ukur dengan apapun kecuali ridla Allah dan surga-Nya.

Fathimah putri Rasulullah yang mulia saja harus bersusah payah dalam mengurus rumah tangganya. Maka, sebagai muslimah yang beriman, siapa yang akan kita ikuti kalau tidak keluarga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. */Sri Lestari, Sahid
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5

BAGIKAN KE ORANG TERDEKAT ANDA
ONE SHARE ONE CARE

Sekilas tentang penulis : Aksara Tanpa makna

Dakwah Islam, Kebenaran Islam, Islam Toleran