Meneduhkan Hati." Apakah yang lebih menenangkan hati seorang suami melebihi keikhlasan isteri mencintai? Apakah yang lebih membahagiakan seorang lelaki melebihi ketulusan wanita menerima keadaan suami apa adanya? Apakah yang lebih patut disyukuri melebihi ketegaran isteri menjalani hidup yang bersahaja karena kuatnya ‘izzah (harga diri) dan penjagaan diri dari dosa? Padahal kesempatan untuk memperoleh dunia seisinya ada pada diri suami tanpa berbuat dosa.
Sungguh, inilah nikmat yang luar biasa. Merupakan kebahagiaan ketika tantangan hidup untuk meraih harta berlimpah begitu kuat menerjang kita, kehadiran isteri shalihah yang senantiasa mengingatkan agar memilih yang sedikit demi meraih barakah dan pahala, merupakan karunia yang tak ternilai harganya. Sesungguhnya, di antara pintu-pintu kebahagiaan adalah hati yang senantiasa bersyukur atas setiap tetes nikmat yang kita terima. Kita merasakan syukur yang amat dalam disebabkan hati kita tidak disibukkan untuk mengejar angan-angan bahkan justru menahan diri dari gelimang harta, meski halal di saat kita bekerja keras.
Tetapi bukankah kerja keras itu jalan untuk merebut rezeki berlimpah? Benar. Kerja keras yang profesional memang akan membuka pintu-pintu rezeki sehingga mengalir deras ke tangan kita. Tetapi sangat berbeda nikmat yang kita rasakan antara kerja keras yang bertujuan untuk menimbun harta dengan kerja keras demi mengumpulkan bekal untuk amal shalih. Kita bekerja keras bukan demi mengejar harta semata, tetapi kerja keras itu sendiri merupakan amal shalih yang bisa kita harapkan buahnya di akhirat, sementara harta yang kita peroleh dari bekerja bisa kita belanjakan untuk menolong agama Allah Ta’ala, membantu proyek-proyek kebaikan dan berbagai amal shalih lainnya yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala.
Kerja-keras demi menimbun harta akan membuat kita merasa kehilangan setiap ada yang terlepas dari tangan kita, meski sangat sedikit. Sementara bertambahnya tidak membuat hati kita semakin tenang. Justru sebaliknya, semakin bertambah harta kita semakin gelisah rasanya hidup kita karena terus-menerus dikejar angan-angan untuk mengumpulkan lebih banyak lagi. Padahal, sangat sedikit yang bisa kita lakukan dengan harta kita. Kita memang bisa membeli kemewahan dengan harta yang kita miliki. Tetapi harta tidak bisa membeli kebahagiaan dan kedamaian jiwa.
Inilah paradoks kekayaan ketika waktu, tenaga, pikiran dan perasaan kita terus-menerus dikuras untuk mengejarnya. Inilah paradoks yang getir. Semakin banyak kita menimbun harta, semakin miskin rasanya diri kita. Semakin besar simpanan uang kita, justru cenderung membuat kita semakin tak bisa tenang. Kita semakin tak punya waktu untuk menikmati hidup dan mensyukuri karunia Allah Ta’ala. Sebaliknya, kita justru semakin disibukkan oleh hasrat menggebu untuk mengejar uang yang lebih banyak lagi. Akibatnya, kita semakin sulit bahagia. Dan itulah yang hari ini sebagaimana hasil sebuah riset dirasakan oleh jutaan warga Amerika. Mereka semakin sulit menemukan kebahagiaan di saat hidupnya semakin makmur. Mereka semakin merasa miskin, di saat kekayaannya bertambah-tambah.
Teringatlah saya pada sebuah hadis. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Bersabda:
”Bukanlah kaya itu karena banyaknya harta benda, tetapi sesungguhnya kaya itu adalah kaya jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ya, banyak orang yang berlimpah harta tetapi miskin hidupnya. Bahagia tidak, tenang pun tidak. Besar kekayaannya, tetapi kecil ketenteraman jiwanya, kecil pula kenikmatan hidupnya. Banyak kesenangan yang bisa ia beli, tetapi sedikit kebahagiaan yang ia raih. Banyak kelezatan yang ia kumpulkan, tetapi ia lupa bahwa lezat tidak sama dengan nikmat. Betapa banyak orang yang mampu membeli makanan lezat, tetapi tidak bisa makan dengan nikmat.
Sungguh, sangat berbeda antara kekayaan dengan kebahagiaan. Harta bisa mengantarkan kita pada kebaikan dan kebahagiaan jika kita menggenggamnya dengan tangan dan bukan dengan hati. Artinya, kekayaan memang ada di tangan kita. Tapi hati kita tidak disibukkan olehnya. Kita tidak gelisah memikirkan harta agar bertambah. Sebaliknya, kita berusaha memperbaiki amal dan menyempurnakan niat. Sementara pada saat yang sama kita semakin keras bekerja. Kita lebih bersungguh-sungguh bukan karena mengejar dunia untuk kita nikmati, tetapi untuk menggenggam dunia agar bisa kita pergunakan untuk amal shalih.
Di sinilah letak perbedaannya!
Di sini pula kita mengerti mengapa kehadiran isteri yang ridha terhadap sedikitnya rezeki, berhati-hati terhadap halal tidaknya harta, dan bersemangat terhadap amal-shalih; merupakan sumber kebahagiaan yang tak ternilai.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda:
”Termasuk kebahagiaan adalah isteri shalihah; jika kamu melihatnya dia akan membuatmu kagum, jika kamu pergi dia akan menjaga dirinya karenamu dan menjaga hartamu. Dan termasuk kemalangan adalah seorang isteri yang jika kamu melihatnya dia membuatmu tidak suka, berkata pedas kepadamu, dan jika kamu pergi dia tidak menjaga dirinya dan hartamu.” (HR. Ibnu Hibban).
Lembutnya ucapan dan manisnya tutur kata bukan terutama terletak pada kecakapan untuk mengungkapkannya, tetapi terutama pada hati yang menggerakkan kata dan raut muka. Kita memang bisa bermanis-manis muka kepada orang lain di saat hati kita sedang masam. Tetapi kepada orang yang menjadi bagian hidup kita sehari-hari, hidup bersamanya sepanjang tahun dan saling berkepentingan satu sama lain; kita tidak bisa bermanis muka jika kita tidak ridha kepadanya.
Maka mendahulukan iman dan amal shalih akan jauh lebih menenteramkan dibanding memilih karena kecantikan dan kekayaan. Di dunia kita bahagia, di akhirat insyaAllah bisa bersama-sama di surga-Nya. Atas keikhlasannya menerima yang sedikit, isteri yang shalihah membuat hati kita tenang sehingga pikiran senantiasa jernih. Sementara atas kekuatan tekadnya untuk senantiasa meneguhkan iman dan amal shalih, insyaAllah akan memacu kita untuk berlomba-lomba melakukan kebaikan.
Karenanya, bagi yang belum menikah hendaknya mengingat pesan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. tentang kriteria isteri yang patut dipilih. Sedangkan bagi yang telah menikah, perlu merenungkan kembali sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. ini untuk menata langkah berikutnya. Sesungguhnya, Rasulullah shallaLlahu ’alaihi wa sallam telah bersabda:
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kecantikannya, kedudukannya, dan agamanya. Maka pilihlah karena keberagamaannya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya).
Apa yang bisa kita petik dari hadis ini? Setidaknya ada dua hal. Pertama, alasan kita memilih. Sama orang yang kita pilih, beda alasan yang menggerakkan kita untuk memilihnya, maka akan berbeda nilai tindakan kita; berbeda pula akibat dan kesudahannya bagi kita. Kedua, kriteria itu berkaitan dengan apa yang melekat pada orang yang kita pilih. Jika kita memilih orang yang baik komitmen agamanya serta zuhud terhadap dunia, maka insya-Allah kita akan mereguk ketenangan dan keteduhan hati. Kita mencipta ketenangan hati bukan de¬ngan menjauhkan diri dari hiruk pikuk dunia, tetapi karena hati kita tidak dipenuhi oleh kegelisahan terhadap dunia atas sebab hadirnya isteri shalihah yang menyejukkan mata. Kita mencipta keteduhan hati bukan dengan membangun vila di puncak bukit, tetapi karena hati kita dipenuhi oleh keinginan berbuat baik. Insya-Allah.
Selebihnya, tugas kita untuk merawatnya. Kita menjaga arah hidupnya, hatinya dan pikirannya agar komitmen agamanya senantiasa hidup. Ia memiliki semangat yang menyala-nyala untuk menolong agama Allah Ta’ala. InsyaAllah, dengan itu kita akan selalu mendapat pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Rumah-tangga bahagia dan Allah mengokohkan kedudukan kita.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا Ø¥ِÙ† تَنصُرُوا اللَّÙ‡َ ÙŠَنصُرْÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙŠُØ«َبِّتْ Ø£َÙ‚ْدَامَÙƒُÙ…ْ
”Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad, 47: 7).
Nah.
Semoga catatan sederhana ini bermanfaat sebagai pengingat untuk kita semua.
Mohammad Fauzil Adhim. Penulis buku parenting dan trainer pendidikan
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar
Sungguh, inilah nikmat yang luar biasa. Merupakan kebahagiaan ketika tantangan hidup untuk meraih harta berlimpah begitu kuat menerjang kita, kehadiran isteri shalihah yang senantiasa mengingatkan agar memilih yang sedikit demi meraih barakah dan pahala, merupakan karunia yang tak ternilai harganya. Sesungguhnya, di antara pintu-pintu kebahagiaan adalah hati yang senantiasa bersyukur atas setiap tetes nikmat yang kita terima. Kita merasakan syukur yang amat dalam disebabkan hati kita tidak disibukkan untuk mengejar angan-angan bahkan justru menahan diri dari gelimang harta, meski halal di saat kita bekerja keras.
Tetapi bukankah kerja keras itu jalan untuk merebut rezeki berlimpah? Benar. Kerja keras yang profesional memang akan membuka pintu-pintu rezeki sehingga mengalir deras ke tangan kita. Tetapi sangat berbeda nikmat yang kita rasakan antara kerja keras yang bertujuan untuk menimbun harta dengan kerja keras demi mengumpulkan bekal untuk amal shalih. Kita bekerja keras bukan demi mengejar harta semata, tetapi kerja keras itu sendiri merupakan amal shalih yang bisa kita harapkan buahnya di akhirat, sementara harta yang kita peroleh dari bekerja bisa kita belanjakan untuk menolong agama Allah Ta’ala, membantu proyek-proyek kebaikan dan berbagai amal shalih lainnya yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala.
Kerja-keras demi menimbun harta akan membuat kita merasa kehilangan setiap ada yang terlepas dari tangan kita, meski sangat sedikit. Sementara bertambahnya tidak membuat hati kita semakin tenang. Justru sebaliknya, semakin bertambah harta kita semakin gelisah rasanya hidup kita karena terus-menerus dikejar angan-angan untuk mengumpulkan lebih banyak lagi. Padahal, sangat sedikit yang bisa kita lakukan dengan harta kita. Kita memang bisa membeli kemewahan dengan harta yang kita miliki. Tetapi harta tidak bisa membeli kebahagiaan dan kedamaian jiwa.
Inilah paradoks kekayaan ketika waktu, tenaga, pikiran dan perasaan kita terus-menerus dikuras untuk mengejarnya. Inilah paradoks yang getir. Semakin banyak kita menimbun harta, semakin miskin rasanya diri kita. Semakin besar simpanan uang kita, justru cenderung membuat kita semakin tak bisa tenang. Kita semakin tak punya waktu untuk menikmati hidup dan mensyukuri karunia Allah Ta’ala. Sebaliknya, kita justru semakin disibukkan oleh hasrat menggebu untuk mengejar uang yang lebih banyak lagi. Akibatnya, kita semakin sulit bahagia. Dan itulah yang hari ini sebagaimana hasil sebuah riset dirasakan oleh jutaan warga Amerika. Mereka semakin sulit menemukan kebahagiaan di saat hidupnya semakin makmur. Mereka semakin merasa miskin, di saat kekayaannya bertambah-tambah.
Teringatlah saya pada sebuah hadis. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Bersabda:
”Bukanlah kaya itu karena banyaknya harta benda, tetapi sesungguhnya kaya itu adalah kaya jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ya, banyak orang yang berlimpah harta tetapi miskin hidupnya. Bahagia tidak, tenang pun tidak. Besar kekayaannya, tetapi kecil ketenteraman jiwanya, kecil pula kenikmatan hidupnya. Banyak kesenangan yang bisa ia beli, tetapi sedikit kebahagiaan yang ia raih. Banyak kelezatan yang ia kumpulkan, tetapi ia lupa bahwa lezat tidak sama dengan nikmat. Betapa banyak orang yang mampu membeli makanan lezat, tetapi tidak bisa makan dengan nikmat.
Sungguh, sangat berbeda antara kekayaan dengan kebahagiaan. Harta bisa mengantarkan kita pada kebaikan dan kebahagiaan jika kita menggenggamnya dengan tangan dan bukan dengan hati. Artinya, kekayaan memang ada di tangan kita. Tapi hati kita tidak disibukkan olehnya. Kita tidak gelisah memikirkan harta agar bertambah. Sebaliknya, kita berusaha memperbaiki amal dan menyempurnakan niat. Sementara pada saat yang sama kita semakin keras bekerja. Kita lebih bersungguh-sungguh bukan karena mengejar dunia untuk kita nikmati, tetapi untuk menggenggam dunia agar bisa kita pergunakan untuk amal shalih.
Di sinilah letak perbedaannya!
Di sini pula kita mengerti mengapa kehadiran isteri yang ridha terhadap sedikitnya rezeki, berhati-hati terhadap halal tidaknya harta, dan bersemangat terhadap amal-shalih; merupakan sumber kebahagiaan yang tak ternilai.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda:
”Termasuk kebahagiaan adalah isteri shalihah; jika kamu melihatnya dia akan membuatmu kagum, jika kamu pergi dia akan menjaga dirinya karenamu dan menjaga hartamu. Dan termasuk kemalangan adalah seorang isteri yang jika kamu melihatnya dia membuatmu tidak suka, berkata pedas kepadamu, dan jika kamu pergi dia tidak menjaga dirinya dan hartamu.” (HR. Ibnu Hibban).
Lembutnya ucapan dan manisnya tutur kata bukan terutama terletak pada kecakapan untuk mengungkapkannya, tetapi terutama pada hati yang menggerakkan kata dan raut muka. Kita memang bisa bermanis-manis muka kepada orang lain di saat hati kita sedang masam. Tetapi kepada orang yang menjadi bagian hidup kita sehari-hari, hidup bersamanya sepanjang tahun dan saling berkepentingan satu sama lain; kita tidak bisa bermanis muka jika kita tidak ridha kepadanya.
Maka mendahulukan iman dan amal shalih akan jauh lebih menenteramkan dibanding memilih karena kecantikan dan kekayaan. Di dunia kita bahagia, di akhirat insyaAllah bisa bersama-sama di surga-Nya. Atas keikhlasannya menerima yang sedikit, isteri yang shalihah membuat hati kita tenang sehingga pikiran senantiasa jernih. Sementara atas kekuatan tekadnya untuk senantiasa meneguhkan iman dan amal shalih, insyaAllah akan memacu kita untuk berlomba-lomba melakukan kebaikan.
Karenanya, bagi yang belum menikah hendaknya mengingat pesan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. tentang kriteria isteri yang patut dipilih. Sedangkan bagi yang telah menikah, perlu merenungkan kembali sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. ini untuk menata langkah berikutnya. Sesungguhnya, Rasulullah shallaLlahu ’alaihi wa sallam telah bersabda:
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kecantikannya, kedudukannya, dan agamanya. Maka pilihlah karena keberagamaannya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya).
Apa yang bisa kita petik dari hadis ini? Setidaknya ada dua hal. Pertama, alasan kita memilih. Sama orang yang kita pilih, beda alasan yang menggerakkan kita untuk memilihnya, maka akan berbeda nilai tindakan kita; berbeda pula akibat dan kesudahannya bagi kita. Kedua, kriteria itu berkaitan dengan apa yang melekat pada orang yang kita pilih. Jika kita memilih orang yang baik komitmen agamanya serta zuhud terhadap dunia, maka insya-Allah kita akan mereguk ketenangan dan keteduhan hati. Kita mencipta ketenangan hati bukan de¬ngan menjauhkan diri dari hiruk pikuk dunia, tetapi karena hati kita tidak dipenuhi oleh kegelisahan terhadap dunia atas sebab hadirnya isteri shalihah yang menyejukkan mata. Kita mencipta keteduhan hati bukan dengan membangun vila di puncak bukit, tetapi karena hati kita dipenuhi oleh keinginan berbuat baik. Insya-Allah.
Selebihnya, tugas kita untuk merawatnya. Kita menjaga arah hidupnya, hatinya dan pikirannya agar komitmen agamanya senantiasa hidup. Ia memiliki semangat yang menyala-nyala untuk menolong agama Allah Ta’ala. InsyaAllah, dengan itu kita akan selalu mendapat pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Rumah-tangga bahagia dan Allah mengokohkan kedudukan kita.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا Ø¥ِÙ† تَنصُرُوا اللَّÙ‡َ ÙŠَنصُرْÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙŠُØ«َبِّتْ Ø£َÙ‚ْدَامَÙƒُÙ…ْ
”Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad, 47: 7).
Nah.
Semoga catatan sederhana ini bermanfaat sebagai pengingat untuk kita semua.
Mohammad Fauzil Adhim. Penulis buku parenting dan trainer pendidikan
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar
Rating: 5