Ibnu Atsir menyebutkan “al-khuluqu” dan “al-khulqu” dalam An-Nihayah (2/70), berarti dien, tabiat dan sifat. Hakikatnya adalah potret batin manusia, yaitu jiwa dan kepribadiannya. [1]
Dari ucapan di atas terkandung beberapa faidah:
Manusia terdiri dari lahir dan batin, jasmani dan rohani, oleh karena itu kita tidak boleh memperlakukan manusia seperti robot atau benda mati yang tidak mempunyai perasaan.
Sebagaimana jasmani membutuhkan makanan dan minuman, begitu pula rohani membutuhkan makanan dan siraman berupa ilmu, iman dan amal shalih. Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah berkata bahwa, “manusia membutuhkan makanan dalam sehari sekali atau dua kali dan membutuhkan ilmu dalam sehari sebanyak desahan nafas.”
Kita harus mempunyai perhatian yang serius dalam upaya menyempurnakan akhlak kita karena nilai manusia bukanlah terletak pada bentuk fisik , suku, leturunan, gelar kesarjanaan, kedudukan ataupun harta, tetapi terletak pada iman, takwa dan akhlak seseorang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujuraat: 13)
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak memperhatikan bentuk rupa dan harta kalian, tetapi Allah memperhatikan hati dan amal-amal kalian.” [2]
Penyair Arab berkata:
Wahai pelayan jasmani
Seberapa lama engkau bekerja untuk kepentingannya
Engkau telah menyusahkan diri
Untuk sebuah kerugian yang nyata
Hadapkan perhatian kepada ruhani
Dan sempurnakan keutamaannya
Dengan ruhani, bukan jasmani
Engkau sempurna menjadi manusia
Ada juga pendapat-pendapat lain tentang definisi akhlak; ada yang menyatakan bahwa akhlak yang baik adalah berderma, tidak menyakiti orang lain dan tangguh menghadapi penderitaan.
Ada lagi yang mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah berbuat kebaikan dan menahan diri dari keburukan. Ada lagi yang mengatakan, “Membuang sifat-sifat yang hina dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang mulia.”
Hal ini disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah dalam bukunya Madarijus Salikin.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyebutkan dalam Mukhtahsar Minhaj Al-Qashidin, bahwa akhlak merupakan ungkapan tentang kondisi jiwa, yang begitu mudah bisa menghasilkan perbuatan, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Jika perbuatan itu baik, maka disebut akhlak yang baik jika buruk disebut akhlak yang buruk.
Akhlak juga bisa berarti dien (agama) sebagaimana firman Allah:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata tentang ayat di atas, yaitu dien yang agung (Islam). Mujahid, Abu Malik, As-Suddi, Rabi bin Anas, Adh Dhahhak dan Ibnu Zaid berkata demikian pula. Terdapat dalam Shahih Muslim bahwa Aisyah Radhiyallahu ‘Anha pernah ditanya tentang akhlak Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu beliau menjawab, “Akhlak Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Al-Qur’an.”
Segala perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an beliau melaksankan semuanya dan segala larangan yang terdapat dalam Al-Qur’an beliau meninggalkannya.
Syaikh Salim Al-Hilali berkata, “Dengan ini menjadi jelas bahwa akhlak yang agung di mana Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam disifati dengannya adalah dien yang mencakup semua perintah-perintah Allah dan larangan-Nya sehingga bersegera untuk melaksanakan segala yang dicintai Allah dan diridhai-Nya dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya dengan sukarela dan lapang dada.” [3]
Dari beberapa keterangan tentang pengertian akhlak kami simpulkan bahwa kata ‘akhlak’ mempunyai cakupan yang luas, yaitu mencakup akhlak kepada Allah dan akhlak kepada makhluk; hanya saja yang sering kita dapati penggunaan kata ‘akhlak ‘ dimaksudkan oleh pembicara atau penulis dalam pengertian yang sempit, yaitu terbatas kepada perilaku kepada sesama makhluk. Untuk dapat mengetahui makna mana yang diinginkan oleh pembicara atau penulis harus dilihat dari konteks kalimatnya sehingga kita dapat membedakannya.
Footnote:
[1] Syaikh Ibnu Utsaimin, Makarimul Akhlak, hal. 9
[2] Diriwayatkan Muslim (Lihat Ghayatul Maram, no. 415)
Dari ucapan di atas terkandung beberapa faidah:
Manusia terdiri dari lahir dan batin, jasmani dan rohani, oleh karena itu kita tidak boleh memperlakukan manusia seperti robot atau benda mati yang tidak mempunyai perasaan.
Sebagaimana jasmani membutuhkan makanan dan minuman, begitu pula rohani membutuhkan makanan dan siraman berupa ilmu, iman dan amal shalih. Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah berkata bahwa, “manusia membutuhkan makanan dalam sehari sekali atau dua kali dan membutuhkan ilmu dalam sehari sebanyak desahan nafas.”
Kita harus mempunyai perhatian yang serius dalam upaya menyempurnakan akhlak kita karena nilai manusia bukanlah terletak pada bentuk fisik , suku, leturunan, gelar kesarjanaan, kedudukan ataupun harta, tetapi terletak pada iman, takwa dan akhlak seseorang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujuraat: 13)
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak memperhatikan bentuk rupa dan harta kalian, tetapi Allah memperhatikan hati dan amal-amal kalian.” [2]
Penyair Arab berkata:
Wahai pelayan jasmani
Seberapa lama engkau bekerja untuk kepentingannya
Engkau telah menyusahkan diri
Untuk sebuah kerugian yang nyata
Hadapkan perhatian kepada ruhani
Dan sempurnakan keutamaannya
Dengan ruhani, bukan jasmani
Engkau sempurna menjadi manusia
Ada juga pendapat-pendapat lain tentang definisi akhlak; ada yang menyatakan bahwa akhlak yang baik adalah berderma, tidak menyakiti orang lain dan tangguh menghadapi penderitaan.
Ada lagi yang mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah berbuat kebaikan dan menahan diri dari keburukan. Ada lagi yang mengatakan, “Membuang sifat-sifat yang hina dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang mulia.”
Hal ini disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah dalam bukunya Madarijus Salikin.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyebutkan dalam Mukhtahsar Minhaj Al-Qashidin, bahwa akhlak merupakan ungkapan tentang kondisi jiwa, yang begitu mudah bisa menghasilkan perbuatan, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Jika perbuatan itu baik, maka disebut akhlak yang baik jika buruk disebut akhlak yang buruk.
Akhlak juga bisa berarti dien (agama) sebagaimana firman Allah:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata tentang ayat di atas, yaitu dien yang agung (Islam). Mujahid, Abu Malik, As-Suddi, Rabi bin Anas, Adh Dhahhak dan Ibnu Zaid berkata demikian pula. Terdapat dalam Shahih Muslim bahwa Aisyah Radhiyallahu ‘Anha pernah ditanya tentang akhlak Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu beliau menjawab, “Akhlak Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Al-Qur’an.”
Segala perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an beliau melaksankan semuanya dan segala larangan yang terdapat dalam Al-Qur’an beliau meninggalkannya.
Syaikh Salim Al-Hilali berkata, “Dengan ini menjadi jelas bahwa akhlak yang agung di mana Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam disifati dengannya adalah dien yang mencakup semua perintah-perintah Allah dan larangan-Nya sehingga bersegera untuk melaksanakan segala yang dicintai Allah dan diridhai-Nya dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya dengan sukarela dan lapang dada.” [3]
Dari beberapa keterangan tentang pengertian akhlak kami simpulkan bahwa kata ‘akhlak’ mempunyai cakupan yang luas, yaitu mencakup akhlak kepada Allah dan akhlak kepada makhluk; hanya saja yang sering kita dapati penggunaan kata ‘akhlak ‘ dimaksudkan oleh pembicara atau penulis dalam pengertian yang sempit, yaitu terbatas kepada perilaku kepada sesama makhluk. Untuk dapat mengetahui makna mana yang diinginkan oleh pembicara atau penulis harus dilihat dari konteks kalimatnya sehingga kita dapat membedakannya.
Footnote:
[1] Syaikh Ibnu Utsaimin, Makarimul Akhlak, hal. 9
[2] Diriwayatkan Muslim (Lihat Ghayatul Maram, no. 415)
[3] Makarimul Akhlak (23)
Sumber: Muslim