Setiap manusia yang sadar akan hakikat penciptaanya, tentu akan berusaha untuk mengumpulkan bekal untuk kehidupan di akhirat kelak, kehidupan yang kekal nan abadi, kehidupan yang tidak ada ketiganya kecuali surga atau neraka.
Manusia, mau peduli atau tidak akan akhirat, hidup semaunya sendiri, tidak peduli halal haram, tidak peduli syirik atau tidak, tidak peduli bid’ah atau bukan, toh pada akhirnya dia akan mati dan harus mempertanggung jawabkannya di akhirat kelak
Wahai manusia, silahkan hidup sesukamu..
Toh akhirnya engkau akan mati juga
Dan harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu di akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Yaa ayyuhal insaanu, innaka kaadihun ilaa robbika kadhaan famulaaqihi”
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya” ( Al Insyiqaaq: 6)
Demikianlah, hakikatnya kita sedang menuju Allah, yang jadi masalah adalah apakah kita akan menemui Allah dalam keadaan Dia murka kepada kita atau kita bertemu dengan-Nya dalam keadaan Dia ridha, semua itu tergantung amalan kita
Memilah dan Mengumpulkan
Kita kadang mendengar orang mengatakan “untuk bekal di akhirat”, ini merupakan perkataan yang sangat baik. Tetapi kita harus ingat bahwa yang kita kumpulkan haruslah yang baik, tidak asal mengumpulkan.
Kita harus bisa memilah mana amalan yang sesuai dengan ajaran nabi, dan mana amalan yang tidak sesuai dengan ajaran nabi. Kalau sampai kepada kita suatu amalan namun kita tidak mengetahui sah atau tidaknya hal tersebut dari Nabi, maka tidak perlu kita amalkan, dalam kaidah fikih dikatakan, “Al Ashlu fii ‘ibadah al-hadhru” Hukum asal ibadah adalah terlarang. Misalnya setiap sebelum shalat sesorang membaca shalawat, bolehkah? Shalawat adalah amalan yang mulia, tetapi kalau meyakini bahwa membacanya setiap sebelum shalat adalah disyariatkan dalam Islam maka ini adalah kesalahan, karena Nabi memulai shalat dengan bertakbir.
Seseorang yang asal beramal, tidak peduli itu sesuai sunnah atau tidak, keadaannya seperti “Pencari kayu bakar di tengah malam” Dia tidak peduli, asal comot saja, dan akhirnya yang dia ambil terkadang benar-benar kayu bakar dan terkadang ular, nah loh.., celaka kan?!
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda “Man ‘amila amalan, laisa amruna fahuwa raddun”
Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak (HR. Muslim)
Jangan dikira kalau beramal dengan amalan yang tidak ada tuntunannya dari nabi hanya beresiko tidak diterimanya amalan tersebut, bahkan dia mendapat dosa karena telah durhaka kepada Nabi, tidak mau tunduk dengan tuntunannya, dan berarti dia juga tidak konsekuen dengan syahadat, karena salah satu konsekuensi syahadat tersebut adalah tidak beribadah kecuali dengan tuntunannya.
Terkadang seseorang ketika ditegur agar meninggalkan amalan yang tidak ada contoh dari Nabi, dia mengatakan “Ya, barangkali saja diterima” Masih berani mengatakan seperti itu lagi?
Ada yang lebih parah lagi, ketika diberitahu bahwa hadits yang disandarkan sebagai dalil dinyatakan dhaif oleh para ahli hadits, dengan entengnya mereka mengatakan “Dhaif-dhaif kan hadits”. Allahu musta’an
Imam Bukhari dengan kekuatan istimbathnya, membuat sebuah bab dalam kitab Shahihnya, Bab “Al-Ilmu qobla qouli wal ‘amali” Bab wajibnya berilmu sebelum berucap dan beramal.
Menjaga amalan
Selain amalan secara lahir harus sesuai dengan tuntunan nabi, amalan juga harus ikhlas hanya untuk Allah, tidak untuk selainnya, tidak untuk mendapat pujian manusia dan yang semisalnya.
Ada sebagian orang yang memahami ikhlas secara salah, yakni memahami bahwa ikhlas adalah beramal dengan tidak mengharapkan balasan. Beramal ya beramal saja, nggak usah mengharap pahala, nggak usah mengharapkan surga dan dijauhkan dari neraka, begitu kata mereka. Ini pun bukan mengada-ada.., bahkan ada syair yang isinya betul-betul mungkar
Ya Allah …
Seandainya aku beramal untuk mengharapkan surgamu
Maka masukkanlah aku ke nerakamu
Allah dan Rasul-nya saja mengajarkan kita untuk berdoa mendapatkan surga dan dijauhkan dari neraka!
Kemudian setelah amalan sesuai dengan tuntunan nabi dan ikhlas hanya karena Allah, kita juga harus menjaga agar amalan tersebut jangan rusak. Apakah suatu amalan dapat rusak? Bisa saja, Allah mengatakan yang artinya
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Al Baqarah:264)
Kalau kita dalam perjalanan membawa barang berharga, tentu kita betul-betul menjaganya, jangan sampai barang tersebut menggoda pencopet atau penjambret mengambil barang berharga kita. Hendaknya kita lebih serius untuk menjaga amalan kita agar tidak rusak, adakah yang hasad dengan kita sehingga ingin agar pahala amalan kita hilang? Apa kita lupa dengan musuh kita, syaitan? Syaitan senantiasa mengintai dan menggoda kita, menggoda kita agar malas beramal, menggoda kita agar beramal tidak sesuai tuntunan, dan menggoda kita agar pahala amalan kita terhapus dengan riya ataupun sum’ah.
Semoga Allah senantiasa menunjukkan kepada kita Sirathal Mustaqim, yakni mengetahui kebenaran dan mengamalkannya, amiin
Manusia, mau peduli atau tidak akan akhirat, hidup semaunya sendiri, tidak peduli halal haram, tidak peduli syirik atau tidak, tidak peduli bid’ah atau bukan, toh pada akhirnya dia akan mati dan harus mempertanggung jawabkannya di akhirat kelak
Wahai manusia, silahkan hidup sesukamu..
Toh akhirnya engkau akan mati juga
Dan harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu di akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Yaa ayyuhal insaanu, innaka kaadihun ilaa robbika kadhaan famulaaqihi”
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya” ( Al Insyiqaaq: 6)
Demikianlah, hakikatnya kita sedang menuju Allah, yang jadi masalah adalah apakah kita akan menemui Allah dalam keadaan Dia murka kepada kita atau kita bertemu dengan-Nya dalam keadaan Dia ridha, semua itu tergantung amalan kita
Memilah dan Mengumpulkan
Kita kadang mendengar orang mengatakan “untuk bekal di akhirat”, ini merupakan perkataan yang sangat baik. Tetapi kita harus ingat bahwa yang kita kumpulkan haruslah yang baik, tidak asal mengumpulkan.
Kita harus bisa memilah mana amalan yang sesuai dengan ajaran nabi, dan mana amalan yang tidak sesuai dengan ajaran nabi. Kalau sampai kepada kita suatu amalan namun kita tidak mengetahui sah atau tidaknya hal tersebut dari Nabi, maka tidak perlu kita amalkan, dalam kaidah fikih dikatakan, “Al Ashlu fii ‘ibadah al-hadhru” Hukum asal ibadah adalah terlarang. Misalnya setiap sebelum shalat sesorang membaca shalawat, bolehkah? Shalawat adalah amalan yang mulia, tetapi kalau meyakini bahwa membacanya setiap sebelum shalat adalah disyariatkan dalam Islam maka ini adalah kesalahan, karena Nabi memulai shalat dengan bertakbir.
Seseorang yang asal beramal, tidak peduli itu sesuai sunnah atau tidak, keadaannya seperti “Pencari kayu bakar di tengah malam” Dia tidak peduli, asal comot saja, dan akhirnya yang dia ambil terkadang benar-benar kayu bakar dan terkadang ular, nah loh.., celaka kan?!
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda “Man ‘amila amalan, laisa amruna fahuwa raddun”
Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak (HR. Muslim)
Jangan dikira kalau beramal dengan amalan yang tidak ada tuntunannya dari nabi hanya beresiko tidak diterimanya amalan tersebut, bahkan dia mendapat dosa karena telah durhaka kepada Nabi, tidak mau tunduk dengan tuntunannya, dan berarti dia juga tidak konsekuen dengan syahadat, karena salah satu konsekuensi syahadat tersebut adalah tidak beribadah kecuali dengan tuntunannya.
Terkadang seseorang ketika ditegur agar meninggalkan amalan yang tidak ada contoh dari Nabi, dia mengatakan “Ya, barangkali saja diterima” Masih berani mengatakan seperti itu lagi?
Ada yang lebih parah lagi, ketika diberitahu bahwa hadits yang disandarkan sebagai dalil dinyatakan dhaif oleh para ahli hadits, dengan entengnya mereka mengatakan “Dhaif-dhaif kan hadits”. Allahu musta’an
Imam Bukhari dengan kekuatan istimbathnya, membuat sebuah bab dalam kitab Shahihnya, Bab “Al-Ilmu qobla qouli wal ‘amali” Bab wajibnya berilmu sebelum berucap dan beramal.
Menjaga amalan
Selain amalan secara lahir harus sesuai dengan tuntunan nabi, amalan juga harus ikhlas hanya untuk Allah, tidak untuk selainnya, tidak untuk mendapat pujian manusia dan yang semisalnya.
Ada sebagian orang yang memahami ikhlas secara salah, yakni memahami bahwa ikhlas adalah beramal dengan tidak mengharapkan balasan. Beramal ya beramal saja, nggak usah mengharap pahala, nggak usah mengharapkan surga dan dijauhkan dari neraka, begitu kata mereka. Ini pun bukan mengada-ada.., bahkan ada syair yang isinya betul-betul mungkar
Ya Allah …
Seandainya aku beramal untuk mengharapkan surgamu
Maka masukkanlah aku ke nerakamu
Allah dan Rasul-nya saja mengajarkan kita untuk berdoa mendapatkan surga dan dijauhkan dari neraka!
Kemudian setelah amalan sesuai dengan tuntunan nabi dan ikhlas hanya karena Allah, kita juga harus menjaga agar amalan tersebut jangan rusak. Apakah suatu amalan dapat rusak? Bisa saja, Allah mengatakan yang artinya
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Al Baqarah:264)
Kalau kita dalam perjalanan membawa barang berharga, tentu kita betul-betul menjaganya, jangan sampai barang tersebut menggoda pencopet atau penjambret mengambil barang berharga kita. Hendaknya kita lebih serius untuk menjaga amalan kita agar tidak rusak, adakah yang hasad dengan kita sehingga ingin agar pahala amalan kita hilang? Apa kita lupa dengan musuh kita, syaitan? Syaitan senantiasa mengintai dan menggoda kita, menggoda kita agar malas beramal, menggoda kita agar beramal tidak sesuai tuntunan, dan menggoda kita agar pahala amalan kita terhapus dengan riya ataupun sum’ah.
Semoga Allah senantiasa menunjukkan kepada kita Sirathal Mustaqim, yakni mengetahui kebenaran dan mengamalkannya, amiin