Seorang muslim harus berwibawa
Kondisi ekonomi yang fluktuatif, krisis global yang melanda sebagian besar industri, dan usaha yang kembang-kempis tidak boleh membuat seorang muslim frustasi dalam berikhtiar. Kondisi ini seyogianya dijadikan momentum untuk mengoreksi diri dan mencari penyebab krisis. Jangan bersikap seperti orang-orang kafir, yang berputus asa dengan melampiaskannya ke diskotik, meneggak khamr, atau bahkan, tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Seorang muslim, dalam menghadapi krisis, hendaknya menyadari bahwa kehidupan adalah sebuah realitas yang harus dihadapi dengan bekal kesungguhan, ilmu, tawakal, dan menjauhi sifat pengecut serta pandai mengolah kelemahan menjadi sebuah kekuatan.
Situasi krisis dan kondisi serba kurang serta hidup miskin harus menjadi cambuk bagi seorang muslim untuk bangkit mencari peluang bisnis dan membuka keran rezeki yang mampet. Setiap muslim dituntut menjadi teladan, termasuk dalam semangat mengumpulkan rezeki dan membuka lapangan kerja yang halal.
Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhu, ketika berhijrah ke Madinah dengan segala keterbatasan dan kehidupan yang serba susah karena konsekuensi hijrah, beliau harus meninggalkan seluruh hartanya di Mekkah. Pada kondisi seperti itu, beliau radhiallahu ‘anhu mendapat tawaran bantuan, namun beliau menampiknya dan mengatakan, ”Tunjukkan kepadaku di mana pasar Madinah.” [10] Dalam waktu yang tidak begitu lama, beliau radhiallahu ‘anhu sudah mampu hidup mandiri dan menikah dari hasil usahanya.
Adapun tentang hadis bahwa Abdurrahman masuk surga sambil merangkak, maka itu adalah hadis palsu, seperti yang telah ditegaskan Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Talbis Iblis [11], dan sanad hadis palsu tersebut sangat lemah, sebagaimana yang telah ditegaskan Imam Adz-Dzahabi rahimahullah dalam Siyar A’lamin Nubala’ [12].
Kesibukan para utusan Allah dan para ulama dalam mencari ilmu dan berdakwah tidak melalaikan mereka untuk mencari rezeki yang halal, untuk menafkahi keluarganya. Karena itulah, seorang muslim harus bisa meneladani mereka. Kesibukan seorang muslim dalam berusaha, jangan sampai membuatnya lalai menuntut ilmu. Sebaliknya, alasan menuntut ilmu jangan sampai membuatnya malas untuk mencari nafkah.
Apapun bentuk usaha seorang muslim, asalkan halal dan diperoleh dengan cara yang benar, itu harus ditekuni dan dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita. Hilangkan perasaan rendah diri, malu, atau gengsi dengn profesi yang dijalaninya karena mungkin dianggap oleh kebanyakan orang sebagai bentuk profesi hina dan tidak bermartabat. Mulia atau tidaknya sebuah usaha atau profesi tidak bergantung pada bergengsi atau tidaknya profesi tersebut dalam pandangan manusia. Akan tetapi, kemuliaan sebuah usaha sangat ditentukan oleh kehalalan usaha itu di hadapan Allah serta terpujinya dia dalam pandangan syariat.
Para nabi dan rasul telah memberikan contoh kepada kita dalam berusaha dan berkarya, untuk menopang kelangsungan dakwah dan tersebarnya risalah. Nabi Zakaria ‘alaihis salam menjadi tukang kayu, Nabi Idris ‘alaihis salam menjahit pakaian, dan Nabi Daud ‘alaihis salam membuat baju perang. Dengan demikian, bisa dikatakan, bekerja untuk bisa hidup mandiri merupakan sunah para utusan Allah. Berusaha untuk mencari nafkah, baik dengan berniaga, bertani, atau berternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak bertentangan dengan sikap tawakal. [13]
Begitu pula para ulama yang shalih. Mereka tergolong orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha, tetapi mereka juga gigih dan tangguh dalam menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Tidak mengapa seorang bekerja di bidang dakwah dan urusan kaum muslim, lalu dia mendapat imbalan dari pekerjaan tersebut, karena ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, beliau mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dari baitulmal. [14]
Perlu diketahui bahwa kualitas seseorang sangat tergantung pada keberhasilannya, kemampuannya untuk memberi manfaat orang lain, juga martabatnya di hadapan Allah dan hamba-Nya.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman (yang artinya), "Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)." (Q.S. Al-Ma’arij:24--25)
Pahala mencari nafkah
Seorang muslim harus memiliki dedikasi yang tinggi dalam mengembangkan usahanya, bersemangat memerangi kemalasan, mengenali medan usaha, sembari tidak berputus asa dalam menghadapi kendala dan hambatan, sehingga menjadi hamba yang mandiri. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih baik daripada makanan yang merupakan usaha tangannya sendiri, karena Nabi, Daud, makan dari hasil usaha tangannya sendiri." [15]
Abu Qasim Al-Khatli bertanya kepada Imam Ahmad rahimahumullah, ”Apa komentar Anda terhadap orang yang hanya berdiam diri di rumah atau di sebuah masjid, lalu berkata, 'Aku tidak perlu bekerja karena rezekiku tidak akan lari dan pasti datang.'?" Imam Ahmad rahimahullah menjawab, ”Orang itu tidak tahu ilmu. Apakah ia tidak mendengarkan sabda Rasulullah, 'Allah menjadikan rezekiku di bawah kilatan pedang (jihad).'?" [16]
Allah subhanahu wa ta’ala tidak melarang para hamba-Nya menjadi orang kaya dan hidup berkecukupan. Bahkan, Allah mencintai orang kaya yang bersyukur, asalkan tidak sombong serta mencari harta sesuai dengan kaidah dan prinsip agama. Jadi, tidak ada alasan untuk mencela usaha yang halal. Yang tercela adalah usaha yang haram atau usaha yang menyebabkan lalai dari ibadah kepada Allah, bersikap sombong, dan kikir.
Sahl bin Abdullah At-Tustari rahimahullah berkata, ”Barang siapa yang merusak tawakal berarti dia telah merusak pilar keimanan, dan barang siapa yang merusak pekerjaan berarti telah membuat kerusakan dalam sunah." [17]
Wahai saudaraku, tulisan ini sengaja saya sampaikan untuk menepis anggapan sebagian orang yang tidak berilmu bahwa menjadi orang kaya, hidup berkecukupan, dan gigih mencari nafkah dengan cara yang benar agar hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain merupakan cinta dunia yang menodai sikap zuhud. Padahal, tidaklah demikian! Bahkan, Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu berkata, ”Termasuk indikasi bahwa seseorang memahami agamanya adalah adanya kemauan untuk mengurusi nafkah rumah tangganya.” [18]
Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
[10] Siyar A’lamin Nubala’, Adz-Dzahabi, 3:48.
[11] Talbisul Iblis, dalam "Talbis terhadap Kaum Zuhud".
[12] Siyar A’lamin Nubala’, Adz-Dzahabi, 3:49.
[13] Fathul Bari, 4:1358 dan Al-Minhaj, Syarh Sahih Muslim, 15:133.
[14] Fathul Bari, 4:357.
[15] H.R. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, no. 2072 dan Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 8:6.
[16] Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 302.
[17] Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 299.
[18] Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Dunya dalam Ishlahul Mal, hlm. 223; Ibnu Abu Syaibah, no. 34606; Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab, 2:365.
Sumber: Majalah As-Sunnah, edisi 12, thn. XIV, Jumadil Ula 1432 H/April 2011 M.
Kondisi ekonomi yang fluktuatif, krisis global yang melanda sebagian besar industri, dan usaha yang kembang-kempis tidak boleh membuat seorang muslim frustasi dalam berikhtiar. Kondisi ini seyogianya dijadikan momentum untuk mengoreksi diri dan mencari penyebab krisis. Jangan bersikap seperti orang-orang kafir, yang berputus asa dengan melampiaskannya ke diskotik, meneggak khamr, atau bahkan, tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Seorang muslim, dalam menghadapi krisis, hendaknya menyadari bahwa kehidupan adalah sebuah realitas yang harus dihadapi dengan bekal kesungguhan, ilmu, tawakal, dan menjauhi sifat pengecut serta pandai mengolah kelemahan menjadi sebuah kekuatan.
Situasi krisis dan kondisi serba kurang serta hidup miskin harus menjadi cambuk bagi seorang muslim untuk bangkit mencari peluang bisnis dan membuka keran rezeki yang mampet. Setiap muslim dituntut menjadi teladan, termasuk dalam semangat mengumpulkan rezeki dan membuka lapangan kerja yang halal.
Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhu, ketika berhijrah ke Madinah dengan segala keterbatasan dan kehidupan yang serba susah karena konsekuensi hijrah, beliau harus meninggalkan seluruh hartanya di Mekkah. Pada kondisi seperti itu, beliau radhiallahu ‘anhu mendapat tawaran bantuan, namun beliau menampiknya dan mengatakan, ”Tunjukkan kepadaku di mana pasar Madinah.” [10] Dalam waktu yang tidak begitu lama, beliau radhiallahu ‘anhu sudah mampu hidup mandiri dan menikah dari hasil usahanya.
Adapun tentang hadis bahwa Abdurrahman masuk surga sambil merangkak, maka itu adalah hadis palsu, seperti yang telah ditegaskan Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Talbis Iblis [11], dan sanad hadis palsu tersebut sangat lemah, sebagaimana yang telah ditegaskan Imam Adz-Dzahabi rahimahullah dalam Siyar A’lamin Nubala’ [12].
Kesibukan para utusan Allah dan para ulama dalam mencari ilmu dan berdakwah tidak melalaikan mereka untuk mencari rezeki yang halal, untuk menafkahi keluarganya. Karena itulah, seorang muslim harus bisa meneladani mereka. Kesibukan seorang muslim dalam berusaha, jangan sampai membuatnya lalai menuntut ilmu. Sebaliknya, alasan menuntut ilmu jangan sampai membuatnya malas untuk mencari nafkah.
Apapun bentuk usaha seorang muslim, asalkan halal dan diperoleh dengan cara yang benar, itu harus ditekuni dan dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita. Hilangkan perasaan rendah diri, malu, atau gengsi dengn profesi yang dijalaninya karena mungkin dianggap oleh kebanyakan orang sebagai bentuk profesi hina dan tidak bermartabat. Mulia atau tidaknya sebuah usaha atau profesi tidak bergantung pada bergengsi atau tidaknya profesi tersebut dalam pandangan manusia. Akan tetapi, kemuliaan sebuah usaha sangat ditentukan oleh kehalalan usaha itu di hadapan Allah serta terpujinya dia dalam pandangan syariat.
Para nabi dan rasul telah memberikan contoh kepada kita dalam berusaha dan berkarya, untuk menopang kelangsungan dakwah dan tersebarnya risalah. Nabi Zakaria ‘alaihis salam menjadi tukang kayu, Nabi Idris ‘alaihis salam menjahit pakaian, dan Nabi Daud ‘alaihis salam membuat baju perang. Dengan demikian, bisa dikatakan, bekerja untuk bisa hidup mandiri merupakan sunah para utusan Allah. Berusaha untuk mencari nafkah, baik dengan berniaga, bertani, atau berternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak bertentangan dengan sikap tawakal. [13]
Begitu pula para ulama yang shalih. Mereka tergolong orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha, tetapi mereka juga gigih dan tangguh dalam menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Tidak mengapa seorang bekerja di bidang dakwah dan urusan kaum muslim, lalu dia mendapat imbalan dari pekerjaan tersebut, karena ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, beliau mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dari baitulmal. [14]
Perlu diketahui bahwa kualitas seseorang sangat tergantung pada keberhasilannya, kemampuannya untuk memberi manfaat orang lain, juga martabatnya di hadapan Allah dan hamba-Nya.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman (yang artinya), "Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)." (Q.S. Al-Ma’arij:24--25)
Pahala mencari nafkah
Seorang muslim harus memiliki dedikasi yang tinggi dalam mengembangkan usahanya, bersemangat memerangi kemalasan, mengenali medan usaha, sembari tidak berputus asa dalam menghadapi kendala dan hambatan, sehingga menjadi hamba yang mandiri. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih baik daripada makanan yang merupakan usaha tangannya sendiri, karena Nabi, Daud, makan dari hasil usaha tangannya sendiri." [15]
Abu Qasim Al-Khatli bertanya kepada Imam Ahmad rahimahumullah, ”Apa komentar Anda terhadap orang yang hanya berdiam diri di rumah atau di sebuah masjid, lalu berkata, 'Aku tidak perlu bekerja karena rezekiku tidak akan lari dan pasti datang.'?" Imam Ahmad rahimahullah menjawab, ”Orang itu tidak tahu ilmu. Apakah ia tidak mendengarkan sabda Rasulullah, 'Allah menjadikan rezekiku di bawah kilatan pedang (jihad).'?" [16]
Allah subhanahu wa ta’ala tidak melarang para hamba-Nya menjadi orang kaya dan hidup berkecukupan. Bahkan, Allah mencintai orang kaya yang bersyukur, asalkan tidak sombong serta mencari harta sesuai dengan kaidah dan prinsip agama. Jadi, tidak ada alasan untuk mencela usaha yang halal. Yang tercela adalah usaha yang haram atau usaha yang menyebabkan lalai dari ibadah kepada Allah, bersikap sombong, dan kikir.
Sahl bin Abdullah At-Tustari rahimahullah berkata, ”Barang siapa yang merusak tawakal berarti dia telah merusak pilar keimanan, dan barang siapa yang merusak pekerjaan berarti telah membuat kerusakan dalam sunah." [17]
Wahai saudaraku, tulisan ini sengaja saya sampaikan untuk menepis anggapan sebagian orang yang tidak berilmu bahwa menjadi orang kaya, hidup berkecukupan, dan gigih mencari nafkah dengan cara yang benar agar hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain merupakan cinta dunia yang menodai sikap zuhud. Padahal, tidaklah demikian! Bahkan, Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu berkata, ”Termasuk indikasi bahwa seseorang memahami agamanya adalah adanya kemauan untuk mengurusi nafkah rumah tangganya.” [18]
Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
[10] Siyar A’lamin Nubala’, Adz-Dzahabi, 3:48.
[11] Talbisul Iblis, dalam "Talbis terhadap Kaum Zuhud".
[12] Siyar A’lamin Nubala’, Adz-Dzahabi, 3:49.
[13] Fathul Bari, 4:1358 dan Al-Minhaj, Syarh Sahih Muslim, 15:133.
[14] Fathul Bari, 4:357.
[15] H.R. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, no. 2072 dan Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 8:6.
[16] Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 302.
[17] Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 299.
[18] Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Dunya dalam Ishlahul Mal, hlm. 223; Ibnu Abu Syaibah, no. 34606; Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab, 2:365.
Sumber: Majalah As-Sunnah, edisi 12, thn. XIV, Jumadil Ula 1432 H/April 2011 M.