Sudah bersihkah gaji anda dari hak orang lain? Yang dimaksud dengan gaji atau salary ialah upah kerja yang dibayar diwaktu yang tetap, dan di Indonesia gaji itu biasanya dibayar setiap bulan.
Setiap orang yang bekerja pada suatu instansi, lembaga milik pemerintah atau perusahaan swasta mereka itu biasanya disebut pegawai atau karyawan. Status mereka ada yang sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan ada juga yang berstatus sebagai pegawai atau karyawan swasta. Pada tiap-tiap bulan mereka mendapatkan upah atau bayaran yang lazim kita sebut gaji atau salary. Di samping gaji yang merupakan penghasilan tetap setiap bulan, seorang pegawai atau karyawan terkadang menerima honorarium atau bonus sebagai balas jasa terhadap suatu pekerjaan yang dilakukan di luar tugas pokoknya.
Hal itu sudah merupakan suatu hal yang lumrah dalam kehidupan seorang pegawai atau karyawan. Tujuannya tiada lain untuk meningkatkan kinerja pegawai atau karyawan supaya lebih giat lagi meningkatkan aktifitas dan prestasi kerjanya sehingga pada gilirannya citra dan gengsi instansi, perusahaan atau lembaga bersangkutan turut terangkat.
Selain dari pendapatannya yang resmi, kadang seorang pegawai mempunyai profesi sampingan yang terkadang hasilnya lebih besar dari gaji resminya seperti: dokter yang buka praktek di rumah, akuntan, konsultan, notaries dan lain-lain. Itu juga sama terkena kewajiban zakat.
Sebagai seorang muslim kita harus selalu ingat bahwa apapun yang kita peroleh dari apa-apa yang kita usahakan apabila telah mencapai nisab atau haul maka hal itu wajib dizakati, termasuk gaji atau salary. Zakat gaji dan profesi memang sampai saat ini termasuk masalah ijtihadi yang masih menjadi perdebatan. Tetapi secara logika, petani kecil saja yang memperoleh 750 kg dari hasil panennya harus dizakati 5% atau 10% sedangkan pegawai atau karyawan yang pendapatannya bila dikumulatifkan dalam setahun bisa melebihi pendapatan seorang petani merasa tenang dan damai karena tidak ada nash yang khusus membahas zakat masalah ini. Bila hal ini dibiarkan berlangsung terus artinya penetapan hukum yang berlaku dalam Islam tidak adil. Dan bisa mengundang kecemburuan sosial.
Menurut hemat penulis, semua macam penghasilan dari profesi termasuk gaji terkena wajib zakat, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah[2] : 267 "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik". Ayat ini kelihatannya memang umum, tetapi bila kita renungkan secara mendalam, gaji pun bisa masuk kedalam ketentuan yang dimaksud oleh ayat ini. Alasannya sangat mudah sekali, karena gaji itu kita peroleh merupakan suatu hasil usaha yang kita lakukan.
Selain dari masalah di atas masih ada lagi masalah yang diperdebatkan, yaitu apakah gaji itu dizakati secara utuh sebelum dikurangi ini dan itu atau dikurangi dulu kebutuhan pokok baru sisanya diperhitungkan? Menurut yang penulis temukan, dalam hal ini ada dua pendapat, kalau menurut Prof. Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Masail Fiqhiyyah, penulis bisa menangkap pemahaman dari contoh yang ditulis oleh beliau bahwa pendapatan penuh dikurangi dulu kebutuhan pokok keluarga termasuk bayar angsuran rumah perumnas, kredit mobil dan lain-lain, kemudian baru sisanya diperhitungkan untuk dizakati.
Sedangkan menurut K.H. Dr. Miftah Faridl tidak ada sesuatu pun yang bisa mengurangi gaji/penghasilan penuh satu bulan kecuali hanyalah utang. Artinya, gaji tiap bulan tidak dikurangi dulu kebutuhan pokok, angsuran atau kredit ini dan itu, tetapi dipotong dulu utang bila ada, kemudian dijumlah lalu dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%. Alasan beliau adalah apabila penghasilan dikurangi dulu oleh kebutuhan ini dan itu hal ini bisa menimbulkan ketidakjujuran karena kebutuhan itu sifatnya relatif. Bisa saja seseorang memperbesar jumlah kebutuhannya sehingga menggelembung padahal tujuannya tiada lain untuk menghindari nisab zakat, sehingga dia tidak tergolong wajib zakat karena sisa dari penghasilan bulanannya tinggal sedikit.
Dalam masalah ini penulis lebih cenderung dan setuju dengan pendapat K.H. Dr. Miftah Faridl. Alasannya pada saat ini memang banyak orang yang berkelit dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari zakat. Untuk perhitungan zakat gaji SETAHUN ini nisabnya sama dengan nisab emas yaitu SENILAI HARGA 85 gram emas murni. Jika harga emas murni sekarang Rp 75.000,-/gram jadi nisabnya sama dengan Rp. 6.375.000,- . Untuk mengeluarkannya bisa dikeluarkan setahun sekali atau tiap-tiap bulan supaya lebih ringan. Karena terkadang jika dikeluarkan setahun sekaligus kita merasa berat.
Dibawah ini ada beberapa contoh dari perhitungan zakat gaji dan profesi yang biasa dikeluarkan tiap bulan:
1. Hasan adalah seorang karyawan/PNS dengan masa kerja 25 tahun dengan penghasilan tiap bulan:
a. Gaji resmi Rp. 750.000,-
b. Honorarium dari dinas luar Rp. 100.000,-
c. Pendapatan lain-lain Rp. 50.000
d. Jumlah : Rp. 900.000,-
e. Utang Rp. 200.000,-
f. Saldo : Rp. 700.000,-
g. Besarnya zakat : 2,5% x Rp. 700.000,- = Rp. 18.500,-/bulan
2. Ahmad adalah seorang menejer di sebuah perusahaan terkemuka dengan penghasilan tiap bulan :
a. Gaji resmi Rp. 5.000.000,-
b. Bonus kelebihan target produksi Rp. 1.000.000,-
c. Pendapatan dari dinas luar Rp. 500.000,-
d. Pendapatan lain-lain Rp. 700.000,-
e. Jumlah : Rp. 7.200.000,-
f. Besarnya zakat: 2,5% x Rp. 7.200.0000,- = Rp.180.000,-/bulan
3. Amran adalah seorang dokter spesialis anak yang bekerja di sebuah Rumah Sakit Pemerintah dengan penghasilan tiap bulan:
a. Gaji resmi Rp. 2.000.000,-
b. Buka praktek di rumah Rp. 5.000.000,-
c. Pendapatan lain Rp. 1.000.000,-
d. Jumlah: Rp. 8.000.000,-
e. Besarnya zakat: 2,5% x Rp. 8.000.000,- = Rp. 200.000,-
Demikianlah contoh-contoh yang berkaitan dengan zakat gaji dan profesi.
Ayat tentang Zakat
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [QS At Taubah: 71]