Udhiyah ialah binatang ternak yang disembelih pada hari raya haji dan pada hari-hari tasyrik demi mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
2. HUKUM UDHIYAH
Hukumnya wajib atas orang yang mampu berkurban. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menegaskan:
“Barangsiapa mempunyai kemampuan, namun ia tidak (mau) berkurban, maka janganlah sekali-kali ia mendekat ke mushalla kami.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 2532 dan Ibnu Majah II: 1044 no: 3132).
Dalam kitab As-Sailul Jarrar disebutkan:
Wajhul istidlal (arah pengambilan dalil) dengan hadits di atas, yaitu bahwa tatkala Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melarang orang yang mampu berkurban mendekat ke mushalla bila ia tidak mau berkurban, hal tersebut menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan suatu kewajiban. Maka seolah-olah sama sekali tak ada faedahnya bagi seorang hamba mendekatkan dirinya kepada Allah dengan mengerjakan shalat (Ied) namun meninggalkan kewajiban ini.
Dari Mukhaffif bin Sulaim ra, ia berkata: Kami pernah wukuf di Arafah di dekat Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya setiap ahli bait dalam setiap tahun wajib berkurban dan harus menyembelih binatang untuk bulan Rajab. Tahukah kalian, apa itu penyembelihan binatang untuk bulan Rajab? Yaitu penyembelihan binatang yang oleh orang-orang disebut rajabiyah.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 2533, Tirmidzi III: 37 no: 1555, ‘Aunul Ma’bud VII: 481 no: 2771, Ibnu Majah II: 1045 no: 3125 dan Nasa’i VII: 167).
Kemudian penyembelihan untuk bulan Rajab dihapus oleh sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Tidak ada penyembelihan untuk mencari barakah dan tidak ada penyembelihan untuk bulan Rajab.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 596 no: 5473, Muslim III: 1564 no: 1976, ‘Aunul Ma’bud VIII: 32 no: 2814, Tirmidzi III: 34 no: 1548, dan Nasa’i VII: 167).
Dimansukhnya (dihapusnya) penyembelihan untuk bulan Rajab tidak memastikan dihapuskannya udhhiyah.
Dari Jundab bin Sufyan al-Bajili ra, ia berkata, “Pada hari nahr saya pernah menyaksikan Rasululllah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa menyembelih (binatang qurban) sebelum shalat, maka hendaklah ia mengulangi (menyembelih lagi) sebagai gantinya, dan barangsiapa yang belum menyembelih, maka menyembelihlah.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari X: 20 no: 5562, Muslim III: 1551 no: 1960, Ibnu Majah II: 1053 no: 3152 dan Nasa’i VII: 224).
Jelas dalil di atas menunjukkan wajibnya berkurban, apalagi diiringin dengan perintah mengulangi. (As-Sailul Jarrar IV: 74-75 dengan sedikit perubahan).
3. BINATANG TERNAK YANG BOLEH DISEMBELIH SEBAGAI QURBAN
Binatang ternak yang sah dijadikan sebagai qurban hanyalah sapi, kambing dan unta. Hal ini mengacu pada firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
“Dan bagi tiap-tiap ummat telah Kami syari’atkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.” (QS al-Hajj: 34).
4. SEEKOR UNTA DAN SEEKOR SAPI, UNTUK BERAPA ORANG
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Kami pernah bepergian bersama Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu tibalah Idul Adha, kemudian kami bersekutu dalam seekor unta sembelihan untuk sepuluh orang, dan dalam seekor sapi untuk tujuh orang.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2536, Ibnu Majah II: 1047 no: 3131, Tirmidzi II: 194 no: 907 dan Nasa’i VII: 222).
5. SEEKOR KAMBING UNTUK SEKELUARGA
Dari Athaa’ bin Yasar, ia bertutur: Saya pernah bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshari ra, “Bagaimana pelaksanaan kurban kalian pada masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam?” Jawabnya, “Adalah seorang sahabat pada periode Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan untuk keluarganya, lalu mereka memakannya dan membagikannya (kepada fakir miskin), kemudian manusia saling berbangga-bangga (dengan kurban-kurban mereka) seperti yang kau lihat sekarang ini.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2546, Ibnu Majah II: 1051 no: 3147, dan Tirmidzi III: 31 no: 1541).
6. BINATANG YANG TIDAK BOLEH DISEMBELIH SEBAGAI QURBAN
Dari Ubaid bin Fairuz, ia bercerita: Saya pernah bertanya kepada al-Bara bin ‘Azib ra, “(Tolong) jelaskan kepadaku binatang qurban yang dibenci atau dilarang oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam”, Jawabnya: Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berisyarat begini dengan tangannya, sedang tanganku lebih pendek daripada tangan beliau, sambil bersabda, “Ada empat binatang yang tidak boleh dipakai buat qurban, yaitu: binatang yang buta yang nyata kebutaannya, yang sakit yang nyata sakitnya, yang pincang yang nyata pincangnya, dan yang patah yang tidak dapat disembuhkan.”
Kata Ubaid bin Fairuz (lagi), “Maka sesungguhnya aku membenci binatang qurban yang cuil telinganya.” Lalu kata al-Bara’, “Maka binatang qurban yang kau benci, tinggallah ia, namun janganlah engkau mengharamkannya atas orang lain.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2545, Ibnu Majah II: 1050 no: 3144, ‘Aunul Ma’bud VII: 505 no: 2785, Nasa’i VII: 214, daan Tirmidzi III: 27 no: 1530 secara ringkas).
7. KAMBING KACANG TIDAK CUKUP DIJADIKAN QURBAN
Dari Baraa’ bin Azib ra, ia bertutur: Pamanku dari pihak ibu namanya Abu Burdah menyembelih qurban sebelum shalat (’id), lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepadanya, “Kambingmu itu adalah kambing daging.” Kemudian ia berkata, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya aku (masih) punya kambing kacangan jadza’ah yang jinak.” Maka sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, “Sembelihlah dia, namun dia tak patut untuk selain engkau.” Kemudian Beliau bersabda, “Barangsiapa menyembelih (qurban) sebelum shalat (‘id), maka dia hanya menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa menyembelih sesudah shalat, maka sungguh telah sempurna qurbannya dan sesuai dengan sunnah kaum Muslimin.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari X: 12 no: 5557, Muslim III: 1552 no: 1961, semakna diriwayatkan Tirmidzi III: 32 no: 1544, ‘Aunul Ma’bud VII: 504 no: 2783, dan Nasa’i VII: 222).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil