Peran orang tua sangat menentukan baik-buruk serta utuh-tidaknya kepribadian anak. Untuk itu orang tua pasti akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah Subhanahu wata’ala kelak di akhirat tentang anak-anaknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Tiada seorangpun yang dilahirkan kecuali dilahirkan pada fithrah (Islam)nya. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. (HR. al-Bukhâri dan Muslim)[1]
Hadits ini menunjukkan bahwa orang tua sangat menentukan shaleh-tidaknya anak. Sebab pada asalnya setiap anak berada pada fitrah Islam dan imannya; sampai kemudian datanglah pengaruh-pengaruh luar, termasuk benar-tidaknya orang tua mengelola mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
Setiap engkau adalah pemelihara, dan setiap engkau akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya: Seorang pemimpin adalah pemelihara, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Seorang laki-laki juga pemelihara dalam keluarganya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Dan seorang perempuan adalah pemelihara dalam rumah suaminya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. (HR. al-Bukhâri)[2]
Maka orang tua bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anak-anaknya. Karena itu hendaknya setiap orang tua memperhatikan sepenuhnya perkembangan serta masa depan anak-anaknya, masa depan yang bukan berorientasi pada sukses duniawi, tetapi yang terpenting adalah sukses hingga akhiratnya. Dengan demikian, orang tua tidak boleh mementingkan diri sendiri, misalnya dengan melakukan dorongan yang secara lahiriah terlihat seakan-akan demi kebaikan anak, padahal sesungguhnya untuk kepentingan kebaikan, prestise atau popularitas orang tua. Sehingga akhirnya salah langkah.
Berikut adalah beberapa kiat membentuk pribadi anak yang benar serta kiat melaksanakan pendidikan anak.
TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN
Jika dikembalikan kepada tujuan diciptakannya manusia, yaitu hanya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala saja. Maka peran orang tua menjadi sangat besar untuk mengarahkan anak-anaknya menjadi hamba-hamba Allah Subhanahu wata’ala yang shaleh, yang hanya beribadah kepada-Nya saja. Merupakan dosa besar jika orang tua tidak sungguh-sungguh mengarahkan anak-anaknya menuju peribadatan yang menjadi tujuan diciptakannya manusia.
Dalam hal ini keteladanan para nabi ‘alaihimush shalâtu was salâm harus di ikuti. Sebagai contoh, Allah Subhanahu wata’ala menceritakan perhatian Nabi Ya’kub ‘alaihissalam terhadap anak-anaknya. Allah Subhanahu wata’ala menceritakan perkataan beliau kepada anak-anaknya saat beliau menjelang wafat:
أَمْ ُكنتُمْ شُهَدَآءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتَ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ ءَابَآئِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلاَهاً وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Adakah kamu hadir ketika Ya’kûb kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya:”Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab:”Kami akan menyembah Sesembahan-mu dan Sesembahan nenek moyangmu; Ibrâhîm, Isma’il, dan Ishâk, (yaitu) Sesembahan satu-satu-Nya yang Maha esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya”. (Qs al-Baqarah/2:133)
Meskipun ayat ini sebenarnya ditujukan untuk membantah anggapan orang-orang ahlul kitab bahwa Ibrâhîm, Ishâk, Ismâ’îl dan Ya’kûb adalah orang-orang yang beragama Yahudi atau Nasrani, namun juga mengandung pengertian jelas bahwa nabi-nabi tersebut senantiasa memperhatian akidah anak keturunannya. Yaitu agar mereka selalu hanya beribadah kepada Allah k saja.
Imam ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: “Tafsir ayat tersebut ialah: ‘Wahai orang-orang Yahudi dan Nasrani, orang-orang yang mendustakan kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ! Apakah kalian hadir dan menyaksikan keadaan Ya’kûb pada saat menjelang wafatnya?’ Maksudnya; kalian saat itu tidak hadir. Oleh karenanya kalian jangan mengaku-aku secara bathil bahwa nabi-nabi dan rasul-rasul-Ku beragama Yahudi dan Nasrani. Sesungguhnya Aku telah mengutus khalîl-Ku (kekasihku) Ibrâhîm, Ishâk, Ismâ’îl dan anak keturunannya untuk membawa risalah Islam yang lurus. Dengan risalah inilah mereka memberikan wasiat dan memerintahkan kepada anak keturunannya agar mereka mengikutinya. Seandainya kalian hadir pada saat kematian mereka, tentu kalian mendengar dari mereka bahwa mereka tidak berada dalam agama yang kalian anggap”.[3]
Begitu juga perhatian dan pendidikan yang dilakukan Lukman kepada anaknya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman yang artinya:
- Dan (ingatlah) ketika Lukmân berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah Subhanahu wata’ala , sesungguhnya mempersekutukan (Allah Subhanahu wata’ala ) adalah benar-benar kezhaliman (ketidak adilan) yang besar”.
- Dan Kami perintahkan kepada manusia (supaya berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
- Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan sesuatu dengan Aku, hal yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, kemudian akan Ku-beritakan kepadamu kelak apa yang telah kamu kerjakan.
- (Lukmân berkata):”Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha halus lagi Maha mengetahui.
- Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah Subhanahu wata’ala ).
- Dan janganlah memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
- Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Qs Luqmân/31:13-19)
Demikianlah pelajaran penting dari Luqmân kepada anaknya yang termuat dalam Surah Luqman, ayat 13-19. Intisari dari pelajaran Luqmân tersebut adalah pendidikan penting bagi masa depan anaknya, terutama masa depan ukhrawi.
Secara ringkas intisari pelajaran dalam Surah Luqmân tersebut adalah sebagai berikut:
1. Disyari’atkannya agar orang tua memberikan pendidikan dan wasiat kepada anak-anaknya tentang apa yang dapat memberikan manfaat di dunia dan di akhirat.
2. Wasiat itu harus dimulai dari persoalan tauhid dan peringatan dari syirik, karena syirik merupakan kezhaliman serta ketidak-adilan yang akan menghapuskan amal.
3. Kemudian tentang wajibnya bersyukur kepada Allah Subhanahu wata’ala, bersyukur (berterimakasih) kepada kedua orang tua, dan tentang wajibnya berbuat kebaikan kepada kedua orang tua.
4. Selanjutnya tentang tidak boleh taat kepada siapapun jika perintahnya merupakan kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Ketaatan hanyalah dalam hal yang tidak maksiat.
5. Tentang wajibnya mengikuti jalan kaum Mu’minin yang bertauhid, serta haramnya mengikuti jalan para ahli bid’ah.
6. Wajibnya merasa selalu diawasi oleh Allah Subhanahu wata’ala, baik dalam keadaan tertutup atau terbuka. Dan tidak boleh meremehkan urusan kebaikan atau keburukan meskipun kecil atau sedikit.
7. Wajibnya mendirikan shalat secara benar sesuai dengan rukun dan syarat-syaratnya, dan harus thuma’nînah di dalamnya.
8. Wajibnya melaksanakan amar ma’ruf – nahi mungkar dengan lemah lembut sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.
9. Tentang keharusan bersabar dalam menghadapi tantangan ketika melaksanakan amar ma’ruf – nahi mungkar.
10. Tentang haramnya sombong dan haramnya congkak ketika berjalan.
11. Tentang sikap sederhana dan sedang ketika berjalan, tidak lamban dan tidak terlalu cepat.
12. Dan juga tentang tidak meninggikan suara melebihi kebutuhan, sebab bersuara keras di luar kebutuhan merupakan kebiasaan keledai. [4]
Sesungguhnya, upaya mengarahkan anak menjadi anak shaleh yang beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala dan meninggalkan serta membenci kemusyrikan, akan dapat dilakukan melalui proses tarbiyah (pendidikan). “Tarbiyah merupakan salah satu segi kehidupan manusia yang terpenting”.[5]
Murabbi atau pendidik sebenarnya hanyalah Allah k semata, tiada sekutu baginya dalam Rububiyah. Dia adalah Rabb (yang mentarbiyah) seluruh alam semesta. Selanjutnya yang paling berhak untuk diikuti tarbiyahnya sesudah Allah Subhanahu wata’ala adalah para Rasul; orang-orang yang telah dipilih oleh Allah k dan telah ditarbiyah langsung oleh-Nya dengan Kitab dan Hikmah, sebagaimana telah ditarbiyah langsung dengan segala ni’mat dan karunia-Nya. Kemudian, tarbiyah yang berhak diikuti sesudahnya lagi adalah tarbiyah para pewaris nabi; orang yang yang mendapatkan tarbiyah langsung dari tangan para nabi dan dibina dengan makanan ilmu serta akhlak para nabi. Sesudah itu berlangsunglah secara bersambung pola tarbiyah ini pada generasi berikut yang diambil dari generasi sebelumnya. Orang yang paling banyak dapat menyerap pola tarbiyah kenabian ajaran Allah Subhanahu wata’ala ini adalah orang yang paling banyak ittiba’ terhadapnya, baik keilmuannya, pengamalannya maupun da’wahnya.[6]
Lebih jelasnya, tarbiyah atau pendidikan yang benar dilaksanakan agar dapat membentuk pribadi yang beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala dan tentunya harus bertumpu pada aturan tarbiyah Allah Subhanahu wata’ala. Sebab Dia-lah Murabbi sebenarnya. Berarti pula harus berwujud pengarahan terhadap umat secara umum, dan terhadap anak-anak secara khusus, untuk senantiasa mengikuti petunjuk (huda) Allah Subhanahu wata’ala.
Sementara itu, Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah (wafat 751 H) menjelaskan makna mengikuti petunjuk (huda) Allah Subhanahu wata’ala yang dapat menghasilkan kebahagiaan, hilangnya rasa takut di akhirat dan hilangnya kesedihan (karena tidak mengalami bencana di akhirat-pen.) ialah;
pertama: Meyakini segala berita yang datang Allah Subhanahu wata’ala tanpa terkendala oleh sesuatu syubhatpun yang dapat mengotori keyakinannya. kedua: Melaksanakan segala perintah-Nya tanpa terkendala oleh sesuatu syahwatpun hingga dapat menghalangi pelaksanaan perintah.
Pada dua hal inilah keimanan berporos, yaitu meyakini berita dan mentaati perintah. Dua hal ini diikuti oleh dua hal lain, yaitu: Mengenyahkan syubhat-syubhat batil yang menyusup serta menghambat utuhnya keyakinan, dan mengenyahkan syahwat-syahwat menyimpang yang menghambat utuhnya pengamalan terhadap perintah” [7]
Bahaya Syubhat dan Syahwat:
Sesungguhnya di kehidupan dunia ini terdapat dua bahaya yang besar, yaitu:
1. Bahaya syubhat. Yaitu bahaya yang akan merusak dan merubah keyakinan, dari yang benar menjadi menyimpang.
2. Bahaya syahwat. Yaitu bahaya yang akan merusak kepribadian dan ketaatan terhadap perintah agama.
Dalam pengelolaan pendidikan, anak pun akan menghadapi dua bahaya besar ini. Oleh karenanya, orang tua harus selalu waspada terhadap dua bahaya ini. Bahaya yang akan merusak pemikiran, pemahaman serta keyakinan anak, hingga menjerumuskannya dalam bid’ah, kemusyrikan atau kekufuran; itulah bahaya syubhat. Sedangkan bahaya yang akan merusak keutuhan pribadi anak serta ketaatannya hingga menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan, kefasikan dan ketidak teguhan dalam menjalankan hukum-hukum agama; itulah bahaya syahwat.
Bahaya syubhat harus diatasi dengan pendidikan ilmu yang benar dan baik. Sehingga, orang tua harus melakukan langkah-langkah yang tepat. Di antaranya adalah menanamkan aqidah dan ilmu yang lurus, memilihkan lembaga pendidikan yang bersih dari syubhat-syubhat ilmiah, lembaga pendidikan yang tidak mengajarkan filsafat dan ajaran-ajaran menyimpang serta memilihkan lingkungan pergaulan yang bersih. Juga harus memberikan pengawasan ketat terhadap buku-buku yang dibacanya. Jangan sampai buku-buku yang dibacanya adalah buku-buku yang membawa penyimpangan pemikiran atau kesesatan.
Sedangkan bahaya syahwat harus diatasi dengan bimbingan secara kontinyu menuju pelaksanaan perintah agama. Kemudian memilihkan lingkungan pergaulan yang baik; memilihkan lembaga pendidikan yang ketat pengawasannya terhadap kemaksiatan dan pelanggaran syari’at; serta ketat dalam memberikan keteladanan yang baik dan senantiasa meminimalisir potensi berkembangnya kemaksiatan, penyimpangan serta pelanggaran syar’i pada diri anak. Di samping itu orang tua juga harus memberikan pengawasan terhadap bahan-bahan bacaan anak.
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Dua perkara ini, yaitu syubhat dan syahwat, merupakan pangkal rusaknya seorang manusia dan kesengsaraannya di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana dua pokok yang pertama, yaitu meyakini segala berita dari Allah Subhanahu wata’ala dan mentaati perintah-Nya, merupakan pangkal kebahagiaan dan kebaikan manusia, di dunia maupun di akhirat.[8]
Tashfiyah dan Tarbiyah:
Pada intinya, supaya peran orang tua dalam mengelola anak-anaknya bisa berjalan secara optimal, harus dipenuhi dua hal penting: pertama: Tashfiyah, yaitu membersihkan pemahaman, pemikiran serta keyakinannya dari segala hal yang merusak. Sehingga aqidah, pemahaman serta manhajnya dalam beragama jadi lurus. Hal ini dilakukan dengan memberikan ilmu dan pengajaran ilmiah yang lurus. Kedua: Tarbiyah, yaitu membimbing, membina, membiasakan dan memberikan keteladanan agar anak terbiasa melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala serta meninggalkan segala kemaksiatan.
Dalam hal ini Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah menjelaskan:
“Yang demikian itu karena manusia memiliki dua potensi; pertama : potensi daya tangkap dan daya selidik beserta potensi-potensi lain yang mengikutinya berupa kekuatan ilmu, pengetahuan dan kemampuan berbicara. Kedua: Potensi kehendak dan kesukaan beserta potensi-potensi lain yang mengikutinya berupa niat, tekad dan (semangat) berbuat.
Syubhat akan berpengaruh bagi rusak (menyimpang)nya potensi ilmiah dan pemahamannya, selama tidak ada upaya untuk mengobati dengan menyingkirkan syubhat itu. Sedangkan syahwat akan berpengaruh bagi potensi rusak (menyeleweng)nya kehendak beramal, selama tidak ada upaya untuk mengobati dengan mengenyahkan syubhat itu.[9]
Ini pula tugas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pendidik umat sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَّفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Qs Ali Imrân/3:164)
Itu pula keharusan bagi setiap da’i dan pendidik termasuk ayah bunda.
Tazkiyah (pembersihan jiwa) tidak akan dapat berjalan sempurna tanpa adanya tarbiyah. Sedangkan Ta’lîm (pengajaran ilmu) tidak akan bisa sempurna tanpa adanya tashfiyah. Karena keduanya saling berkaitan erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.[10]
Seseorang menjadi bersih jiwanya jika mengamalkan semua ketentuan syari’at Allah Subhanahu wata’ala yang meliputi aqidah, ibadah hingga mu’âmalah. Tanpa itu, bagaimana mungkin seseorang akan bersih jiwanya. Tetapi semua itu tidak akan terwujud kecuali dengan tarbiyah dan keteladanan yang benar.
Sementara, ilmu dan pemahaman seseorang akan lurus dan benar jika pengajaran ilmiah kepadanya dilakukan dengan benar berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah sesuai pemahaman para Salafush-Shalih, melalui tangan-tangan atau sumber-sumber pengajaran yang benar pula.
Apabila seseorang mempelajari Islam melalui tangan ahli bid’ah, orang-orang menyimpang, orang-orang Barat kafir, atau sumber-sumber lain yang salah pemahamannya terhadap Islam, tentu hasilnyapun adalah ilmu serta pemahaman yang menyimpang dan sesat. Itulah pentingnya proses tashfiyah.
Karena itu setiap orang tua mempunyai peranan penting dalam proses tashfiyah dan tarbiyah ini.
Demikianlah beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan ayah bunda dalam mengasuh anak-anaknya.
Selanjutnya, yang juga tidak kalah pentingnya untuk dilakukan orang tua adalah berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala agar upayanya mengasuh anak-anaknya sukses dan benar-benar menjadi anak-anak yang shaleh dan shalehah. Wallâhu al-Muwaffiq.
Daftar bacaan:
1. Tafsir ath-Thabari, Dhabth wa Ta’lîq : Mahmûd Syâkir, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-’Arabi, Beirut, cet. I – 1421 H/2001 M.
2. Fathul-Bâri Syarh Shahîhil-Bukhâri, Ibnu Hajar al-’Asqalâni.
3. Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq : Khalîl Ma’mûn Syiha.
4. Al-Asâlîb at-Tarbawiyyah ‘Inda Syaikhi al-Islam Ibni Taimiyyah, karya Khatthâb bin Ya’qûb as-Sa’di, penerbit; ad-Dâr al-Atsariyah, Amman, Yordan, cet. I – 1429 H/2008 M.
5. Miftah Dâr as-Sa’âdah karya Imam Ibnu al-Qayyim, Ta’lîq, taqdîm dan Takhrîj : Syaikh Ali Hasan al-Halabi, Murâja’ah; Syaikh Bakar Abu Zaid t , Dâr Ibnu al-Qayyim, Riyâdh – Dâr Ibnu ‘Affân, Kairo, cet. I – 1425 H/2004 M
6. Nida’ Ila al-Murabbîn wa al-Murabiyât, Muhammad bin Jamîl Zainu.
7. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruha fi Isti’nâf al-Hayat al-Islamiyah, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi. Penerbit: Dâr at-Tauhid, Riyâdh, KSA. Cet. II, 1414 H.
Wallahu a'lam bish-shawab
Sumber : Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin
[1] Lihat Fathul-Bâri, Kitab al-Janâiz III/219, hadits no. 1358, 1359, dan Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq : Khalîl Ma’mûn Syiha, XVI/423 dst. Hadits no. 6697.
[2] Lihat Fathul-Bâri, Kitab al-Jumu’ah, II/380, hadits no. 893. Hadits senada juga dkeluarkan oleh Imam Muslim. Lihat Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq : Khalîl Ma’mûn Syiha, XII/417, hadits no. 4701.
[3] Lihat Tafsir ath-Thabari, Surat al-Baqarah : 133, I/650, Dhabth wa Ta’lîq : Mahmûd Syâkir, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-’Arabi, Beirut, cet. I – 1421 H/2001 M]
[4] Lihat Syaikh Muhammad bin Jamîl Zainu dalam kutaibnya: Nidâ‘ Ilâ al-Murabbîn wa al-Murabiyât, hal. 24.
[5] Lihat al-Asâlîb at-Tarbawiyyah ‘Inda Syaikhil-Islâm Ibni Taimiyyah, karya Khatthâb bin Ya’qûb as-Sa’di, penerbit; ad-Dâr al-Atsariyah, Ammân, Yordan, cet. I – 1429 H/2008 M, hal. 9, Khulâshah ad-Dirâsah.
[6] Ibid.
[7] Lihat Miftâh Dâr as-Sa’âdah karya Imam Ibnu al-Qayyim, Ta’lîq, taqdîm dan Takhrîj : Syaikh Ali Hasan al-Halabi, Murâja’ah; Syaikh Bakar Abu Zaid t , I/195 Fashl 4 Madâr al-Imân wa Qâ‘idatuhu, Dâr Ibnu al-Qayyim, Riyâdh – Dâr Ibnu ‘Affân, Kairo, cet. I – 1425 H/2004 M dengan sedikit ringkas dan bahasa bebas.
[8] Lihat Miftâh Dâr as-Sa’âdah karya Imam Ibnu al-Qayyim, hal. 196.]
[9] Lihat Miftâh Dâr as-Sa’âdah karya Imam Ibnu al-Qayyim, hal. 196.
[10] Lihat Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi dalam kitabnya : At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruha fi Isti’nâf al-Hayat al-Islâmiyah. Penerbit: Dâr at-Tauhid, Riyâdh, KSA. Cet. II, 1414 H. Hal 109.]