DUNIA PENGOBATAN UMUM
Dunia pengobatan semenjak dulu selalu berjalan seiring dengan kehidupan manusia. Karena,sebagai makhluk hidup, manusia amatlah akrab dengan berbagai macam penyakit ringan maupun berat. Keinginan untuk berlepas diri dari berbagai penyakit itulah yang mendorong manusia berupaya menyingkap berbagai metode pengobatan, mulai dari mengkonsumsi berbagai jenis tumbuhan secara tunggal maupun yang sudah terkontaminasi, yang diyakini berkhasiat menyembuhkan penyakit tertentu, atau sistem pemijatan, akupuntur, pembekaman hingga operasi dan pembedahan.
Namun seiring dengan perkembangan peradaban manusia, budaya konsumerisme dan materialisme menggiring manusia mengkonsumsi berbagai jenis makanan yang dianggap praktis, lezat dan penuh variasi. Sayangnya kebanyakan mereka tidak menyadari bahwa produksi makanan semacam itu seringkali terpaksa menggunakan berbagai jenis bahan kimia berbahaya, seperti borax, formalin, Rhodamin B dan Metanil Yellow (bahan pewarna sintetis), antibiotik kloramfenikol, dietilpirokarbonat, dulsin, nitrofurazon dan berbagai bahan kimia yang amat merusak kesehatan. Orang yang sudah banyak mengkonsumsi berbagai jenis makanan berkomposisi kimia menjadi sering terserang penyakit komplikasi yang beragam. Sehingga obat-obatan yang diperlukan juga obat-obatan berkomposisi kimia berat.
Bukan rahasia lagi, pengobatan dengan bahan kimia sintetis (pengobatan barat/modern) mungkin dapat mengobati suatu penyakit, tetapi dapat juga menimbulkan penyakit bawaan yang lain sebagai bentuk side effect buruk dari sifat bahan kimia. Satu penyakit dapat disembuhkan tetapi dapat muncul penyakit lain. Jadilah lingkaran setan yang tidak ada habisnya dalam dunia pengobatan modern. Ternyata mahalnya obat kimia sintetis bukan jaminan kesembuhan.
PENGOBATAN ILAHIYAH DAN MISYKAT NUBUWAH
Teknologi medis boleh saja merambati modernisasi dan shopisticasi yang sulit diukur. Namun perkembangan jenis penyakit juga tidak kalah cepat beregenerasi. Sementara banyak manusia yang tidak menyadari bahwa Allah Subhanhu Wa Ta'ala tidak pernah menciptakan manusia dengan ditinggalkan begitu saja. Setiap kali penyakit muncul, pasti Allah Subhanhu Wa Ta'ala juga menciptakan obatnya.
Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: “Tidaklah Allah Subhanhu Wa Ta'ala menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia turunkan penyembuhnya.” (HR. Al-Bukhari dan Ibnu Majah) Hanya saja ada manusia yang mengetahuinya dan ada yang tidak mengetahuinya. Kenyataan lain yang harus disadari oleh manusia, bahwa apabila Allah Subhanhu Wa Ta'ala secara tegas memberikan petunjuk pengobatan, maka petunjuk pengobatan itu sudah pasti lebih bersifat pasti dan bernilai absolut. Dan memang demikianlah kenyataannya. Islam yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bukan saja memberi petunjuk tentang perikehidupan dan tata cara ibadah kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala secara khusus yang akan membawa keselamatan dunia dan akhirat, tetapi juga memberikan banyak petunjuk praktis dan formula umum yang dapat digunakan untuk menjaga keselamatan lahir dan batin, termasuk yang berkaitan dengan terapi atau pengobatan.
Petunjuk praktis dan kaidah medis tersebut banyak sekali didemonstrasikan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan diajarkan kepada para sahabatnya. Bila kesemua formula dan kaidah praktis itu dipelajari secara seksama, tidak syak lagi bahwa kaum Muslimin dapat mengembangkannya menjadi sebuah sistem dan metode pengobatan yang tidak ada duanya. Disitulah akan terlihat korelasi yang erat antara sistem pengobatan Ilahi dengan sistem pengobatan manusia. Karena Allah Subhanhu Wa Ta'ala telah menegaskan: “Telah diciptakan bagi kalian semua segala apa yang ada di muka bumi ini.”
Ilmu pengobatan berikut segala media dan materinya, termasuk yang diciptakan oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala untuk kepentingan umat manusia. Camkanlah! Islam adalah agama yang sempurna, yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bukan hanya kepada orang sehat tapi juga kepada orang yang sakit, maka syariatnya juga disediakan.
Untuk itu seyogyanya kaum Muslimin menghidupkan kembali kepercayaan terhadap berbagai jenis obat dan metode pengobatan yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai metode terbaik untuk mengatasi berbagai macam penyakit.
Namun tentu semua jenis pengobatan dan obat-obatan tersebut hanya terasa khasiatnya bila disertai dengan sugesti dan keyakinan. Karena-demikian dinyatakan Ibnul Qayyim-keyakinan adalah doa. Bila pengobatan manusia mengenal istilah placebo (semacam penanaman sugesti lalu memberikan obat netral yang sebenarnya bukan obat dari penyakit yang dideritanya), maka Islam mengenal istilah doa dan keyakinan. Dengan pengobatan yang tepat, dosis yang sesuai disertai doa dan keyakinan, tidak ada penyakit yang tidak bisa diobati, kecuali penyakit yang membawa kematian. Jabir RA membawakan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: “Setiap penyakit ada obatnya. Maka bila obat itu mengenai penyakit akan sembuh dengan izin Allah Subhanhu Wa Ta'ala.” (HR. Muslim)
Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih sarat dengan beragam penyembuhan dan obat yang bermanfaat dengan izin Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Sehingga mestinya kita tidak terlebih dahulu berpaling dan meninggalkannya untuk beralih kepada pengobatan kimiawi yang ada di masa sekarang.
Karena itulah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata: “Sungguh para tabib telah sepakat bahwa ketika memungkinkan pengobatan dengan bahan makanan maka jangan beralih kepada obat-obatan kimiawi. Ketika memungkinkan mengkonsumsi obat yang sederhana, maka jangan beralih memakai obat yang kompleks. Mereka mengatakan: ‘Setiap penyakit yang bisa ditolak dengan makanan-makanan tertentu dan pencegahan, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan kimiawi’.”
Ibnul Qayyim juga berkata: “Berpalingnya manusia dari cara pengobatan nubuwwah seperti halnya berpalingnya mereka dari pengobatan dengan Al-Qur`an, yang merupakan obat bermanfaat.” Dengan demikian, tidak sepantasnya seorang muslim menjadikan pengobatan nabawiyyah sekedar sebagai pengobatan alternatif. Justru sepantasnya dia menjadikannya sebagai cara pengobatan yang utama, karena kepastiannya datang dari Allah Subhanhu Wa Ta'ala lewat lisan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Sementara pengobatan dengan obat-obatan kimiawi (pengobatan cara barat) kepastiannya tidak seperti kepastian yang didapatkan dengan thibbun nabawi. Pengobatan yang diajarkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam diyakini kesembuhannya karena bersumber dari wahyu. Sementara pengobatan dari selain Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kebanyakannya dugaan atau dengan pengalaman / uji coba.
Ibnul Qayyim berkata: “Pengobatan ala-Nabi tidak seperti layaknya pengobatan para ahli medis. Pengobatan ala-Nabi dapat diyakini dan bersifat pasti (qath’i), bernuansi ilahy, berasal dari wahyu dan misykat nubuwah serta kesempurnaan akal. Namun tentunya, berkaitan dengan kesembuhan suatu penyakit, seorang hamba tidak boleh bersandar semata dengan pengobatan tertentu, dan tidak boleh meyakini bahwa obatlah yang menyembuhkan sakitnya. Seharusnya ia bersandar dan bergantung kepada Dzat yang memberikan penyakit dan menurunkan obatnya sekaligus, yakni Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Seorang hamba hendaknya selalu bersandar kepada-Nya dalam segala keadaannya. Hendaknya ia selalu berdoa memohon kepada- Nya agar menghilangkan segala kemudharatan yang tengah menimpanya.
THIBBUN NABAWI
Shahabat yang mulia Abu Sa‘id Al-Khudri rahimahullahu berkata:
“Sejumlah shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi dalam sebuah safar (perjalanan) yang mereka tempuh, hingga mereka singgah di sebuah kampung Arab. Mereka kemudian meminta penduduk kampung tersebut agar menjamu mereka, namun penduduk kampung itu menolak. Tak lama setelah itu, kepala suku dari kampung tersebut tersengat binatang berbisa. Penduduknya pun mengupayakan segala cara pengobatan, namun tidak sedikit pun yang memberikan manfaat untuk kesembuhan pemimpin mereka. Sebagian mereka berkata kepada yang lain: “Seandainya kalian mendatangi rombongan yang tadi singgah di tempat kalian, mungkin saja ada di antara mereka punya obat (yang bisa menghilangkan sakit yang diderita pemimpin kita).” Penduduk kampung itu pun mendatangi rombongan shahabat Rasulullah yang tengah beristirahat tersebut, seraya berkata:
“Wahai sekelompok orang, pemimpin kami disengat binatang berbisa. Kami telah mengupayakan berbagai cara untuk menyembuhkan sakitnya, namun tidak satu pun yang bermanfaat. Apakah salah seorang dari kalian ada yang memiliki obat?” Salah seorang shahabat berkata: “Iya, demi Allah, aku bisa meruqyah. Akan tetapi, demi Allah, tadi kami minta dijamu namun kalian enggan untuk menjamu kami. Maka aku tidak akan melakukan ruqyah untuk kalian hingga kalian bersedia memberikan imbalan kepada kami.”
Mereka pun bersepakat untuk memberikan sekawanan kambing sebagai upah dari ruqyah yang akan dilakukan. Shahabat itu pun pergi untuk meruqyah pemimpin kampung tersebut. Mulailah ia meniup disertai sedikit meludah dan membaca: “Alhamdulillah rabbil ‘alamin” (Surah Al-Fatihah). Sampai akhirnya pemimpin tersebut seakanakan terlepas dari ikatan yang mengekangnya. Ia pun pergi berjalan, tidak ada lagi rasa sakit (yang membuatnya membolak-balikkan tubuhnya di tempat tidur). Penduduk kampung itu lalu memberikan imbalan sebagaimana telah disepakati sebelumnya. Sebagian shahabat berkata: “Bagilah kambing itu.” Namun shahabat yang meruqyah berkata: “Jangan kita lakukan hal itu, sampai kita menghadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, lalu kita ceritakan kejadiannya, dan kita tunggu apa yang beliau perintahkan.”
Mereka pun menghadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, lalu mengisahkan apa yang telah terjadi. Beliau bertanya kepada shahabat yang melakukan ruqyah: “Dari mana engkau tahu bahwa Al-Fatihah itu bisa dibaca untuk meruqyah? Kalian benar, bagilah kambing itu dan berikanlah bagian untukku bersama kalian.”
Hadits di atas diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahih-nya no. 5749, kitab Ath-Thibb, bab An-Nafats fir Ruqyah. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya no. 5697 kitab As-Salam, bab Jawazu Akhdzil Ujrah ‘alar Ruqyah.
Beberapa faedah yang dapat kita ambil dari hadits Abu Sa‘id Al-Khudri radhiallahu 'anhu diatas adalah:
1. Surah Al-Fatihah mustahab untuk dibacakan kepada orang yang disengat binatang berbisa dan orang sakit.
2. Boleh mengambil upah dari ruqyah dan upah itu halal.
3. Seluruh kambing itu sebenarnya milik orang yang meruqyah, adapun yang lainnya tidak memiliki hak, namun dibagikannya kepada teman-temannya karena kedermawanan dan kebaikan.
4. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam minta bagian dalam rangka lebih menenangkan hati para shahabatnya dan untuk lebih menunjukkan bahwa upah yang didapatkan tersebut halal, tidak mengandung syubhat.
Demikian faedah yang disebutkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim (14/410).
Pengobatan Nabawiyyah (At-Thibbun Nabawi) Bukan Pengobatan Alternatif. Keberadaan berbagai penyakit termasuk sunnah kauniyyah yang diciptakan oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Penyakit-penyakit itu merupakan musibah dan ujian yang ditetapkan Allah Subhanhu Wa Ta'ala atas hamba-hamba-Nya. Dan sesungguhnya pada musibah itu terdapat kemanfaatan bagi kaum mukminin. Shuhaib Ar-Rumi RA berkata:
“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin. Sungguh seluruh perkaranya adalah kebaikan. Yang demikian itu tidaklah dimiliki oleh seorangpun kecuali seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kelapangan, ia bersyukur. Maka yang demikian itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar. Maka yang demikian itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999)
Termasuk keutamaan Allah Subhanhu Wa Ta'ala yang diberikan kepada kaum mukminin, Dia menjadikan sakit yang menimpa seorang mukmin sebagai penghapus dosa dan kesalahan mereka. Sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin Mas‘ud RA, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim ditimpa gangguan berupa sakit atau lainnya, melainkan Allah Subhanhu Wa Ta'ala menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5661 dan Muslim no. 6511)
Di sisi lain, sebagaimana Allah Subhanhu Wa Ta'ala menurunkan penyakit, Dia pun menurunkan obat bersama penyakit itu. Obat itupun menjadi rahmat dan keutamaan dari-Nya untuk hamba-hamba- Nya, baik yang mukmin maupun yang kafir. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah RA: “Tidaklah Allah Subhanhu Wa Ta'ala menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan untuk penyakit itu obatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5678)
Abdullah bin Mas’ud RA mengabarkan dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya Allah Subhanhu Wa Ta'ala tidaklah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan pula obatnya bersamanya. (Hanya saja) tidak mengetahui orang yang tidak mengetahuinya dan mengetahui orang yang mengetahuinya.” (HR.Ahmad 1/377, 413 dan 453. Dan hadits ini dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 451)
CARA TEKNIS PENGOBATAN NABAWI
Banyak sekali cara pengobatan nabawi. Kami hanya menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu:
1. Pengobatan dengan madu
Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman tentang madu yang keluar dari perut lebah:
“… Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (An-Nahl: 69).
Madu dapat digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit dengan izin Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Di antaranya untuk mengobati sakit perut, seperti ditunjukkan dalam hadits berikut ini: “Ada seseorang menghadap Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, ia berkata: ‘Saudaraku mengeluhkan sakit pada perutnya.’ Nabi berkata: ‘Minumkan ia madu.’ Kemudian orang itu datang untuk kedua kalinya, Nabi berkata: ‘Minumkan ia madu.’ Orang itu datang lagi pada kali yang ketiga, Nabi tetap berkata: ‘Minumkan ia madu.’ Setelah itu, orang itu datang lagi dan menyatakan: ‘Aku telah melakukannya (namun belum sembuh juga malah bertambah mencret).’ Nabi bersabda: ‘Allah Mahabenar dan perut saudaramu itu dusta. Minumkan lagi madu.’ Orang itu meminumkannya lagi, maka saudaranya pun sembuh.” (HR. Al- Bukhari no. 5684 dan Muslim no. 5731)
2. Pengobatan dengan habbah sauda` (jintan hitam, Nigella sativa)
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya habbah sauda` ini merupakan obat dari semua penyakit, kecuali dari penyakit assamu”. Aku (yakni`Aisyah radhiallahu 'anha) bertanya: “Apakah as-samu itu?” Beliau menjawab: “Kematian.” (HR. Al-Bukhari no. 5687 dan Muslim no. 5727)
3. Pengobatan dengan susu dan kencing unta.
Anas RA menceritakan: “Ada sekelompok orang ‘Urainah dari penduduk Hijaz menderita sakit (karena kelaparan atau keletihan). Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, berilah tempat kepada kami dan berilah kami makan.’ Ketika telah sehat, mereka berkata: ‘Sesungguhnya udara kota Madinah tidak cocok bagi kami (hingga kami menderita sakit, pent.).’ Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun menempatkan mereka di Harrah, di dekat tempat pemeliharaan unta-unta beliau (yang berjumlah 3-30 ekor). Beliau berkata: ‘Minumlah dari susu dan kencing unta-unta itu. Tatkala mereka telah sehat, mereka justru membunuh penggembala unta-unta Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (setelah sebelumnya mereka mencungkil matanya) dan menggiring unta-unta tersebut (dalam keadaan mereka juga murtad dari Islam, -pent.). Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun mengirim utusan untuk mengejar mereka, hingga mereka tertangkap dan diberi hukuman dengan dipotong tangan dan kaki-kaki mereka serta dicungkil mata mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 5685, 5686 dan Muslim no. 4329)
4. Pengobatan dengan berbekam (hijamah)
Ibnu ‘Abbas RA mengabarkan:
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berbekam pada bagian kepalanya dalam keadaan beliau sebagai muhrim (orang yang berihram) karena sakit pada sebagian kepalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5701)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga bersabda: “Obat/kesembuhan itu (antara lain) dalam tiga (carapengobatan): minum madu, berbekam dan dengan kay, namun aku melarang umatku dari kay.” (HR. Al-Bukhari no. 5680)
5. Ruqyah
Di antara cara pengobatan nabawi yang bermanfaat dengan izin Allah Subhanhu Wa Ta'ala adalah ruqyah yang syar’i, yang ditetapkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Ketahuilah, Allah Subhanhu Wa Ta'ala menjadikan Al-Qur`anul Karim sebagai syifa` (obat/ penyembuh) sebagaimana firman-Nya: “Dan jikalau Kami jadikan Al-Qur`an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: ‘Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?’ Apakah (patut Al-Qur`an) dalam bahasa asing, sedangkan (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: ‘Al-Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang yang beriman’.” (Fushshilat: 44)
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an apa yang merupakan syifa` dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82). Huruf dalam ayat di atas untuk menerangkan jenis, bukan menunjukkan tab‘idh (makna sebagian). Karena Al-Qur`an seluruhnya adalah syifa` dan rahmat bagi orang-orang beriman, sebagaimana dinyatakan dalam ayat sebelumnya (yaitu surat Al-Fushshilat: 44).” (Ad-Da`u wad Dawa`, hal. 7)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata ketika memberikan komentar terhadap hadits yang menyebutkan tentang wanita yang menderita ayan (epilepsi): “Dalam hadits ini ada dalil bahwa pengobatan seluruh penyakit dengan doa dan bersandar kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala adalah lebih manjur serta lebih bermanfaat daripada dengan obat-obatan. Pengaruh dan khasiatnya bagi tubuh pun lebih besar daripada pengaruh obat-obatan jasmani. Namun kemanjurannya hanyalah didapatkan dengan dua perkara: 1) dari sisi orang yang menderita sakit, yaitu lurus niat / tujuannya, 2) dari sisi orang yang mengobati, yaitu kekuatan bimbingan/arahan dan kekuatan hatinya dengan takwa dan tawakkal. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari 10/115)
Dalam hadits Abu Sa‘id Al-Khudri RA tentang ruqyah dengan surat Al-Fatihah yang dilakukan salah seorang shahabat, benar-benar terlihat pengaruh obat tersebut pada penyakit yang diderita sang pemimpin kampung. Sehingga obat itu mampu menghilangkan penyakit, seakan-akan penyakit tersebut tidak pernah ada sebelumnya. Cara seperti ini merupakan pengobatan yang paling mudah dan ringan. Seandainya seorang hamba melakukan pengobatan ruqyah dengan membaca Al- Fatihah secara bagus, niscaya ia akan melihat pengaruh yang mengagumkan dalam kesembuhan.
Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullahu berkata: “Aku pernah tinggal di Makkah selama beberapa waktu dalam keadaan tertimpa berbagai penyakit. Dan aku tidak menemukan tabib maupun obat. Aku pun mengobati diriku sendiri dengan Al-Fatihah yang dibaca berulang-ulang pada segelas air Zam-zam kemudian meminumnya, hingga aku melihat dalam pengobatan itu ada pengaruh yang mengagumkan. Lalu aku menceritakan hal itu kepada orang yang mengeluh sakit. Mereka pun melakukan pengobatan dengan Al-Fatihah, ternyata kebanyakan mereka sembuh dengan cepat.”
Subhanallah! Demikian penjelasan dan persaksian Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullahu terhadap ruqyah serta pengalaman pribadinya berobat dengan membaca Al-Fatihah. (Ad-Da`u wad Dawa` hal. 8, Ath-Thibbun Nabawi hal. 139)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata: “Sungguh Allah Subhanhu Wa Ta'ala telah menjadikan Al-Qur`an sebagai syifa` bagi penyakit-penyakit hissi (yang dapat dirasakan indera) dan maknawi berupa penyakit-penyakit hati dan badan. Namun dengan syarat, peruqyah dan yang diruqyah harus mengikhlaskan niat. Dan masing-masing meyakini bahwa kesembuhan itu datang dari sisi Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Dan ruqyah dengan Kalamullah merupakan salah satu di antara sebab-sebab yang bermanfaat.”
Beliau juga berkata: “Pengobatan dengan ruqyah Al-Qur`an merupakan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan amalan salaf. Mereka dahulu mengobati orang yang terkena ‘ain, kesurupan jin, sihir dan seluruh penyakit dengan ruqyah. Mereka meyakini bahwa ruqyah termasuk sarana yang mubah lagi bermanfaat, sementara yang menyembuhkan hanyalah Allah Subhanhu Wa Ta'ala.” (Al-Muntaqa min Fatawa Asy- Syaikh Shalih Al-Fauzan, juz 1, jawaban soal no. 77)
Thibbun Nabawi Memberi Pengaruh bagi Kesembuhan dengan Izin Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Mungkin ada di antara kita yang pernah mencoba melakukan pengobatan dengan thibbun nabawi dengan minum madu misalnya atau habbah sauda`. Atau dengan ruqyah membaca ayat-ayat Al-Qur`an dan doa-doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, namun tidak merasakan pengaruh apa-apa. Penyakitnya tak kunjung hilang. Ujung-ujungnya, kita meninggalkan thibbun nabawi karena kurang percaya akan khasiatnya, lalu beralih ke obat-obatan kimiawi. Mengapa demikian? Mengapa kita tidak mendapatkan khasiat sebagaimana yang didapatkan Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullahu ketika meruqyah dirinya dengan Al-Fatihah? Atau seperti yang dilakukan oleh seorang shahabat ketika meruqyah kepala suku yang tersengat binatang berbisa di mana usai pengobatan si kepala suku (pemimpin kampung) sembuh seakan-akan tidak pernah merasakan sakit? Di antara jawabannya, sebagaimana ucapan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu yang telah lewat, bahwasanya manjurnya ruqyah (pengobatan dengan membaca doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur`an) hanyalah diperoleh bila terpenuhi dua hal di atas.
Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullahu berkata: “Ada hal yang semestinya dipahami, yakni zikir, ayat, dan doa-doa yang dibacakan sebagai obat dan yang dibaca ketika meruqyah, memang merupakan obat yang bermanfaat. Namun dibutuhkan respon pada tempat, kuatnya semangat dan pengaruh orang yang meruqyah. Bila obat itu tidak memberi pengaruh, hal itu dikarenakan lemahnya pengaruh peruqyah, tidak adanya respon pada tempat terhadap orang yang diruqyah, atau adanya penghalang yang kuat yang mencegah khasiat obat tersebut, sebagaimana hal itu terdapat pada obat dan penyakit hissi.
Tidak adanya pengaruh obat itu bisa jadi karena tidak adanya penerimaan thabi’ah terhadap obat tersebut. Terkadang pula karena adanya penghalang yang kuat yang mencegah bekerjanya obat tersebut. Karena bila thabi’ah mengambil obat dengan penerimaan yang sempurna, niscaya manfaat yang diperoleh tubuh dari obat itu sesuai dengan penerimaan tersebut.
Demikian pula hati. Bila hati mengambil ruqyah dan doa-doa perlindungan dengan penerimaan yang sempurna, bersamaan dengan orang yang meruqyah memiliki semangat yang berpengaruh, niscaya ruqyah tersebut lebih berpengaruh dalam menghilangkan penyakit.” (Ad-Da`u wad Dawa`, hal. 8)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menyatakan, terkadang sebagian orang yang menggunakan thibbun nabawi tidak mendapatkan kesembuhan. Yang demikian itu karena adanya penghalang pada diri orang yang menggunakan pengobatan tersebut. Penghalang itu berupa lemahnya keyakinan akan kesembuhan yang diperoleh dengan obat tersebut, dan lemahnya penerimaan terhadap obat tersebut.
POSISI PENGOBATAN ALTERNATIF UMUM
Siapa bilang pengobatan alternatif ketinggalan zaman? Justru saat ini masyarakat Barat kian mempercayai pengobatan di luar studi medis tersebut. Kombinasi terapi alternatif dan terapi kedokteran mulai populer di sana. Sebuah survei baru-baru ini menyatakan bahwa orang Inggris memiliki kepercayaan pada pengobatan alternatif sama besarnya dengan pengobatan medis konvensional.
Dari 1000 orang yang mengikuti survei, 68 persennya menyatakan demikian. Usia para peserta survei berkisar antara 35-44 tahun. Jenis pengobatan alternatif yang dimaksud mencakup pengobatan herbal alias tanaman obat dan naturopati. Satu dari empat orang tersebut berpikir bahwa pengobatan ala Barat hanya salah satu cara untuk mengatasi gangguan kesehatan. Demikian hasil survei yang dilakukan Diagnostic Clinic, London. Mereka selama ini melakukan kombinasi pengobatan medis kedokteran dengan pengobatan komplementer. Hasil penelitian tersebut menyatakan terapi komplementer alias alternatif kini semakin populer dibanding di masa lalu. Dalam pengobatan alternatif, segala metode dimungkinkan, dari penggunaan obat-obat tradisional seperti jamu-jamuan, rempah, yang sudah dikenal seperti jahe, kunyit dan sebagainya, sampai bahan yang dirahasiakan. Pendekatan lain seperti menggunakan energi tertentu yang mampu mempercepat proses penyembuhan, hingga menggunakan doa tertentu yang diyakini secara spiritual memiliki kekuatan penyembuhan.
Orang Inggris menghabiskan biaya 130 poundsterling (sekitar Rp 2.230.000,-) per tahunnya untuk menjalani terapi alternatif seperti akupunktur dan refleksiologi. Berarti terjadi peningkatan bujet hingga 70 juta poundsterling atau sekitar 1,2 triliun rupiah di bidang pengobatan ini dalam empat tahun ke depan. Popularitas terapi komplementer ini bahkan membuat pemerintah Inggris mengucurkan dana sebesar 900.000 poundsterling (15,4 miliar rupiah) untuk kepentingan regulasi sejumlah praktik pengobatan alternatif.
Dr Rajendra Sharma, direktur media Diagnostic Clinic, mengatakan kepada BBC News baru-baru ini, ”Pengobatan medis ortodoks dan komplementer sebaiknya tidak berada di sisi yang berbeda di bidang kesehatan. Pengobatan terintegrasi yang didukung oleh dokter berkualitas dan para ahli di bidang disiplin ilmu bisa menjadi model pengobatan ideal di masa mendatang.”
Jenis kombinasi dari pengobatan alternatif dengan pengobatan medis kedoteran yang mulai populer adalah naturopati. Pengobatan ini dilakukan dengan pendekatan medis konvensional yang dipadukan dengan terapi alternatif. Dalam pengobatan naturopati, pasien sama sekali tidak mengonsumsi obat-obatan yang mengandung bahan kimia. Sesuai dengan namanya, naturo alias nature yang berarti alam, semua prosedur pengobatan di sini dilakukan secara alami. Obat-obatan yang dipakai 100 persen berasal dari bahan alami seperti dedaunan, suplemen nutrisi yang bias memperbaiki sistem fungsi tubuh yang rusak.
Pemilihan bahan-bahan alami berdasarkan bukti bahwa dalam setiap tumbuh-tumbuhan tersebut mengandung reseptor, struktur kimia, hormon yang sama dengan manusia. Ada suatu penelitian yang membuktikan bahwa daun-daunan mengandung zat yang sama dengan yang ada di kepala manusia. Sementara zat yang terdapat pada akar atau ranting pohon mirip dengan yang ada pada kaki dan tangan manusia.
Dalam naturopati, jika ada bagian tubuh yang rusak, maka suplemen yang diberikan akan memperbaiki luka tubuh dari dalam yang dikenal dengan sistem homilistasis. Ada sejumlah prosedur yang harus dijalani pasien, antara lain aromaterapi, spa, detoksifikasi, rejuvenasi, juga lymph drainage massage alias pemijatan untuk memperlancar aliran kelenjar getah bening. Dalam mengobati pasien autisme misalnya, pada pengobatan naturopati lebih dilakukan pendekatan secara alam, bukan pendekatan klinis yang banyak memberi obat-obatan kimia.
Di Indonesia, kedokteran naturopati memang belum ada, namun di banyak negara lain seperti AS, Inggris, Australia, Cina juga India, bidang ini menjadi spesialisasi tersendiri di universitas. Kedokteran naturopati merupakan suatu bentuk spesialisasi ilmu kedokteran dalam melakukan upaya pencegahan atau pengobatan penyakit, peningkatan taraf kesehatan tubuh serta proses rehabilitasi tubuh dengan cara meningkatkan sistem, kapasitas dan fungsi alami. Di banyak negara maju, naturopati lebih dikenal dengan lifestyle medicine, di mana pengobatan lebih ditekankan pada pola hidup seseorang, dari mulai pola makan, hingga pola aktivitas. Walau belum cukup populer di Indonesia, sesungguhnya pengobatan naturopati sendiri sudah mendapat pengakuan dari badan kesehatan dunia (WHO) sejak 1978.
Namun tidak semua ahli medis sepakat dengan Sharma. Sebagian masih keberatan apabila terapi komplementer dipadukan dengan terapi medis kedokteran. Dr Jim Kennedy, juru bicara dari Royal College of GPs memperingatkan bahwa tidak semua aspek dalam pengobatan medis bias mendukung pengobatan komplementer. Pengobatan komplementer mempunyai spektrum yang cukup luas sehingga tidak selalu bisa dibuktikan seperti halnya dalam terapi medis konvensional.
”Tapi sejauh dokter mengetahui bahwa pengobatan alternatif yang dijalani pasiennya tidak mengganggu kesehatan dan cukup bermanfaat, tentu masih dibenarkan,” jelas Kennedy. Kendati masyarakat Inggris mulai mempercayai pengobatan alternatif, tak selalu perpaduan antara jenis terapi konvensional dengan alternatif dibenarkan begitu saja. British Medical Association (BMA) setuju bahwa tidak semua pengobatan alternatif bisa dipercaya 100 persen keandalannya.
Terutama sejumlah pengobatan komplementer yang masih belum bisa dijelaskan track record medisnya. Dalam menjalani suatu pengobatan, biasanya pasien dan dokter sama-sama bias mengetahui apa yang terjadi dalam tubuh si pasien, apa dampaknya, dan bagaimana terapi medisnya. Inilah yang kadang dalam pengobatan alternatif tidak diketahui secara transparan.
Sumber: KOMUNITAS THIBBUN NABAWI ‘ISYFI’. Bekam Pengobatan Menurut Sunnah Nabi. Drs. Kasmui, M.Si ." Dikutip dan Update oleh situs Dakwah Syariah.