Dzakah pada asalnya berarti at-tathayub mengenakan wangi-wangian. Dari sanalah timbul istilah ra-ihah dzakiyah yaitu bau harum. Penyembelihan disebut dzakah karena ibahah syar’iyah (pemubahan secara syar’i) dapat menjadikan binatang yang disembelih itu menjadi baik.
Yang dimaksud disini ialah penyembelihan binatang secara syar’i, karena sesungguhnya hewan yang halal dimakan tidak boleh dimakan sedikit pun darinya kecuali disembelih terlebih dahulu, terkecuali ikan dan belalang.
2. ORANG YANG BINATANG SEMBELIHANNYA HALAL (UNTUK DIMAKAN)
Sembelihan setiap muslim dan ahli kitab, baik laki-laki maupun perempuan halal hukumnya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu.” (QS al-Maaidah: 5).
Imam Bukhari berkata bahwa Ibnu Abbas mengatakan, “Makanan mereka (artinya) sembelihan mereka.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2528 dan Fathul Bari IX: 636).
Dari Ka’ab bin Malik ra bahwa ada seorang perempuan menyembelih seekor kambing dengan batu (tajam), lalu Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya tentang (penyembelihan) itu, maka Beliau menyuruh memakannya. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2527 dan Fathul Bari IX: 632 no: 5504).
3. ALAT MENYEMBELIH
Menyembelih boleh dengan segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah, selain gigi dan tulang.
Dari Abayah bin Rifa’ah dari kakeknya bahwa ia bertutur, “Ya Rasulullah, kami tidak memiliki pisau sembelih.” Kemudian Beliau bersabda, “Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah (waktu menyembelihnya), maka makanlah. Selain kuku dan gigi. Adapun kuku adalah alat sembelih orang-orang kafir Habasyah, sedangkan gigi adalah tulang.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IX: 631 no: 5503, Muslim III: 1558 no: 1986, ‘Aunul Ma’bud VIII: 17 no: 2804, Tirmidzi III: 25 no: 1522, Nasa’I VII: 226 dan Ibnu Majah II: 1061 no: 3178).
Dari Syaddad bin Aus ra ia bertutur: Ada dua hal yang kuhafal dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam , yaitu Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan (atas kita) berbuat baik kepada segala sesuatu. Oleh karena itu, apabila kamu hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik; dan apabila kamu hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik pula, dan hendaklah seorang di antara kamu mengasah (menajamkan) parangnya lalu percepatlah (jalannya pisau ketika menyembelih) binatang sembelihannya!” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2540, Muslim III: 1548 no: 1955, Tirmidzi II: 431 no: 1430, ‘Aunul Ma’bud VIII: 10 no: 2797, Nasa’i VII: 227 dan Ibnu Majah II: 1058 no: 3170).
4. CARA MENYEMBELIH
Hewan terbagi dua: yaitu hewan yang dapat disembelih dan hewan yang tidak dapat disembelih. Adapun binatang yang gampang disembelih, maka tempat penyembelihannya adalah pada tenggorokan dan di bawah leher, sedangkan hewan yang tidak bisa disembelih, maka cara menyembelihnya adalah dengan jalan menikam lehernya tatkala mampu menguasainya.
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Penyembelihan adalah di tenggorokan dan di pangkal leher.”
Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Anas ra, berkata, ”Apabila kepala terputus, maka tidak jadi masalah.”
Dari Rafi’ bin Khadij ra bahwa ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya besok kami akan berhadapan dengan musuh, sedangkan kami tidak mempunyai senjata tajam. Maka sabda Beliau, “Segeralah sembelih, segala sesuatu yang bisa mengalirkan darah dan disebut nama Allah (pada waktu menyembelihnya), maka makanlah, selain gigi dan kuku. Dan saya akan menguraikan kepadamu, adapun gigi, ia adalah tulang, sedangkan kuku adalah alat sembelih orang-orang Habasyah.” Dan, kami mendapatkan rampasan perang berupa unta dan kambing. Kemudian ada unta yang kabur, lalu dipanah oleh seseorang hingga ia berhasil menangkapnya. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara unta-unta ini ada yang liar seperti liarnya binatang buas. Maka jika di antara mereka ada yang sempat membuat kamu kerepotan, maka lakukanlah begini kepadanya (yaitu panahlah di lehernya, atau bunuhlah kemudian makanlah).” (Shahihul Jami’ no: 2185).
5. SEMBELIHAN JANIN
Apabila ada janin keluar dari perut induknya dalam keadaan hidup, maka ia harus disembelih. Namun manakala ia lahir dari perut induknya yang disembelih itu dalam keadaan mati, maka menyembelih induknya itu berarti juga sebagai sembelihan baginya.
Dari Abu Su’aid ra, ia berkata: Kami pernah bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam perihal janin hewan, maka sabda Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, “Makanlah ia, kalau kalian mau; karena sesungguhnya penyembelihannya adalah menyembelih induknya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 2451 dan ’Aunul Ma’bud VIII: 26 no: 2811).
6. MENYEBUT NAMA ALLAH KETIKA MENYEMBELIH
Menyebut nama Allah ketika menyembelih binatang adalah syarat halalnya binatang sembelihan; karena barangsiapa yang sengaja tidak menyebut nama Allah pada waktu menyembelih binatang, maka binatang tersebut tidak halal. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (QS al-An’aam: 118).
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS al-An’aam: 121).
Dari Rafi’ bin Khadij bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepadanya, “Apa saja yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah (atasnya), maka makanlah (ia).”
7. MENGHADAPKAN BINATANG SEMBELIHAN KE ARAH KIBLAT (KETIKA MENYEMBELIH)
Dianjurkan menghadapkan binatang yang akan disembelih ke arah Kiblat dan mengucapkan dzikir sebagai yang Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam contohkan dalam hadits berikut ini:
Dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata, “Pada hari penyembelihan, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menyembelih dua ekor kambing kibasy yang bertanduk, yang berwarna putih campur hitam dan dikebiri. Tatkala Beliau menghadapkan keduanya (ke arah kiblat), Beliau mengucapkan , ’INNII WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATHARAS SAMAAWAATI WAL ARDHA ’ALAA MILLATI IBRAAHIIMA HANIIFAWWA MAA ANA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHALAATI WA NUSUKI WA MAHYAAYA WA MAMAATII LILLAAHI RABBIL ’ALAMIN LAA SYARIIKA LAHUU WA BIDZAALIKA UMIRTU WA ANA MINAL MUSLIMIIN. ALLAAHUMMA MINKA WA LAKA ’AN MUHAMMADIW WA UMMATIHII, BISMILLAHI WALLAHU AKBAR' (Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Dia yang telah menciptakan langit dan bumi, di atas tuntunan agama Ibrahim yang lurus dan saya tidaklah termasuk kaum musyrikin. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku untuk Allah Rabbil ’Alamin yang tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang aku perintahkan dan saya termasuk kaum muslimin. Ya Allah, dari-Mu dan hanya untuk-Mu dari Muhammad dan ummatnya; dengan menyebut (nama) Allah, dan Allah Maha Besar). Kemudian Beliau mulai menyembelih.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 2425, ’Aunul Ma’bud VII: 496 no: 2778).
(Hadits ini didhaifkan oleh al-Albani dalam penelitian beliau yang terakhir, lihat Dha’if Sunan Abu Dawud no. 2795, cetakan "Maktabatul Ma’arif Riyadh", tahun 1419 H-1998 M, pengoreksi)
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil