“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS al-A’aam: 119).
Allah Subhanahu Wa Ta'ala sudah menjelaskan kepada apa yang Dia haramkan atas kita dengan perincian yang jelas dan menerangkannya kepada kita dengan uraian yang sempurna, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging (hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.” (QS al-Maaidah: 3).
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS al-An’aam: 121).
“Katakanlah, Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS al-An’aam: 145).
Firman-Nya lagi:
“Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam keadaan ihram.” (QS al-Maaidah: 96)
SESUATU YANG HUKUMNYA DISAMAKAN DENGAN BANGKAI
Dipersamakan dengan bangkai dalam hal keharamannya, yaitu apa (bagian tubuh) yang dipotong dari binatang ternak yang masih hidup, berdasarkan hadits Abu Waqid al-Laitsi, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Bagian tubuh yang dipotong dari binatang ternak yang berada dalam keadaan hidup adalah bangkai.” (Shahih: Ibnu Majah no. 2606, Ibnu Majah II hal. 1072 no. 3216, ’Aunul Ma’bud VIII hal. 60 no. 2841).
YANG DIKECUALIKAN DARI BANGKAI DAN DARAH
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Telah dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai ialah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah ialah limpa dan hati.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 210 dan ash-Shahihah no: 1118).
HARAM MAKAN KELEDAI JINAK (PIARAAN)
Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seseorang datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu berkata, “Keledai-keledai telah dimakan.” Kemudian orang (lain) datang kepada Beliau, lalu berkata, “Keledai-keledai telah dimakan.” Kemudian orang (lain lagi) datang kepada Beliau, lalu berkata, ”Keledai-keledai telah dimakan.” Kemudian Beliau menyuruh seseorang agar berseru di tengah-tengah para sahabat, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mencegah kalian dari (memakan) daging keledai peliharaan; karena sesungguhnya ia kotor.” Kemudian periuk-periuk yang penuh daging mendidih ditumpahkan. (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IX: 653 no: 5528, Muslim III: 1540 no: 35 dan 1940).
HARAM MAKAN SETIAP BINATANG BUAS YANG BERTARING DAN SETIAP BURUNG YANG BERCAKAR
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melarang setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang bercakar.” (Shahih: Mukhtashar Muslim nno: 1332, Muslim III: 1534 no: 1934, ’Aunul Ma’bud X: 277 no: 3785, Nasa’i VII: 206 dengan tambahan NAHAA YAUMA KHAIBAR (=Beliau melarang(nya) pada perang Khaibar).
PENGAHARAMAn JALLALAH
Jallalah ialah hewan yang mayoritas makanan utamanya adalah barang yang najis, sehingga haram dimakan, haram diminum susunya, dan haram dikendarai:
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melarang daging jallalah dan susunya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2582, Ibnu Majah II: 1064 no: 3189, ’Aunul Ma’bud X: 258 no: 3767, Tirmidzi III: 175 no: 1884).
Darinya (Ibnu Umar) ra, katanya: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam telah melarang jallalah dari kalangan unta, yaitu (tidak boleh) menunggangnya atau meminum susunya.” (Hasan Shahih: Shahih Abu Daud no: 3217 dan ’Aunul Ma’bud X: 260 no: 3769).
KAPAN JALLALAH KEMBALI HALAL
Jika binatang yang terkategori jallalah ditahan selama tiga (hari), lalu diberi makanan pokoknya barang bersih, maka boleh disembelih dan halal lagi dimakan.
Dari Ibnu Umar ra bahwa ia pernah menahan seekor ayam betina yang termasuk jallalah selama tiga (bulan). (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2504 dan Ibnu Abi Syaibah VIII: 147 no: 4660).
SEGALA YANG HARAM MENJADI MUBAH KETIKA TERPAKSA
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” (QS al-Baqarah: 173).
Firman-Nya lagi:
“Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” (QS al-Maaidah: 3).
Ibnu Katsir ra dalam Kitab tafsirnya II: 14, memberi komentar sebagai berikut, “Yaitu barangsiapa yang amat sangat membutuhkan memakan sesuatu yang berasal dari barang-barang yang haram yang telah dikemukakan Allah ta’ala ini karena darurat, maka ia boleh memakannya, dan Allah akan mengampuni dan menyayanginya. Sebab Dia mengetahui kebutuhan hamba-Nya yang berada dalam keadaan terjepit dan amat sangat membutuhkan barang tersebut. Jadi Dia akan mengampuni dosa orang yang memakan barang yang haram karena terpaksa itu.
Dalam al-Musnad dan Shahih Ibnu Hibban disebutkan:
Dari Ibnu ra secara marfu’ bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah senang rukhshah-Nya dilaksanakan sebagaimana Dia benci perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 1896, al-Fathur Rabbani II: 108 dan Irwa-ul Ghalil III: 9 no: 504).
Oleh karena itu, para ahli fiqih berkata, “Terkadang makan bangkai itu menjadi satu kewajiban pada sebagian keadaan, yaitu manakala seseorang merasa khawatir dirinya celaka, dan ia tidak mendapatkan makanan yang lain. Kadang-kadang hukumnya mandub, sunnah, dan kadang-kadang juga mubah; tergantung situasi dan kondisinya.”
Namun mereka berbeda pendapat, apakah orang yang terpaksa itu boleh memakannya sekedar untuk bertahan hidup, atau memakannya sampai kenyang, atau sampai merasa puas? Dalam hal ini ada beberapa pendapat sebagaimana yang telah dipaparkan di dalam kitab fiqih mengenai hukum tersebut.
Lebih jauh Ibnu Katsir ra menegaskan, “Dan, tidak termasuk syarat bolehnya makan bangkai, manakala seseorang tidak mendapatkan makanan selama tiga hari, sebagaimana yang diduga oleh mayoritas orang awam dan selain mereka. Bahkan kapan saja ia terpaksa memakannya, maka ia boleh memakannya.”
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil