Hakikat dari keberkahan adalah kebaikan yang senantiasa ada, kontinu, melimpah dan semakin bertambah. Dan semua kebaikan baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala -sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada bahasan pendahuluan-. Karena itu, keberkahan tidak boleh diharapkan dan diminta kecuali hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, atau boleh juga melalui segala sesuatu yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala titipkan suatu keberkahan kepadanya, yang tentunya dengan cara yang sesuai dengan syariat (masyruu’). Dan dzikrullaah (dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) merupakan salah satu sarana dalam mencari keberkah-an dari-Nya.
Dzikir (mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala) dapat dilakukan dengan hati (bil qalbi), dan dapat pula dengan lisan (bil lisaan). Namun yang terbaik (al-afdhal) adalah dengan hati dan lisan sekaligus [1], tetapi jika dibatasi pilihannya hanya pada salah satu dari keduanya, maka dengan hatilah yang lebih utama (afdhal)[2] , karena dzikir hati (dzikrul Qalbi) akan membuahkan pengetahuan (ma’rifah) dan membang-kitkan rasa cinta (al-mahabbah) dan rasa malu (al-hayaa’), melahir-kan rasa takut (makaafah) serta menghadirkan rasa pengawasan (muraaqabah) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.[3]
Macam-Macam Dzikir
Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya, al-Waabilush Shayyib menyebutkan tentang jenis-jenis dzikir, bahwa dzikir itu terbagi dua macam, yaitu:
Pertama : Menyebut Nama-Nama, Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyanjung-Nya dengan menggunakan Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut, juga mensucikan-Nya dari segala dari segala hal yang tidak layak untuk disandarkan kepada-Nya. Dan hal ini pun terbagi lagi menjadi dua:
1. Melakukan puji-pujian terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyebut Nama-Nama maupun Sifat-Sifat-Nya.
Bagian inilah yang sering diterangkan dalam hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti, سُبْحَانَ اللهُ، وَالْحَمْدُ للهِ، وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ dan سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ serta لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ atau yang lainnya.
Dan yang terbaik (afdhal) dalam bagian ini serta mencakup segala pujian, adalah سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ خَلْقِهِ. Ini lebih utama (afdhal) dari sekedar سُبْحَانَ اللهُ. Sebagaimana jika engkau mengucapkan, “الْحَمْدُ للهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَعَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الأَرْضِى وَعَدَدَ مَا بَيْنَهُمَا، وَعَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ” lebih utama (afdhal) dari sekedar “الْحَمْدُ للهِ”. Beliau menguatkan pendapat ini dengan menyebutkan beberapa hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Informasi [4] tentang Allah Tabaaraka wa Ta‘aalaa dengan berbagai kaidah Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang sempurna.
Seperti, bahwa Allah Subhanhu Wa Ta'ala mendengar suara-suara hamba-Nya, melihat gerak-gerik mereka, tidak ada sesuatu pun dari amal mereka yang tersembunyi, Dia Mahapenyayang kepada mereka, lebih dari orang tua mereka dan bahwa Dia Mahakuasa atas segala se-suatu, dan yang lainnya.
Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah melanjutkan: “Dan (cara) yang terbaik dari jenis ini, yaitu pujian kepada-Nya dengan pujian yang Dia gunakan dalam memuji Diri-Nya sendiri, dan dengan pujian yang Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam gunakan dalam memuji-Nya tanpa tahriif (menyimpangkan makna dari Nama dan Sifat-Nya), tanpa ta’thiil (meniadakan Sifat-Sifat-Nya), tanpa tasybiih (menye-rupakan Zat dan Sifat-Nya dengan zat dan sifat makhluk-Nya) dan tanpa tamtsiil (menyamai Zat dan Sifat-Nya dengan zat dan sifat makhluk-Nya).
Lalu beliau menyebutkan beberapa jenis yang lain lagi, dan berkata:
Kedua, menyebut dan mengingat perintah, larangan dan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jenis ini pun terklasifikasi menjadi dua macam:
1. Menyebut dan mengingat hal-hal tersebut sebagai informasi dan pemberitahuan dari-Nya, bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan hal ini, melarang hal itu, suka pada hal ini, murka pada hal itu, serta ridha terhadap hal yang demikian.
2. Menyebut dan mengingat perintah-Nya kemudian bersegera merealisasikannya, atau menyebut dan mengingat larangan-Nya kemudian bersegera menjauhkan diri darinya.
Beliau melanjutkan: “Dan termasuk dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan menyebut-nyebut karunia dan nikmat-Nya, kebaikan-Nya, bantuan-Nya dan segala pemberian-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Maka, semuanya ada lima macam dzikir.”[5]
Kesimpulannya adalah, berdzikir kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala terbagi menjadi: Menyebut Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya Ta‘ala, yang sengaja digunakan untuk berdzikir maupun yang bersifat pengkabaran. Dan mengingat perintah dan larangan-Nya beserta hukum-hukum-Nya, baik yang bersifat ucapan (qaulan) maupun prakteknya (‘amalan), dan menyebut-nyebut nikmat-nikmat-Nya dan kebaikan-kebaikan-Nya kepada makhluk-Nya.
Maka, dibolehkan mencari berkah dengan dua dzikir yang tersebut di atas tadi, dengan jenis-jenis dan macam-macamnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk kepada kita agar membaca dzikir dan wirid-wirid yang disyariatkan baik yang umum maupun khusus, dan terikat oleh tempat, waktu maupun keada-an, seperti dzikir yang disyariatkan dalam shalat, sesudah adzan, haji dan berbagai ibadah lain, juga seperti dzikir-dzikir siang dan malam yang telah masyhur, contohnya dzikir pagi dan sore, saat tidur, mengendarai kendaraan, saat berpakaian, dan selainnya. Begitu pun pada saat tertentu dan kondisi-kondisi tertentu yang berbeda-beda serta pada seluruh keadaan seorang Muslim.
Lafazh dzikir tertera dan termaktub dalam buku-buku Sunnah, dan sebagian ulama telah memisahkan pembahasan dzikir tersebut dalam buku yang tersendiri. Yang paling populer dan terbaik adalah kitab al-Adzkaar yang ditulis oleh Imam Nawawi rahimahullah. Adapun hukum berdzikir tersebut adalah beragam, ada yang wajib seperti dzikir-dzikir shalat, contohnya tasbih saat ruku’ dan sujud, serta selainnya. Begitu juga ada yang Sunnah, kelompok inilah yang terbanyak dari yang sebelumnya.
Menyebut Nama-Nama Allah Ta‘ala Adalah Salah Satu Bentuk Dzikir
Termasuk dalam kategori dzikir adalah menyebut Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala saat akan berbicara dan bekerja. Tasmiyyah (mengucapkan بِسْمِ اللهِ) ini disunnahkan di awal setiap perkataan maupun perbuatan.[6] Artinya, “Aku memulai dengan menyebut Nama Allah (bi tasmiyyatillaah) sebelum aku berkata maupun aku berbuat.” Di antara hikmah dari dzikir ini adalah memperoleh keberkahan yang bersifat ukhrawi maupun duniawi pada hal-hal tersebut, serta menghalangi kerusakan-kerusakan dan keburukan darinya, dengan kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pertolongan-Nya.
Setelah memberikan contoh-contoh bagi hal tersebut, al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yang disyariatkan adalah menyebut Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala pada saat akan melakukan hal-hal tersebut di atas, dengan maksud untuk mengharap berkah, percaya, optimis dan berharap sebagai penolong, agar Allah berkenan menyempur-nakannya serta menerimanya.”[7] Dan di antara perkara-perkara yang disyariatkan bertasmiyyah (menyebut Nama Allah) padanya adalah pada saat berkurban dan berburu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu mamakan binatang-binatang yang tidak disebut Nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan...” [Al-An‘aam: 121]
Dan juga firman-Nya:
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
“...Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah Nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya)...” [Al-Maa-idah: 4]
Serta pada saat berwudhu’, mandi, tayammum,[8] dan juga pada saat masuk dan keluar masjid. Juga saat makan dan minum, sebagaimana yang disebutkan dalam ash-Shahiihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari ‘Umar bin Abi Salamah[9] Radhiyallahu anuma berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:
"يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ!"
“Wahai pemuda sebutlah dengan Nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu!”[10]
Di dalam beberapa kitab Sunan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا، فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ."
“Jika salah seorang diantara kalian makan, maka ucapkanlah bismillaah (dengan Nama Allah). Namun bila ia lupa, maka ucapkanlah bismillaahi fii awwalihi wa aakhirihi (dengan Nama Allah di awal dan akhirnya).” [11]
Dan juga di antaranya adalah tasmiyyah ketika akan masuk dan keluar rumah, ketika akan tidur, akan jima', dan selainnya. Demikian pula basmalah (yaitu mengucapkan بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ) disyariatkan di saat akan membaca awal dari surat-surat dalam al-Qur-an kecuali pada surat Bara-ah (at-Taubah).
Sebagian ulama telah menyebutkan beberapa alasan melakukan hal tersebut, diantaranya dalam rangka bertabarruk (meng-harap berkah) dengannya. Demikian pula telah disepakati oleh para ulama umat, agar menuliskannya pada permulaan buku-buku maupun surat.
Shalawat Atas Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
Dan termasuk pula dalam dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah, shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia merupakan bagian dari dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ungkapan syukur kepada-Nya, serta mengakui nikmat-Nya terhadap hamba-Nya dengan mengutus beliau, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Shalawat atas Nabi adalah hukumnya wajib pada saat tasyahhud akhir dalam shalat -dengan lafazh yang telah diketahui sesuai menurut Sunnah- menurut pendapat yang lebih tepat dari dua pendapat ulama yang ada.[12] Shalawat tersebut juga disyari’atkan dalam berbagai kondisi, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim bahwasanya (shalawat ini) disyari’atkan dalam 40 kondisi dengan beserta dalil-dalilnya dalam kitab beliau, Jalaa-ul Afhaam fiish Shalaah was Salaam ‘alaa khairil Anaam.[13] Di antaranya adalah shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disebutkan namanya,[14] di awal-awal do’a serta akhirnya, pada hari Jum’at, dan selainnya.
Adapun dalil disyariatkannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepada-nya.” [Al-Ahzab: 56]
Serta hadits-hadits yang menganjurkannya, memperbanyak jumlahnya serta mengungkapkan keutamaan-keutamaannya adalah sangat banyak sekali.[15] Saya nukilkan di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا."
“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat[16] padanya 10 kali.”[17]
Dan disebutkan pada dalam kitab-kitab Sunan dari Anas Radhiyallahu anhu dengan lafazh:
"صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ خَطِيئَاتٍ، وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ."
“Niscaya Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali dan di-hapus darinya 10 kesalahan dan diangkat baginya 10 derajat.”[18]
[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Seandainya makna tersebut ditambahkan dengan menghayati makna dzikir dan segala yang terkandung di dalamnya, seperti mengagungkan Allah Ta‘ala, dan menolak segala sifat kekurangan yang di-nisbatkan kepada-Nya, maka akan lebih sempurna. Jika hal tersebut hadir dalam amalan shalih, lebih-lebih pada segala amal yang wajib, seperti shalat, jihad atau yang lainnya, maka akan menambah kesempurnaannya. Seandai-nya niat dalam mengamalkan suatu amalan sudah benar dan ikhlas karena Allah Ta‘ala, maka akan lebih sempurna lagi. Fat-hul Baari (XI/209).
[2]. Dari kitab al-Adzkaar (hal.6) karya Imam an-Nawawi.
[3]. Al-Wabilush Shayyib wa Raafi’ al-Kalimith Thayyib (hal. 190), oleh Imam Ibnul Qayyim.
[4]. Dari tinjauan penentapan sifat dan dalil-dalilnya, maka Sifat-Sifat Allah Ta‘ala terklasifikasi menjadi dua macam: Pertama, sifat-sifat khabariyah (informatif), yaitu sifat-sifat yang tidak ada jalan untuk menetapkannya kecuali melalui pendengaran dan pemberitaan dari Allah Ta‘ala atau dari Rasulullah j. Karena itu disebut pula sifat-sifat sam‘iyah atau naqliyah, dan terkadang berupa dzaatiyah; seperti wajah dan kedua tangan; dan ada pula yang berupa fi’liyah seperti gembira dan tertawa. Dan ini yang sedang kita bahas saat ini. Kedua, sifat-sifat sam‘iyah aqliyah, yaitu sifat-sifat yang penetapannya disertakan pula dalil-dalil sam‘i (naqli) bersamaan dengan dalil-dalil ‘aqli. Sifat-sifat ini pun ada kalanya berupa dzaatiyah, seperti hidup, ilmu, kekuasaan, dan adapula yang berupa fi‘liyah seperti mencipta dan memberi.-Pent.
[5]. Al-Waabilush Shayyib (hal. 187-190), dengan sedikit perubahan.
[6]. Lihat Tafsir Qurthubi (I/97) dan Tafsir Ibni Katsir (I/9). Imam al-Bukhari membuat bab khusus dalam kitab Shahihnya yaitu bab at-Tasmiyatu ‘ala Kulli Haalin wa ‘inda Wiqaa’ di dalam Kitab Wudhu’. Lihat Shahih al-Bukhari (I/44).
[7]. Tafsiir Ibni Katsir (I/19).
[8]. Sebagian besar ulama mewajibkan tasmiyyah dalam hal-hal tersebut dan di antara mereka ada yang membedakan antara saat lupa dan tidak. Untuk lebih lengkapnya dalam hal ini, lihat buku-buku tafsir, hadits serta fikih.
[9]. Beliau adalah ‘Umar bin Abi Salamah bin ‘Abdirrahman bin ‘Auf az-Zuhri al-Madani, anak tiri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karena ibunya adalah isteri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, memimpin Bahrain pada masa ‘Ali Radhiyallahu anhu, wafat di Madinah pada th. 83 H. Lihat Asaadul Ghaabah (III/680), al-‘Ishaabah (II/512) dan Tahdziibut Tahdziib (VII/456).
[10]. Shahih al-Bukhari (VI/196) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘alath Tha’aam wal Aklu bil Yamiin dan Shahih Muslim (III/1599) kitab al-Asyribah bab Aadaabuth Tha’aam wasy Syaraab wa Ahkaamuhuma.
[11]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (IV/139) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘alath Tha’aam dan at-Tirmidzi dalam Sunannya (IV/288) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘alath Tha’aam, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Serta Ibnu Majah dalam Sunannya (II/1087) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘indath Tha’aam, Imam Ahmad dalam Musnadnya (VI/208), ad-Darimi dalam Sunannya (III/94) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘alath tha’aam, al-Hakim dalam al-Mustadrak (IV/108) kitab al-Ath’imah dan ia berkata, “Hadits ini sanadnya shahih dan tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.” Serta disetujui oleh adz-Dzahabi.
[12]. Jalaa-ul Afhaam fish Shalaati was Salami ‘alaa Khairil Anaami (hal. 193-216) karya Ibnul Qayyim, yang menyebutkan dalil-dalil dari kedua pendapat dan beberapa kritikan-kritikan yang sekaligus juga menguatkan akan hukum wajibnya.
[13]. Lihat pada halaman 155-210.
[14]. Sebagian ulama mewajibkannya dalam hal ini, lihat tahqiq masalah tersebut pada referensi sebelumnya (hal. 229-240) demikian juga disyariatkan penu-lisan shalawat ketika nama beliau dituliskan. Ibnu Katsir berkata. “Para penulis mengajak agar (setiap) penulis mengulangi shalawat setiap kali me-nulis nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam .” Tafsir Ibni Katsir (III/517).
[15]. Lihat kitab al-Adzkar (hal. 96-100) karya Imam an-Nawawi dan kitab Tuh-fatudz Dzaakirin (hal. 24-31) karya asy-Syaukani serta kitab Jalaa-ul Afhaam karya Ibnul Qayyim, beliau telah menyebutkan 40 faedah dan manfaat yang diperoleh dari shalawat.
[16]. Maksud Allahlbershalawat, yakni memberikan rahmat-Nya kepada orang yang bershalawat atau mengucapkan salam kepada Nabi j.-Pent
[17]. Lihat Shahih Muslim (I/306) Kitaabush Shalaah bab ash-Shalaat ‘alan Nabi j ba’dat Tasyahhud.
[18]. Diriwayatkan oleh Imam an-Nasa-i dalam Sunannya (III/50) Kitabus Sahw, dengan tambahan lafazh, “وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ (Dan diangkat baginya sepuluh derajat).” Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (III/102), al-Hakim dalam kitabnya, al-Mustadrak (I/550) seraya berkata, “Hadits ini para perawinya shahih, namun tidak diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, dan disetujui juga oleh adz-Dzahabi. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya (II/130) yang disusun oleh al-Farizi.
Oleh Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i
gambar From: ashshahabah.blogspot.com
gambar From: ashshahabah.blogspot.com
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah